Pasukan Afrika dan Perancis penjaga perdamaian yang bersenjata berat mengawal sebagian Muslim yang tersisa dari Bangui, ibukota Republik Afrika Tengah, pada hari Minggu.
Lebih dari 1, 200 orang, yang selama berbulan- bulan terjebak di wilayah mereka karena kekerasan yang dilakukan oleh militan Kristen, meninggalkan rumah-rumah mereka dengan menggunakan truk-truk.
Dalam beberapa menit setelah mereka meninggalkan wilayahnya, segerombolan massa yang marah melampiaskan amarahnya pada masjid dengan melakukan tindakan anarki.
Dengan peralatan di tangan, mereka dengan cepat membongkar dan mencuri loudspeaker masjid yang digunakan untuk adzan dan segera melucuti rumah ibadah itu dengan mencopot baling-baling kipas yang ada di langit-langit.
Salah satu pria dengan cepat menuliskan kata “pusat pemuda” dengan spidol hitam di seluruh bagian depan masjid.
Yang lainnya mengejek-ejek dan menyapukan kotoran dari tanah ke depan bangunan masjid itu dengan sapu dan berteriak: “Kami telah membersihkan Republik Afrika Tengah dari kaum muslim!”
Pasukan penjaga perdamaian bersenjata dari Kongo hanya berdiri menonton tapi tidak menembakkan peluru ke udara atau berupaya untuk menghentikan penjarahan itu.
Lalu sekelompok pencuri segera melepaskan atap yang terbuat dari logam dari bangunan bisnis yang ditinggalkan kaum Muslim di lingkungan PK 12, Bangui.”
“Penjarahan! Penjarahan!” anak- anak berteriak saat mereka membantu mendorong gerobak yang membawa kayu dan logam.” Republik Afrika Tengah telah menjadi gila, merampok tempat suci,” kata salah seorang penjaga perdamaian, masjid diserang oleh militan anti- Balaka dengan memakai pakaian khas mereka, wig dan topi dengan tanduk hewan.
PBB menggambarkan perpindahan paksa puluhan ribu umat Islam itu sebagai “pembersihan etnis”.
Krisis ini telah memicu kekhawatiran terjadinya genosida sejak hal ini terjadi intensif pada bulan Desember, ketika militan Kristen menyerbu ibukota.
Awal tahun ini, pembunuhan massa dan mutilasi terjadi hampir setiap hari di Bangui. Puluhan ribu Muslim dikawal ke negara tetangga Chad, meskipun konvoi itu penuh dengan tindak kekerasan. (independent.co.uk, 29/4/2014)