Menyoal Kecaman Hukuman Mati Bagi Wanita Murtad di Sudan

hukum-pancungTanya :

Ustadz, apakah dalam Syariah Islam boleh menghukum mati perempuan muslimah yang murtad? Apa komentar Ustadz mengenai kasus wanita bernama Meriyam dari Sudan yang divonis mati dalam keadaan hamil muda karena diduga murtad, lalu ada ulama yang mengutuk hukuman itu? (Joko, Jakarta).

Jawab :

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukuman mati untuk perempuan muslimah yang murtad. Ada dua pendapat; pertama, pendapat jumhur ulama yaitu Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal, bahwa perempuan muslimah yang murtad hukumannya adalah hukuman mati. Kedua, pendapat Imam Abu Hanifah, yaitu hukumannya bukan hukuman mati, melainkan sekedar ditahan di penjara (tuhbasu), tidak dihukum mati. (Muhammad bin Abdurrahman Ad Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah, hlm. 207; Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/265; Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1531).

Jumhur ulama yaitu Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal berdalil berdasarkan keumuman hadits dari Ibnu Abbas RA bahwa Nabi SAW bersabda,”Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (Arab : man baddala diinahu faqtuluuhu). (HR Bukhari). Jumhur ulama menyatakan bahwa kata “man” (barangsiapa) dalam hadits di atas adalah kata yang berarti umum yang mencakup laki-laki ataupun perempuan. Maka dari itu, jika perempuan muslimah murtad, hukumannya adalah hukuman mati, sama dengan laki-laki muslim yang murtad. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/265).

Adapun Imam Abu Hanifah berdalil dengan hadits yang mengkhususkan (takhsis) dalil umum tersebut, yaitu bahwa hukuman mati itu khusus untuk laki-laki, sedangkan bagi perempuan tidak dijatuhi hukuman mati. Dari Rabah bin Rabi’ RA, bahwa dia pernah bersama Rasulullah SAW dalam suatu peperangan. Mereka pun melintasi seorang perempuan yang terbunuh dalam peperangan itu, maka bersabdalah Rasulullah SAW,”Perempuan ini tidaklah layak untuk berperang (maka janganlah kalian membunuhnya).” (Arab : maa kaanat hadzihi lituqaatila). (HR Ahmad & Abu Dawud).

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur ulama, karena 3 (tiga) alasan sebagai berikut :

Pertama, dalil takhsis yang diajukan oleh mazhab Abu Hanifah tidak dapat diterima. Karena

perempuan yang tidak boleh dibunuh di dalam hadits Rabah bin Rabi’ RA di atas, adalah perempuan yang aslinya memang kafir, bukan perempuan yang kafir karena murtad. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/265). Jadi syariah Islam memang tidak membolehkan perempuan kafir dalam peperangan jika dia tidak ikut berperang. Adapun jika perempuan kafir itu ikut berperang, boleh dia dibunuh. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/198). Dengan demikian hujjah jumhur ulama berupa keumuman hadits Ibnu Abbas RA di atas tetap tegak dan tidak dapat dikhususkan dengan hadits Rabah bin Rabi’ RA yang diajukan oleh mazhab Abu Hanifah. Dalam hal ini kaidah ushuliyyah telah menetapkan : al ‘aam yabqaa ‘ala ‘umuumihi maa lam yarid daliil al takhsis (dalil umum tetap dalam keumumannya selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya).

Kedua, telah terdapat nash hadits yang yang secara jelas menunjukkan bahwa perempuan murtad itu dihukum mati. Dalam hadits Mu’adz bin Jabal RA, bahwa Nabi SAW telah mengutusnya ke Yaman lalu bersabda,”Siapa saja laki-laki yang murtad dari Islam, maka ajaklah dia (kembali kepada Islam), jika dia kembali (maka terimalah). Tapi jika dia tidak kembali, maka penggallah lehernya. Siapa saja perempuan yang murtad dari Islam maka ajaklah dia (kembali kepada Islam), jika dia kembali (maka terimalah). Tapi jika dia tidak kembali, maka penggallah lehernya.” Imam Syaukani meriwayatkan perkataan Imam Al Hafizh Ibnu Hajar mengenai hadits Mu’adz tersebut,”Sanadnya hasan”. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/265; Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1531).

Ketiga, selain dalil hadits, jumhur ulama juga berhujjah dengan Ijma’ Shahabat, yakni bahwa Khalifah Abu Bakar Shiddiq pernah menghukum mati perempuan muslimah yang murtad. Hal ini diketahui oleh para shahabat Nabi SAW dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya, sehingga dalam hal ini telah terwujud Ijma’ Shahabat, sebagai sumber hukum ketiga setelah Al Qur`an dan Al Hadits. (HR Daruquthni, hadits hasan). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/265; Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1531).

Dengan demikian, jelaslah bahwa hukuman untuk perempuan muslimah yang murtad hukumannya adalah hukuman mati, sama dengan hukuman untuk laki-laki muslim yang murtad. Inilah pendapat yang rajih dan sahih berdasarkan dalil-dalil syar’i yang paling kuat. Wallahu a’lam.

Adapun mengenai kasus wanita bernama Meriyam dari Sudan yang divonis mati dalam keadaan hamil muda karena diduga murtad, lalu para ulama mengutuk hukuman mati itu (Republika, 19/05/2014), maka komentar saya adalah sebagai berikut :

Pertama, dari segi substansi kasusnya sendiri, bagi saya sendiri kurang begitu jelas. Di koran Republika, 19/05/2014, disebut bahwa perempuan itu dianggap murtad karena menikah dengan laki-laki non-muslim. Sedangkan perempuan itu sendiri mengaku tidak pernah murtad karena dia dididik ibunya yang Nashrani sejak kecil. Jadi mengenai kasus murtadnya itu sendiri, saya masih meragukannya, kecuali ada info-info lainnya lebih akurat.

Selama substansi kasusnya masih belum jelas bagi saya, maka dalam kasus ini bagi saya terdapat syubhat (ketidakjelasan/kesamaran), yaitu paling tidak ada dua buah syubhat; (1) apakah perempuan itu aslinya muslimah lalu murtad (menjadi Nashrani), ataukah perempuan itu sejak kecil adalah Nashrani sehingga tidak pernah murtad, sesuai pengakuannya?; (2) apakah murtadnya itu karena dia menikah dengan laki-laki non-muslim? Di sini juga belum begitu jelas, karena andaikata dia adalah muslimah dan menikah dengan laki-laki non-muslim, maka hukumnya memang haram menurut kesepakatan fuqoha. Tapi apakah perempuan itu lalu dikatakan murtad, maka jawabannya adalah sangat tergantung pada keyakinan perempuan itu. Jika dia meyakini kehalalan pernikahannya itu, maka dia murtad. Jika dia tetap meyakini keharamannya, dia masih muslimah, tapi berdosa besar karena zina. Walhasil, karena dua syubhat itulah maka bagi saya untuk kasus itu berlakulah kaidah dari hadits Nabi SAW,”Idra`ul huduuda bis syubuhat.” (hindarkanlah hukuman dikarenakan adanya syubhat-syubhat).

Kedua, terlepas dari subtsansi kasusnya itu sendiri yang masih syubhat, ada hal yang terang dan tidak ada syubhat sama sekali di dalamnya. Apa itu? Yaitu sikap yang memojokkan hukuman mati untuk perempuan murtad. Ditinjau dari segi norma hukum, yaitu terlepas dari kasus yang terjadi di Sudan dan faktor-faktor politik yang melingkupinya, sungguh sikap mengutuk hukum syariah Islam adalah tindakan ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama Islam yang jelas haram dilakukan oleh seorang muslim.

Sungguhpun ada khilafiyah mengenai hukuman mati untuk perempuan yang murtad, tetap tidak boleh seorang muslim (apalagi ulama) mengutuk hukum syariah Islam yang jelas sumbernya dari Al Qur`an atau Al Hadits. Sebab kutukan (Arab : la’nat) artinya adalah terjauhkan dari rahmat Allah. Apakah boleh seorang muslim mengatakan bahwa hukuman dari Syariah Islam itu jauh dari rahmat Allah? Mengapa mereka yang disebut ulama atau intelektual itu tidak mengutuk hukum-hukum kafir penjajah yang diterapkan di negeri-negeri Islam? Bukankah itu jelas hukum-hukum kufur yang memang lebih layak untuk dikutuk? Dan bukankah hukum-hukum kufur itu ketika diterapkan di negeri-negeri Islam sudah jelas terbukti menjauhkan umat dari rahmat Allah? Bukankah krisis multidimensional dari aspek politik, ekonomi, budaya, sosial, dan sebagainya, membuktikan bahwa hukum-hukum kufur dari Barat memang betul-betul hukum-hukum yang terkutuk?

Menurut saya, mereka yang mengutuk itu bukanlah ulama. Sebab seorang ulama yang mempunyai ilmu syariah walaupun masih elementer (pengantar), akan paham bahwa hukum yang khilafiyah itu tidak boleh dianggap sebagai kemungkaran, apalagi dikutuk. Kaidah fiqih menyebutkan : laa inkaara fi masaa`il al ijtihad (tidak dapat dianggap suatu kemungkaran, masalah-masalah yang menjadi lapangan ijtihad). Imam Ghazali dalam Ihya` Ulumiddin menyebutkan,”Kullu maa huwa fi mahall al ijtihad fa-laa hisbata fiihi” (setiap-tiap masalah yang menjadi lapangan ijtihad, maka tidak boleh ada hisbah [amar ma’ruf nahi mungkar] di dalamnya.”

Karena itu, dugaan kuat saya, yang mengutuk hukuman mati untuk perempuan murtad itu bukanlah ulama, melainkan intelektual liberal yang memang tidak berilmu atau sekedar mempropagandakan ide kebebasan individu ala Barat yang kufur dengan mengeksploitasi kasus yang terjadi di Sudan.

Demikianlah saudaraku Joko. Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa memberi petunjuk kepada siapa saja dari hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertaqwa. (Ustadz Muhammad Shiddiq Al Jawi)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*