Karena Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan dianggap sebagai partai nasionalis, maka ketika menang pemilu, menang pula nasionalisme. Padahal kenyataannya tidaklah sesederhana itu.
Bila nasionalisme diartikan sebagai kesediaan untuk bekerja semata demi bangsa dan negara, apakah PDIP, memang benar-benar bekerja untuk bangsa dan negara? Menurut Muhammad Ismail Yusanto, rekam jejak (track record) ketika berkuasa merupakan jawabannya.
Kepada wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia menyampaikan catatannya terkait rekam jejak Ketua Umum PDI P Megawati Soekarnoputri ketika menjadi presiden. Berikut petikannya.
Bagaimana rekam jejak saat putri Bung Karno itu berkuasa?
Dalam masa kepresidenanya yang tidak terlalu panjang, sekitar 3 tahun, dari tahun 2001 – 2004, Megawati ternyata tidak sedikit mengambil kebijakan yang kerap dituding sangat tidak nasionalis.
Antara lain menjual murah gas Tangguh ke Tiongkok seharga 3,5 USD/MMBTU untuk kontrak selama 25 tahun; menjual murah tanker raksasa milik Pertamina; menerbitkan R/D (release and discharge) bagi sejumlah bankir yang tersangkut perkara BLBI.
Dan yang paling banyak disorot tentu saja adalah penjualan Indosat, berikut anak dan cucu perusahaannya, kepada Singtel senilai sekitar Rp 5 trilyun.
Bukan hanya itu, beberapa bulan sebelum lengser, Mega juga sempat menandatangani amandemen UU yang berisi larangan menambang di hutan lindung yang dibuat oleh DPR periode sebelumnya. UU ini sangat ditentang oleh perusahaan-perusahaan pertambangan besar seperti Freeport, Newmont dan lainnya karena menghambat laju ekspansi eksplorasi tambang mereka.
Menurut informasi yang sangat bisa dipercaya, sebelum UU itu terbit, Freeport telah mengeluarkan dana lebih dari 120 juta USD untuk melakukan eksplorasi hingga ke wilayah Puncak Soekarno. Hasilnya, mereka menemukan cadangan emas yang jauh lebih besar dari yang ditemukan selama ini.
Oleh karena itu, mereka kemudian berusaha dengan segala cara untuk membatalkan UU itu. Usaha mereka berhasil. Megawati yang ngaku nasionalis, membatalkan UU yang sebenarnya sangat bagus untuk melindungi kekayaan alam negeri ini, yang kabarnya memang sebenarnya dibuat untuk menghentikan ekspansi Freeport.
Dampaknya?
Semua kebijakan kontroversial itu berbuntut panjang hingga sekarang. Setelah Pertamina dipaksa menjual tanker raksasa miliknya, kini mereka harus mengeluarkan dana besar tiap hendak mengangkut LNG, padahal dulu mereka punya kapal sendiri.
Karena terikat kontrak 25 tahun, harga gas Tangguh tetap saja tidak bisa dinaikkan meski harga pasaran gas dunia telah meningkat berlipat-lipat. Sedangkan kepada PLN yang notabene badan usaha milik negara, gas justru dijual dengan harga lebih 3 kali lipat, sekitar 13 USD/MMBTU.
Karena dianggap telah menyelesaikan kewajiban, para bankir nakal itu kini bebas melenggang sementara rakyat harus terus menanggung beban akibat bunga dan pengembalian dana obligasi rekap.
Sedang keinginan untuk membeli balik Indosat terganjal. Dan setelah UU Larangan Menambang di Hutang Lindung dibatalkan, Freeport dengan aman bisa melanjutkan ekspansi eksploitasinya.
Dengan semua tindakan itu, bisakah disebut Mega dan PDIP, juga partai-partai lain yang mengaku nasionalis, benar-benar nasionalis?
Mengapa bisa begitu? Bukankah dalam iklan kampanyenya (nasi tumpeng serba impor) menunjukkan nasionalisme?
Itu karena mereka sesungguhnya bekerja demi diri mereka sendiri. Melalui politik, mereka berjuang untuk meraih kekuasaan, lalu kekuasaan yang didapat digunakan mendapatkan kekayaan, yang selanjutnya kekayaan itu digunakan untuk mempertahankan atau meraih kekuasaan yang lebih tinggi lagi.
Dengan kata lain, ideologi mereka tetaplah kapitalisme, meski dalam wajah yang berbeda-beda. Soal iklan, ya, itu kanhanya klaim mereka untuk menarik dukungan menjelang Pemilu. Dan untuk hal itu, semua partai melalui kekuatan media memang beramai-ramai membangun citra sebagai pembela rakyat, pembela kepentingan bangsa dan negara dan seterusnya.
Padahal faktanya, jauh panggang dari api. Bahkan dalam urusan korupsi, kader PDIP, baik yang di pemerintahan maupun di legislatif, tercatat juga paling banyak menjadi tersangka. Kalau betul mereka bekerja semata demi bangsa dan tanah air, mestinya semua itu tidak terjadi, to?
Andai parpol lain yang menang, apakah nasionalisme menang mengalahkan neolib?
Enggak juga.
Mengapa?
Dalam beberapa aspek mungkin iya. Gerindra misalnya, mempunyai pandangan yang sedikit berbeda dengan PDIP dan Partai Demokrat dalam soal kebijakan pertanian dan politik pangan.
Tapi itu tidak berarti ketika mereka berkuasa nanti akan sepenuhnya tegak nasionalisme, karena semua partai nasionalis yang yang ada saat ini sesungguhnya dari segi ideologi dasar tidaklah berbeda, yaitu sekuler.
Apa yang menyebabkan parpol mana pun dalam pemilu 2014 ini yang menang, Indonesia tetap dalam cengkraman kapitalisme global?
Karena hampir semua partai, terutama partai-partai nasionalis, digerakkan oleh pemilik modal, baik yang langsung sebagai pendiri atau pemimpin partai, maupun sebagai penyokong utama.
Selain itu, mereka juga menyadari arti penting dukungan AS. Tanpa itu mereka pasti akan terus diganggu. Oleh karena itu, mereka merasa perlu memberikan konsesi untuk kepentingan politik dan ekonomi negara adidaya itu di negeri ini.
Maka, seperti yang sudah-sudah, perusahaan-perusahaan AS, seperti Exxon Mobil, Chevron dan Freeport akan aman beroperasi di negeri ini. Lihatlah, di bawah pemerintahan presiden SBY yang juga ngaku nasionalis, Freeport kabarnya telah mendapat perpanjangan kontrak hingga tahun 2041. Meski belakangan kabar ini dibantah.
Sebelum ini, di ada masa kepresidenannya yang pertama, SBY malah menyerahkan blok kaya minyak Cepu kepada Exxon Mobil, bukan kepada Pertamina meski Pertamina telah menyatakan kesanggupannya untuk mengelola. Blok Mahakam yang kontraknya dengan Total bakal habis pada 2017 pun hingga sekarang tidak segera tegas ditarik dan diserahkan kepada perusahaan negara. Ada apa? Apa yang gini ini nasionalis?
Lantas bagaimana, agar parpol bisa melawan kapitalisme dan pimpinannya bisa mengatakan “tidak” kepada imperialisme Barat maupun Timur?
Perlawanan seperti itu hanya mungkin lahir dari partai yang benar-benar berdiri dan bekerja atas dasar ideologi yang berbeda sama sekali dengan sekularisme dan kapitalisme. Mungkin itu sosialisme.
Tapi sosialisme telah runtuh. Kalaupun ada, tetap saja sosialisme yang berkembang saat ini, seperti yang dianut oleh beberapa partai di negara Eropa Barat, telah mengalami modifikasi sedemikian rupa sehingga adaptif terhadap kapitalisme. Walhasil sama saja.
Karena itu peluangnya hanya tinggal pada Islam. Jadi, hanya partai politik Islam yang berdiri atas dasar asas Islam dan berjuang untuk tegaknya Islam melalui tegaknya sistem Islam dengan syariah dan khilafah saja yang bisa diharap mengatakan “tidak” pada imperialisme Barat maupun Timur.
Mengapa harus syariah dan khilafah, tidakkah ada alternatif lain?
Tidak. Tidak ada alternatif lain, karena ideologi di dunia ini memang hanya itu. Kalau tidak kapitalisme, ya sosialisme. Kalau tidak keduanya, ya hanya tinggal Islam. Karena itu, tidak bisa tidak, memang harus syariah dan khilafah. Titik. (mediaumat.com, 19/5/2014)