Menanggapi keberadaan bandar hitam yang ditenggarai sangat mewarnai arah jagat politik tanah air dalam menentukan kepala negara atau pemerintahan terpilih yang tujuannya tak lain membentuk pimpinan boneka untuk menyetir kebijakan negara dan pemerintahan, sebagaimana yang disampaikan oleh Martimus Amin, pengamat hukum dan politik dari The Indonesian Reform, anggota Lajnah Siyasiyah DPP HTI, Gus Uwik mengatakan, bahwa ini adalah praktik yang pasti akan terjadi dalam demokrasi saat ini.
“Praktik politik Demokrasi saat ini sarat dengan kepentingan individu dan politik uang. Para elit partai dalam ‘menjajakan’ capres dan cawapresnya berani jor-joran menebar uang, tujuannya tidak lain agar calonnya terpilih. Logika kapabilitas dan program kerja yang akan dijalankan ketika menjadi capres dan cawapres jauh panggang dari api. Ini menjadi bukti bahwa politik sarat dengan uang. Uang menjadi Tuhan,” jelasnya.
Tak tanggung-tanggung, biaya politik untuk lobi-lobi, safari ke kyai-kyai, honor tim kampanye, pemasangan baliho, barang logistik kampanye, iklan di media masa, beli mobil ambulans, beli sembako untuk konstituen, biaya blusukan dan masih banyak lagi kegiatan lainnya ternyata menelan biaya yang sangat banyak.
Menurut tokoh mudah ini, dalam politik sekarang yang ada adalah membela yang ‘punya uang’ atau dengan politik berusaha untuk mengembalikan modal.
“Inilah pragmatisme politik. Pertanyaannya, partai mendapat dana besar tersebut dari mana? Kalau dari modal sendiri sungguh kecil kemungkinannya. Yang ada, sebagian besar dana pinjam dari pihak ketiga atau dari bandar hitam itu sendiri,” jelasnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan tidaklah mungkin jika berasal dari modal sendiri tidak berpikir untuk mengembalikan modal. Terlebih lagi jika dana biaya politik di ambil dari pihak ketiga. Dan pihak ketiga yang paling memungkinkan adalah pengusaha atau bandar hitam. Dan sangat tidak mungkin, seorang bandar hitam meminjamkan dananya tidak berpikir untung. Karena dalam logika mereka memang bisnis murni. Inilah yang kemudian dikatakan kapitalisasi politik.
“Bandar hitam yang berani menanam modal dalam bisnis politik terkategori pengusaha hitam yang berkepentingan mengamankan jaringan, akses, lobi, proyek dan atau kasus-kasus pidana yang dihadapinya. Intinya agar kepentingannya dipemerintahan nanti tetap aman. Wajar jika pak Martimus mengatakan tidak usah heran apabila negara selama ini sulit mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak,” tegasnya.
Oleh karena itu, jika ini terjadi maka akan ada mahar politik antara partai pengusung capres/cawapres dan bandar hitam yang berujung pada selingkuh politik. Para bandar hitam tadi bisa jadi tidak meminta pengembalian tunai atas modal yang telah di tanam namun sebagai kompensasinya adalah meminta ‘jatah proyek’ agar menjadi miliknya. Dari sinilah korupsi di mulai. Implementasi proyek hanya 60%, sisanya dipakai untuk bancakan. Karena sangat tidak mungkin, seorang pengusaha mau berinvestasi di ‘usaha politik’ jika tidak ada kompensasinya.
Kondisi inilah yang menurut Gus Uwik rawan korupsi dan penyelewengan wewenang jabatan. Sebab, jika dilihat dari besarnya gaji yang diterima dibanding dengan besarnya modal, bunga modal plus keuntungan yang harus di raih jauh panggang dari api.
“Bandar hitam ini dikenal sebagai kartel ekonomi dan politik Indonesia. Mereka dibesarkan dan selalu diuntungkan sistem rezim yang korup. Dengan kekuatan kapital dan jaringan internasionalnya, para inlander menghamba kepadanya,” tegasnya.
Menurut salah pimpinan organisasi yang fokus menyuarakan penerapan syariat Islam ini, kondisi di atas terjadi dengan mudah karena demokrasi memang ‘menghalalkan’ biaya politik. Atau dengan kata lain, demokrasi memang menghalalkan politik dengan biaya tinggi.
Oleh karena itu, Gus Uwik menegaskan pentingnya syariat Islam diterapkan di seluruh aspek kehidupan. Dengan iman Islam, setiap orang akan tidak berani untuk menghalalkan segala macam cara demi kekuasaan. Bukan hanya pertanggungjawaban di dunia namun juga kelak di akhirat ada mahkamah Allah SWT yang tidak bisa ditipu dan disuap.
Selain itu, bagi yang melanggar aturan dengan berani melakukan korupsi maka hukumannya sangat keras dan tegas. Para koruptor akan menerima hukuman tasyhir (pewartaan atas diri koruptor; misal diarak keliling kota atau di-blow up lewat media massa), jilid (cambuk), penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati sekalipun; selain tentu saja penyitaan harta hasil korupsi.
Gus Uwik menegaskan, menurut Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam kitab Nizham al-‘Uqubat fi al-Islam, hukuman untuk koruptor adalah kurungan penjara mulai 6 bulan sampai 5 tahun; disesuaikan dengan jumlah harta yang dikorupsi. Sedangkan menurut Khalifah Umar bin Abdul Aziz, pernah menetapkan sanksi hukuman cambuk dan penahanan dalam waktu lama terhadap koruptor. Adapun Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah menyita seluruh harta pejabatnya yang dicurigai sebagai hasil korupsi. Jika harta yang dikorupsi mencapai jumlah yang membahayakan ekonomi negara, menurut syariat Islam bisa saja koruptor dihukum mati.
“Jika hukuman bagi koruptor ditegakkan saya yakin tidak akan ada yang berani melakukan korupsi. Bagaimana hukuman berat bagi koruptor akan diterapkan jika para pembuat hukum yakni para legislatorlah yang banyak melakukan korupsi. Tidak mungkin hukum dibuat untuk mengancam diri sendiri,” jelas Gus Uwik. (bogorplus.com, 9/5/2014)