Dengan merapatnya Partai Bulan Bintang (PBB) ke Gerindra, praktis semua parpol Islam dan parpol yang berbasis massa Islam merapat ke parpol sekuler. “Itu terjadi karena pragmatisme politik. Dalam perkiraan mereka capres yang diusung partai sekulerlah yang berpeluang besar memenangkan pemilu,” ungkap Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto kepada mediaumat.com, Selasa (20/5) melalui sambungan telepon.
Sebelumnya, PKB merapat ke PDI Perjuangan yang mengusung capres Jokowi. Sedangkan PAN, PKS, PPP merapat ke Gerindra yang mengusung Prabowo. Selain karena tidak memiliki pegangan ideologis, pragmatisme itu juga didukung rasa kurang percaya diri dari parpol Islam dan berbasis massa Islam. “Ini juga menunjukkan rasa kurang percaya diri bahwa tokoh dari partai Islam akan mampu memenangkan Pilpres,” ujarnya.
Di samping itu, menurut Ismail, mereka itu memiliki tabiat seperti yang dalam ilmu politik itu disebut sebagai politik kepiting. Bila ditaruh kepiting yang banyak di keranjang maka tidak ada satu pun yang akan keluar. Padahal keranjang tersebut tidak ditutup. Karena setiap kali ada kepiting yang naik untuk melompati keranjang akan ditarik oleh kepiting lainnya dari belakang. Maksudnya, terjadi persaingan diam-diam di antara partai Islam dan berbasis massa Islam satu sama lain sehingga terjadilah politik kepiting itu.
“Nah, itulah yang membuat keinginan tokoh-tokoh umat Islam —-yang baru lalu berkumpul agar mereka berkoalasi sehingga bisa mengusung capres di kalangan parpol Islam dan berbasis massa Islam itu sendiri untuk kepentingan keumatan—- tidak terpenuhi,” keluhnya.
Menurut Ismail, alasan memilih capres dari parpol sekuler dalam rangka mengambil mudharat yang lebih kecil jelaslah debatable dan sangat subyektif. Karena kalau dicermati sebenarnya semua alasan yang diungkap bukanlah dalil tetapi dalih dukungan parpol terhadap capres yang peluang menangnya lebih besar saja.
Mengecewakan
Sikap yang pragmatis seperti itu, menurut Ismail, tentu saja mengecewakan tokoh-tokoh ormas Islam. Ini kesekian kalinya harapan tokoh-tokoh ormas Islam tidak terpenuhi. Supaya parpol Islam dan berbasis massa Islam mengedepankan politik keumatan bukan sekedar kekuasaan tetapi kekuasaan untuk kepentingan umat. Karena ormas Islam merasa umat ini mengalami banyak masalah baik dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya dsb.
“Politik keumatan itu kan dicirikan oleh dua hal. Pertama, tokohnya mengerti kepentingan umat. Kedua, membawa Islam di dalam kepemimpinannya. Tetapi ketika itu tidak terpenuhi akan ada kekecewaan. Kekecewaan itu akan berimplikasi sangat panjang. Dan sangat memungkinkan munculnya apatisme, penolakan-penolakan, dsb,” ujarnya.
Sedangkan HTI sendiri, menurut Ismail, berulang kali menegaskan kepada semua pihak bahwa tujuan berpolitik dalam Islam itu merupakan pengaturan kehidupan umat dengan syariah. Artinya, politik itu semestinya dikendalikan oleh dua hal pokok yaitu pemimpin yang amanah dan sistemnya itu syariah. Bila tanpa salah satunya maka tidak akan terwujud pengaturan kehidupan umat yang baik. Karena sehebat apa pun pemimpinnya tapi kalau yang digunakan tetap hukum sekuler, kapitalis, dsb maka yang terjadi seperti sekarang ini.
Presiden kita kan dari dulu muslim semua, tidak ada yang non Muslim, tetapi ternyata begini keadaannya. “Jadi, Hizbut Tahrir terus mendorong dengan berbagai proses penyadaran agar umat ini tiba pada politik Islam yaitu pemimpinnya amanah dan sistemnya syariah,” pungkasnya. (mediaumat.com, 21/5/2014)