Kesepakatan Persatuan Hamas – Fatah

Oleh Kasim Javed

Tanggal 24 April 2014 terjadi sebuah kesepakatan bersejarah antara Hamas dan Fatah untuk membentuk pemerintah persatuan dalam beberapa minggu, sehingga telah mengintensifkan drama diplomatik di Timur Tengah. Negosiasi AS yang dipimpin oleh John Kerry yang ditetapkan akan berakhir pada tanggal 29 April telah berhenti karena negara Zionis menolak untuk bernegosiasi dengan Hamas. Segera setelah pengumuman itu, Netanyahu mengatakan kepada Editor BBC Timur Tengah, Jeremy Brown, bahwa Abbas bisa “berdamai dengan Israel atau membuat perjanjian dengan Hamas – namun dia tidak bisa memiliki keduanya.” [1] Dalam hal kesatuan kesepakatan ini ada sejumlah pengamatan yang bisa dibuat.

Konflik antara Hamas dan Fatah telah terus-menerus terjadi selama beberapa waktu. Situasinya meledak pada tahun 2006 ketika Hamas memenangkan kursi mayoritas di parlemen sehingga menyebabkan bentrokan. Sejak itu, terdapat dua faksi yang memerintah di wilayah Palestina sebagai dua entitas yang terpisah yakni Fatah yang berkuasa di Tepi Barat dan Hamas yang mengontrol Jalur Gaza. Sementara keduanya mengaku memiliki pandangan yang berbeda terhadap Israel dan solusi dua negara, pada kenyataannya keduanya memiliki pandangan yang sama bahwa perbatasan tahun 1967 harus menjadi dasar negara Palestina. Sejak Perjanjian Oslo tahun 1993, dimana pemimpin PLO Yasser Arafat mengakui Israel dan mulai mencari penyelesaian tentang pemukiman, hanya ada sedikit kemajuan menuju solusi dua negara. Israel selalu menyalahkan pemberontakan Hamas atas kegagalan ini. [2]

Namun, pada tahun 2011, Fatah dan Hamas menandatangani Perjanjian Rekonsiliasi Nasional Palestina di Kairo untuk mengakhiri perpecahan diantara mereka. Meskipun usaha-usaha sebelumnya untuk melaksanakan perjanjian sering gagal, pengumuman terbaru tentang rekonsiliasi datang pada saat ada terdapat hal yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Bagi Hamas, kesepakatan itu berarti menghindari isolasi politik karena negosiasi AS dengan Fatah dan Israel akan terus berjalan tanpa mereka, tetapi yang lebih penting adalah penindasan terbaru terhadap Ikhwanul Muslimin berarti bahwa Hamas akan menjadi terpinggirkan lebih lanjut. Bagi Fatah, hal ini berarti PLO akan menyelesaikan sengketa wilayah Jalur Gaza yang telah menggerogotinya karena masyarakat internasional terus-menerus bertanya siapa yang sebenar-benarnya mewakili rakyat Palestina dengan banyaknya dukungan bagi Hamas.

Namun, kesepakatan kesepakatan itu mempersulit rencana Israel karena keseimbangan wilayah kekuasaan tetap terus berubah. Israel telah memainkan baik Hamas maupun Fatah satu sama lain selama lebih dari satu dekade untuk menunda negosiasi dengan Palestina sambil melakukan kebijakan ekspansionisnya. Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa “Siapa pun yang memilih Hamas tidak menginginkan perdamaian. Saya mengatakan pagi ini bahwa Abu Mazen (Presiden Palestina dukungan Fatah – Mahmud Abbas) harus memilih antara perdamaian dengan Israel atau perjanjian dengan Hamas, sebuah organisasi teroris pembunuh yang menyerukan penghancuran Israel dan yang didefinisikan baik oleh Amerika Serikat maupun Uni Eropa sebagai organisasi teroris.” [3] Israel akan menggunakan kesepakatan ini untuk membenarkan kelambanan lebih lanjut untuk perluasan pemukiman wilayahnya tersebut.

Kesepakatan antara Fatah dan Hamas merupakan langkah lebih dekat menuju pemenuhan tujuan-tujuan AS dalam mengerahkan tekanan kepada Israel untuk melanjutkan pemukimannya. Inilah sebabnya, mengapa Menteri Luar Negeri AS, John Kerry, memperingatkan Israel bahwa Israel akan menjadi “negara apartheid” jika solusi dua – negara dalam konflik dengan Palestina tidak tercapai. [4] Departemen Luar Negeri AS mengatakan “Setiap pemerintah Palestina harus jelas dan eksplisit berkomitmen atas kebijakan non-kekerasan, pengakuan terhadap negara Israel, dan penerimaan perjanjian sebelumnya dan memenuhi kewajiban antara pihak-pihak terkait. Jika pemerintah Palestina yang baru sudah terbentuk, kita akan menilai apakah kebijakan dan tindakan pemerintahan baru itu didasarkan pada kepatuhan terhadap ketentuan di atas yang akan menentukan implikasi untuk bantuan kami berdasarkan hukum AS.” Uni Eropa juga menyambut baik kesepakatan persatuan Palestina, namun mengatakan prioritas tetap adalah pembicaraan perdamaian dengan Israel. [5]

Drama dari apa yang disebut sebagai proses perdamaian dimulai sejak Yasser Arafat, mantan pemimpin PLO, mengakui negara Israel yang ilegal yang memulai perundingan itu di Madrid pada tahun 1991. Sejak itu, telah ada negosiasi dari tahun ke tahun yang telah melampaui tenggat waktu dan tidak pernah bisa menyelesaikan konflik. Ada alasan-alasan yang jelas untuk hal ini yang merupakan akar dari penyebab masalah.

1. Israel bukanlah negara yang sah dan perlindungan hukum yang diberikan oleh masyarakat internasional adalah gambaran palsu bahwa tidak ada negara yang melakukan hal ini dengan serius kecuali negara-negara yang memiliki kepentingan politik di Timur Tengah seperti para penguasa negara-negara tetangga di Dunia Arab.

2. Negosiasi-negosiasi sandiwara ini lebih dekat dengan kesepakatan antara seorang budak dan tuannya dengan istilah-istilah seperti pencegahan terbentuknya tentara untuk Palestina atau pengakuan atas perbatasan Israel saat ini merupakan penghinaan terhadap setiap manusia yang bermartabat yang mengamati proses ini. AS dan Israel ingin melegitimasi invasi ilegal melalui perjanjian sepihak yang akan melembagakan perbatasan saat ini dan memungkinkan tetap adanya pemukiman ilegal Israel.

3. Kebijakan AS di Dunia Arab mengharuskan Israel untuk tetap menjadi negara kaki tangan yang menyeimbangkan kekuatan regional seperti Arab Saudi dan Iran. Untuk alasan ini, AS tidak akan menggunakan alat-alat hukum mereka seperti PBB untuk mengkriminalisasi perilaku Israel seperti yang mereka lakukan terhadap Rusia atas Crimea.

Kesepakatan terbaru antara Hamas dan Fatah telah memberikan Israel alasan hukum untuk menunda negosiasi dan menunda waktu sendiri untuk lebih lanjut menduduki Palestina. ‘Rekonsiliasi’ antara Hamas dan Fatah adalah masalah dalam negeri yang seharusnya tidak mempengaruhi negosiasi antara Palestina dan Israel. Perlindungan diplomatik yang diberikan kepada Israel oleh komunitas internasional adalah bertentangan dengan pernyataan Kerry yang disampaikan hanya beberapa jam setelah rincian negosiasi, di mana dia memperingatkan Rusia atas kehadirannya di Crimea, “Tidak ada negeara yang memiliki hak untuk merampas tanah dari negara lain. ” kata Joe Biden. ” [6]

Ini bukan pertama kalinya perundingan telah gagal dan hal ini akan terus terjadi sampai umat di wilayah tersebut menentukan nasibn mereka di tangannya sendiri. Konflik Palestina tidak diragukan lagi adalah salah satu konflik politik yang paling rumit di dunia saat ini, namun solusinya sangat sederhana. Penyelesaiannya hanya dengan mengembalikan wilayah pendudukan yang diambil secara ilegal di jantung Timur Tengah. (rz)

 

 

 

Referensi:

[1] http://www.bbc.co.uk/news/world-middle-east-27142594

[2]http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/middle_east/7385301.stm

[3]http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2014/04/israel-suspends-peace-talks-with-palestinians-2014424144322967432.html

[4]http://www.theguardian.com/world/2014/apr/24/middle-east-israel-halts-peace-talks-palestinians

[5] http://www.bbc.co.uk/news/world-us-canada-27195254

[6] http://www.whitehouse.gov/the-press-office/2014/04/22/remarks-press-vice-president-joe-biden-and-ukrainian-prime-minister-arse

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*