Koalisi Jelang Pilpres: Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

[Al-Islam edisi 706, 15 Rajab 1435 H – 16 Mei 2014 M]

Setelah keluar hasil hitung riil Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 dimulailah tahapan Pemilu Presiden (Pilpres). Pendaftaran pasangan capres-cawapres oleh partai atau gabungan partai akan dibuka pada 18 Mei nanti. Berdasarkan hasil Pileg, tidak ada partai yang memenuhi presidential threshold, yaitu 25 persen suara nasional atau 20 persen kursi di DPR. Untuk bisa mencalonkan pasangan capres-cawapres, parpol harus berkoalisi.

Koalisi: Sekadar Memburu Kekuasaan dan Jabatan

Koalisi dalam sistem presidensial pada dasarnya memiliki dua tujuan utama: Pertama, menggalang dukungan parpol untuk pencalonan dan pemenangan dalam ajang Pilpres. Kedua, mengamankan jalannya pemerintahan.

Setidaknya pasca Reformasi, model koalisi parpol menunjukkan dua karakter. Pertama: memburu kekuasaan dan jabatan. Dengan karakter ini, model koalisi lebih ditentukan oleh keinginan parpol memperbesar peluang memperoleh posisi sebanyak mungkin di pemerintahan yang akan terbentuk. Kedua: menggalang suara. Artinya, pembentukan koalisi parpol lebih ditujukan untuk memenangkan Pilpres. Untuk menang Pilpres, pasangan capres-cawapres tentu harus punya dukungan suara yang besar. Karena itu parpol yang ingin masuk koalisi bisa diterima asal memberikan kemungkinan besar menang dalam Pilpres. Di sini perbedaan ‘ideologi’ tidak diperhatikan. Bagi masing-masing parpol peserta koalisi, yang penting adalah bagaimana memenangkan capres-cawapres yang mereka usung.

Pada awalnya, koalisi dibentuk mungkin sekadar untuk memenangkan capres-cawapres. Semua pihak dalam koalisi kali ini menyatakan tidak bicara kursi dan pembagian kekuasaan. Salah satu capres bahkan tidak mau menyebut koalisi, tetapi kerjasama. Ia juga menyatakan kerjasama yang dibentuk adalah kerjasama murni, tidak bicara bagi-bagi kursi dan kekuasaan.

Namun demikian, koalisi parpol akhirnya tetap akan berbicara tentang pembagian kekuasaan dan jabatan, tentu setelah capres-cawapres yang mereka usung menang. Karena itu pada awalnya semua anggota koalisi fokus memenangkan calon. Baru setelah menang, masalah pembagian kekuasaan mereka bicarakan. Dengan model seperti itu, semua anggota koalisi akan bersaing untuk memberikan “jasa” sebesar-besarnya dalam memenangkan capres-cawapres yang mereka usung. Harapannya, makin besar andilnya, bagiannya juga akan lebih banyak. Namun, jika pembagian kursi kekuasaan dan jabatan tidak merata dan adil, itu akan menjadi bibit dan penyebab perpecahan koalisi.

Presiden terpilih tentu harus mendapat dukungan yang cukup dari parlemen yang tersusun dari para politisi parpol. Dukungan parlemen penting agar pemerintahan bisa stabil dan berjalan efektif serta agar kebijakan berjalan baik. Untuk itu koalisi yang terbentuk tentu harus dipertahankan, bahkan jika perlu diperluas. Caranya, yang paling manjur adalah dengan bagi-bagi kursi kekuasaan serta sumberdaya politik dan ekonomi. Apalagi dalam sistem demokrasi, semua proses politik memerlukan pengerahan sumberdaya politik dan ekonomi (uang) yang besar. Akhirnya, pembagian kekuasaan dan jabatan menjadi suatu keniscayaan. Hanya dengan kekuasaan dan jabatan saja, pengembalian modal politik dan imbalan kepada penyandang modal bisa dilakukan.

Kekuasaan Adalah Amanah

Kekuasaan dan jabatan semestinya diberikan kepada orang yang layak, bukan kepada mereka yang berjasa kepada penguasa. Orang yang layak tentulah orang yang bertakwa, shalih serta punya kemampuan. Jika kekuasaan dan jabatan dibagi-bagi berdasarkan pertemanan dalam koalisi dan “jasa” maka yang terjadi adalah kerusakan. Pasalnya, bagi-bagi kekuasaan semacam ini berarti tidak didasarkan pada kelayakan orangnya. Hal itu sama dengan menyia-nyiakan amanah kekuasaan. Rasul saw. memperingatkan:

 

« إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ » قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ « إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ »

Jika amanah disia-siakan, tunggulah saat-saat kehancuran.” Ada yang bertanya, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?” Beliau bersabda, “Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat-saat kehancuran.(HR al-Bukhari dan Ahmad).

Politik Pragmatis

Apa yang dipertontonkan oleh para petinggi parpol sekarang ini masih tidak berubah, tetap politik pragmatis (hanya berdasarkan kepentingan). Politik pragmatis itu di antaranya terlihat dari perilaku petinggi parpol dalam membentuk koalisi yang tampak tuna identitas. Yang kemarin lawan, hari ini jadi kawan. Kemarin berseteru, hari ini dengan penuh senyum berangkulan dan bergandengan erat. Koalisi pun dijalin dengan siapa saja asalkan lebih berpeluang menang. Soal visi, gagasan dan ideologi tak lagi jadi bahan pertimbangan. Hal itu juga ditunjukkan oleh parpol Islam atau yang berbasis massa Islam. Jika sebelum Pileg mereka gencar menyeru masyarakat agar tidak memilih parpol sekuler, setelah Pileg parpol Islam justru berkoalisi dengan parpol sekuler.

Perilaku politik pragmatis yang diperagakan oleh para petinggi parpol membuat panggung politik tak beda dengan pentas sandiwara. Pentas politik pun banyak dihiasi propaganda. Betapa sering terdengar slogan “atas nama rakyat”, “untuk kepentingan rakyat”, “demi wong cilik”, “untuk memajukan negeri”, “demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat” dan slogan-slogan sejenis. Namun, semua itu hambar dan terkesan hanya basa-basi. Faktanya, setelah berkuasa, mereka sering melupakan nasib rakyat.

Pada masa-masa kampanye, aspek personal yang tampak bersahaja dan merakyat sering ditonjolkan dalam kemasan pemasaran para calon. Tujuannya tentu untuk memengaruhi masyarakat bahwa sang calon akan memperhatikan kepentingan rakyat. Padahal yang berpengaruh terhadap kepentingan dan nasib rakyat adalah kebijakannya, bukan tampilan personalnya. Bagaimana benar-benar memperjuangkan dan memperbaiki nasib rakyat, terutama nasib rakyat kecil, jika belum menjadi presiden saja sang calon menyatakan akan menaikkan harga minyak (BBM)? Padahal semua orang tahu, kenaikan harga BBM lebih merupakan perintah pihak asing (Bank Dunia, IMF dan lainnya). Bagaimana akan membangun kemandirian, jika baru menjadi calon presiden saja sudah berusaha mendekati pihak asing melalui para dubes mereka?

Perlu diingat, parpol-parpol itu sudah sering mencederai kepentingan rakyat. Masyarakat harus ingat, sewaktu partai-partai itu berkuasa, banyak kebijakan ekonomi neo liberal yang dijalankan. Mereka biasa menaikkan harga BBM, mengurangi bahkan menghapus subsidi, menjual BUMN, menyerahkan sumberdaya alam kepada swasta terutama pihak asing melalui berbagai kontrak dan kebijakan neo liberal lainnya.

Kembali ke Politik Islam

Politik (as-siyâsah) dalam Islam adalah aktivitas yang mulia. Bahkan politik merupakan aktivitas para nabi dan rasul. Rasul saw. menegaskan:

 

« كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِىٌّ خَلَفَهُ نَبِىٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ. قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ، أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ »

“Dulu Bani Israel diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, dia digantikan oleh nabi lainnya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku. Yang akan akan ada adalah para khalifah dan jumlah mereka banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Rasul menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja; dan berikan kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan menanyai mereka atas apa (urusan rakyat) yang mereka urus.” (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).

 

Sabda Rasul “‘ammâ istar’âhum” menunjukkan politik itu berkaitan dengan bagaimana mengurus rakyat. Pihak yang mengurusi rakyat ini pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT di akhirat nanti. Karena itu Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim menjelaskan, bahwa politik adalah mengatur sesuatu dengan apa yang bisa membuat sesuatu itu baik (al-qiyâm ‘alâ asy-syay’ bi mâ yushlihuhu). Itulah politik yang telah digariskan oleh Islam, yang menjadi tugas dan kewajiban penguasa (imam/khalifah), sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

 

«فَالإِمَامُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari).

 

Hadis ini sekaligus mengisyaratkan bahwa tugas politik, yaitu mengurus rakyat, menjadi tugas dan tanggung jawab khalifah. Tugas ini akan sempurna jika dijalankan di dalam sistem pemerintahan Islam. Itulah sistem Khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah. Dialah yang berkewajiban menerapkan syariah Islam secara total. Syariah Islamlah yang terbaik dan itulah yang wajib diambil dan diterapkan. Allah SWT berfirman:

 

﴿أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50)

Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

 

Komentar Al Islam:

Ketimpangan antara kebutuhan dan rumah terbangun semakin membesar. Salah satu penyebabnya adalah gagalnya pelaksanaan konsep pembangunan hunian berimbang. Situasi bertambah tidak kondusif karena birokrat tidak bergerak dan pengembang emoh membangun rumah rakyat. (Kompas, 13/5).

 

  1. Yang jelas, sebabnya karena perumahan rakyat tidak mendatangkan setoran besar ke kantong birokrat.
  2. Itulah kegagalan sistem demokrasi kapitalisme menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat sebab lebih mengandalkan pihak swasta.
  3. Dalam Islam, tempat tinggal adalah kebutuhan pokok tiap individu rakyat yang harus dijamin oleh negara. Dengan penerapan sistem politik dan sistem ekonomi Islam, hal itu akan bisa diwujudkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*