Oleh: Farhan Akbar Muttaqi , Kajian Islam Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
“No tecaher, no education. No education, no economic and social development” demikian ungkapan yang dinyatakan oleh Ho Chi Minh, Tokoh Kenamaan Vietnam, yang dapat menggambarkan betapa pentingnya keberadaan Guru dalam gelanggang kehidupan.
Terkait vitalnya peran Guru, John F. Kennedy pernah pula menyorotinya. Mantan Presiden yang memimpin AS di masa perang dingin ini, suatu ketika mendapati AS ketinggalan dari Uni Soviet yang berhasil lebih dahulu meluncurkan satelit pertama mereka, yakni satelit Sputnik. Mendapati hal itu, sang Presiden berkata, “What’s wrong ini our Classroom?” Pertanyaan retorik itu tentunya menohok peran guru. Karena guru adalah pihak yang paling dekat, dan memiliki otoritas paling besar dalam mengelola ruangan kelas.
Berangkat dari keterkaitan kualitas guru dengan kualitas kehidupan masyarakat, tentu kita dapat menyimpulkan bahwa kualitas guru di Indonesia masihlah jauh untuk dikatakan ideal. Pasalnya, Indonesia masih karut marut di berbagi lini. Pelaku amoral masih bergentayangan, kemiskinan merajalela, tingkat kebodohan masih tinggi, dan berbagai masalah lainnya. Ini sesungguhnya dapat menjadi indikasi akan masih buruknya kualitas guru sebagai stakeholder pencetak generasi.
Bahkan belakangan, alih alih memberikan teladan, publik menyaksikan bahwa guru justru berlaku edan. Sebagian guru mencontohkan beragam hal yang buruk pada siswanya. Kasus kasus guru yang melecehkan anak didiknya banyak terkuak dan nampak ke permukaan. KPAI bahkan mencatat, bahwa setiap tahunnya kasus pelecehan anak meningkat 30%, dan di antara pelakunya adalah mereka yang berprofesi sebagai guru. [kpai.go.id, 22/4/2014]
Kegagalan Guru, Kegagalan Sistem
Bagaimanapun, kita tak bisa menolak realitas, bahwa gurupun hakikatnya adalah output dari sistem pendidikan. Guru adalah warga negara yang melewati berbagai jenjang pendidikan yang menghantarkannya menjadi guru. Maka dari itu, etis bila dikatakan bahwa penyebab rendahnya kualitas guru berpulang dari Sistem Pendidikan yang gagal.
Adapun bila bicara sistem, Kita sesungguhnya tak bisa memisahkannya dari orientasi Ideologi yang menjadi dasar bagi terbangunnya sistem tersebut. Dan berbicara Ideologi, maka yang dipersalahkan hari ini adalah Ideologi Kapitalis- Sekuler. Dimana Ideologi inilah yang menghegemoni dunia, termasuk Indonesia.
Ideologi ini memandang bahwa agama harus dipisahkan dari kehidupan, sehingga nilai yang dicari manusia dalam kehidupannya jauh dari nilai transedental. Dengan kata lain, hanya mendorong manusia untuk memenuhi apa yang dibutuhkan perut dan yang ada di bawah perut. Efeknya, sistem pendidikan yang berlaku melahirkan manusia manusia yang sekedar mampu untuk bersaing dalam dunia industri dan mendapatkan uang untuk memenuhi kepentingannya. Pendidikan terkait kepribadian sangatlah minimalis, bahkan seolah hanya berfungsi sebagai pemanis. Apa yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional pun akhirnya hanya cita cita yang berhenti di atas kertas. Tak pernah berbuah hasil.
Bila Guru memiliki visi yang sejalan dengan orientasi Ideologi Kapitalisme, maka output-nya tentu selalu bisa untuk diprediksi. Guru secara berulang dibimbing untuk menelurkan sumber daya yang sama. Sumber daya manusia yang kuat dalam kognisi, handal menjadi teknisi, berdaya saing di tengah dunia indutsri, namun tak nampak padanya kepribadian islami. Siklus ini akan berulang selama sistem pendidikan masih bertolak pada ideologi Kapitalisme.
Maka dapat diartikan, memperpanjang nafas dari sistem ini sama dengan menumpuk masalah secara berkepanjangan. Kehidupan akan terus berjalan di tangan manusia manusia yang dicetak dengan Pola Ideologi Kapitalisme yang membawa kehancuran karena jauh dari nilai dan aturan ilahi.
Guru dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, Peran Guru tentu berbeda dengan apa yang dikehendaki ideologi Kapitalisme. Guru tak hanya dituntut untuk menyiapkan anak didiknya untuk mampu bergulat di tengah dunia industri berikut kompetensi yang dibutuhkannya. Dalam Islam, setidaknya ada tiga hal strategis yang menjadi tugas guru. Antara lain;
Pertama; Mendidik anak didiknya untuk berkepribadian Islam. Poin pertama ini sejatinya merupakan representasi peran guru sebagai pendidik untuk mengarahkan anak didiknya –dalam posisinya sebagai manusia-, agar hidup segaris dengan apa yang menjadi tujuan penciptaannya dimuka bumi oleh Allah Swt, sebagaimana yang tertuang dalam firman-Nya;”Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku” [TQS;Adz-Dzariyat;56].
Beribadah dalam ayat di atas, menurut para mufassirin adalah menaati segala perintah Allah Swt, dan menjauhi segala larangan-Nya dengan penuh ketundukan dan kerelaan. Ibadah ini, sesungguhnya tak akan pernah dapat dilakoni oleh seorang manusia kecuali bila manusia memiliki kepribadian islam [syakhsiyyah islamiyyah]. Kepribadian islam ini adalah wujud dari keselarasan pola pikir [aqliyah] dan pola sikap [nafsiyyah] yang islami dalam diri manusia. Pembentukan kepribadian ini dapat dilakukan selain dengan menanamkan aqidah islam, juga dengan memberikan konsep hidup [tsaqafah] yang menyangkut urusan spiritual, moral, sosial, ekonomi, politik dan lainnya.
Tak diperkenankan seorang guru memberikan tsaqafah yang berasal dari luar islam untuk siswanya. Misalnya, membenarkan dan menganjurkan aktivitas pacaran yang di lakukan anak didiknya tatkala saling menyukai. Padahal jelas, aktivitas dalam pacaran yang dipastikan bermuatan perbuatan dosa, adalah hal yang haram dan merupakan bagian dari konsep liberalisme yang menganjurkan kebebasan bertingkah laku.
Demikian pula misalnya, guru dilarang untuk menganjurkan anak didiknya untuk bercita cita menjadi pialang saham atau akuntan bank yang erat kaitannya dengan riba. Atau mendidik anak didiknya menjadi pemain sepak bola internasional atau penyanyi yang mengumbar aurat. Pemahaman yang salah tersebut bertolak belakangan dengan visi pembentukan kepribadian yang dikehendaki oleh Islam.
Efeknya, bila anak didik dicetak dengan pemahaman di luar Islam, maka dipastikan ia akan menyebarkan madharat di tengah masyarakat. Dan sudah jelas, bahwa siapapun guru mempengaruhi anak didiknya dengan pemahaman yang tak sesuai dengan islam, maka keburukanlah baginya,”Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka ia akan mendapatkan pahala yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan maka ia akan menanggung dosa yang sama dengan dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun” [HR.Muslim]
Kedua, Menjadi teladan bagi anak didiknya. Tak hanya memberikan pemahaman yang benar untuk anak didiknya, guru juga mesti menjadi teladan. Artinya, berbagai pemahaman islam yang disampaikannya pada anak didiknya, mesti pula ia lakoni. Dengan keteladanan, tentu anak didik yang diberikan pemahaman akan mudah mencontohnya, dan ini membuat proses pembentukan kepribadian lebih cepat. Sebaliknya, bila guru justru tak berlaku demikian, anak didik yang menjadi objek penyampaian pemahaman islam berpeluang untuk melakukan resistensi, dan akhirnya enggan mengikuti apa yang disampaikan gurunya.
Terkait hal ini, sesungguhnya Allah Swt sendiri mengancam mereka yang tak menjalankan apa yang disampaikannya dengan kemurkaan, “Wahai orang yang beriman, kenapakah kamu mengerjakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa apa yang tidak kamu kerjakan” [TQS;Ash-Shaff,2-3]
Ketiga, Mendidik anak didiknya dengan keahlian dan spesialisasi di berbagai bidang. Guru tak hanya menanamkan berbagai konsep dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi anak didik dalam medan hidupnya dengan pola pikir dan pola sikap yang islami, guru juga bertanggung jawab untuk memberikan keahlian dan spesialisasi dalam beragam aspek yang dibutuhkan umat. Misalkan, pengetahuan mengenai kimia, fisika, biologi, permesinan, kedokteran, transportasi dan sebagainya.
Tentu tak semua guru mesti memiliki kemampuan ini. Namun yang pasti, keberadaan guru yang memiliki kapabilitas dan kapasitas semacam ini adalah hal yang penting. Karena sesungguhnya, keberadaan sumber daya manusia yang menguasai masalah masalah tersebut adalah hal yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia.
Perlu Sokongan Sistem
Sesungguhnya, ketiga tugas guru di atas bukan hal yang musykil dilakukan oleh para guru. Namun, hal demikian akan sangat mudah bila disokong oleh peran Negara. Dalam hal ini, Negara mesti membangun sistem pendidikan yang tepat dan berangkat dari orientasi Ideologi yang shahih, yakni Islam. Dengan kata lain, Negara mesti menata sistem pendidikan yang benar benar islami. Mulai dari tujuan, hingga pelaksanaan di lapangan. Sehingga pada akhirnya, output dari sistem pendidikan tak hanya melahirkan Guru yang sekedar siap untuk terjun mencetak anak anak didik yang menghamba pada dunia industri. Lebih dari itu, mencetak pribadi yang siap untuk terjun dalam gelanggang kehidupan dengan menghamba pada Rabb semesta alam, Allah Swt dan memberi maslahat bagi umat manusia.
Akan tetapi, Sistem Pendidikan yang demikian, tak mungkin tegak bila Indonesia masih menegakkan sistem Demokrasi. Karena selama masih Demokrasi, Para Kapitalis tetap memiliki celah untuk melakukan intervensi untuk menyebarkan nafsu tamaknya, dengan merusak sistem Pendidikan untuk hanya berorientasi hanya pada kepentingan Kapitalis. Maka di titik ini, perlu pula adanya perubahan sistem Politik yang lahir dari kerangka Ideologi Islam, yakni Sistem Khilafah Wallohu’alambishawab.[]