Klaim partai nasionalis pada faktanya hanya sekadar jargon. Ujung-ujungnya juga kapitalis dan neoliberal.
Hingar bingar pemilihan umum legislatif telah usai. Spanduk, poster, baliho, dan alat peraga lainnya tak lagi terlihat di jalan-jalan. Senyum para petualang politik hilang dari peredaran.
Masyarakat kembali hidup normal untuk beberapa saat. Tak lama lagi, helatan serupa akan datang lagi. Yah, masih ada pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Rakyat akan diajak berpesta lagi.
Meski hasil pemilu legislatif belum definitif, setidaknya masyarakat sudah bisa meraba-raba pemerintahan yang akan berkuasa lima tahun ke depan. Sudah terpilih partai-partai yang akan menguasai kursi DPR RI.
Partai-partai itu tidak asing lagi. Pemenang pemilu legislatif adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Peringkat berikutnya Partai Golkar, Gerindra, dan Partai Demokrat.
Tidak ada hal yang mengejutkan dalam pemilu legislatif ini, kecuali mencuatnya peringkat partai Gerindra yang dulu hanya memiliki 25 kursi, kini mendapat 68 kursi. Juga partai Nasdem—sebagai pendatang baru—tiba-tiba mendapat 39 kursi.
Sementara itu partai-partai Islam dan berbasis massa Islam kembali menduduki peringkat tengah. Dari semua parpol Islam, hanya satu yang tidak lolos yakni Partai Bulan Bintang (PBB). Perolehan suaranya hanya sekitar satu persen.
Melihat komposisi pemenang pemilu, dapat dipastikan DPR akan dikuasai oleh partai-partai berhaluan nasionalis-sekuler. Perolehan yang tak terlalu jauh berbeda mengharuskan adanya koalisi. Dan dalam kondisi seperti itu, biasanya parpol Islam harus berkompromi dengan partai nasionalis-sekuler. Parpol Islam ibarat penggembira dan pelengkap kemenangan parpol nasionalis-sekuler dengan imbalan kursi di pemerintahan.
Dalam lima tahun ke depan, arah kebijakan DPR pun sudah bisa terbaca. Meski eksekutif belum terpilih, setidaknya DPR tidak akan berubah banyak. Mereka akan tetap seperti semula yakni pro terhadap pasar dan para pengusaha.
Kendati, PDIP mengklaim dirinya sebagai partai wong cilik, sulit rasanya mewujudkan itu dalam ranah politik riil jika dikaitkan dengan track record/jejak rekam partai tersebut ketika Ketua Umumnya Megawati Soekarnoputri menjadi pemimpin tertinggi negeri ini 2001-2004.
Neoliberal
Boleh saja para aktivis partai itu menyatakan anti terhadap neoliberalisme. Tapi rekam jejak mereka di pusat kekuasaan justru berbicara sebaliknya. Mereka sangat nurut terhadap kebijakan International Monetary Fund (IMF).
Ketika IMF meminta Indonesia menjual BUMN, Megawati dengan ringan hati melaksanakan permintaan itu. Dalam sekejap beberapa BUMN dijual, termasuk kepada asing. Termasuk di dalamnya adalah penjualan BUMN yang sangat strategis yakni Indosat—yang mengendalikan satelit Palapa.
Tak hanya itu, kedekatannya dengan para kapitalis diwujudkan dengan pemberian release & discharge (R&D) kepada para konglomerat hitam yang terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan negara lebih dari Rp 600 trilyun. Dengan fasilitas tersebut, para konglomerat dibebaskan dari tuntutan pidana dan perdata serta mendapat kemudahan mencicil utangnya. Mereka pun dapat diskon pengembalian.
Beberapa konglomerat pun mendapatkan kembali bank mereka yang sedang dalam proses penyehatan oleh BPPN dengan harga murah. Walhasil, para kapitalis sangat dimanja saat pemerintahan Mega.
Berbagai kebijakan itu kemungkinan besar akan kembali diterapkan. Toh, selama ini DPR sangat patuh dengan apapun yang disampaikan Megawati sebagai ketua umum partainya. Sulit membayangkan Megawati akan mengubah haluan kebijakannya.
Klaim partai nasionalis pada faktanya hanya sekadar jargon. Ujung-ujungnya juga kapitalis dan neoliberal. Minimal, kapitalis dan liberal tapi santun terhadap wong cilik.
Tak Berubah
Wajah Indonesia lima tahun ke depan, tampaknya tak banyak perubahan. Boleh saja orang-orangnya sudah berganti. Presidennya baru. DPR-nya baru. Pejabatnya baru. Tapi kebijakannya lama.
Banyak pengamat memprediksi, pemerintahan mendatang memang agak rumit karena dibangun berdasarkan koalisi. Tidak ada yang dominan. Maka boro-boro berjalan sendiri, mereka harus saling berkompromi. Ujung-ujungnya adalah politik dagang sapi. Kalau demikian, apa yang terjadi akan mengulang rezim sebelumnya.
Belum lagi cengkeraman asing sangat kuat di negeri ini. Jangankah ingin bangkit, melepaskan diri dari ketiak asing pun tak berani. Ketergantungan dengan asing masih sangat tinggi, apalagi terjerat dengan utang dan bantuan.
Berubah dengan Islam
Menggantungkan nasib perubahan pada sistem yang ada, tidak mungkin. Sistem demokrasi sejak awal tidak diperuntukkan untuk kebangkitan sebuah bangsa. Sistem ini dibangun dalam rangka menjaga hegemoni Barat atas dunia Islam.
Dalam situasi seperti sekarang, tidak ada pilihan bagi negeri yang mayoritas Muslim ini kecuali menapaki perubahan ke arah Islam. Tentu bukan sekadar jargon kembali kepada Islam tapi tanpa makna.
Kembali kepada Islam yang dimaksud adalah kembali melanjutkan kehidupan Islam dengan melaksanakan seluruh syariah Islam melalui negara yakni khilafah. Hanya lewat jalan itu saja Indonesia akan bangkit.
Mengapa harus Islam? Ya itulah aturan yang paling adil dan benar bagi manusia. Islam datang dari Dzat Yang Mahaadil dan Mahabenar. Islam akan memanusiakan manusia dan mengatur dunia ini dengan keadilan.
Terlebih dari itu, sistem ini telah terbukti dalam kurun waktu yang panjang dalam mengelola sepertiga dunia sehingga dunia Islam menjadi mercusuar peradaban dunia. Dan, sistem Islam inilah yang dulu dicontohkan oleh Nabi SAW dalam membangkitkan kaum Muslim dan orang Arab dari masa jahiliyah ke masa kejayaan Islam.
Bagi kaum Muslim, menerapkan Islam secara kaffah adalah tuntutan akidah/keimanan. Ini adalah suatu yang harus dilakukan. Allah berfirman: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baikdaripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS Al Maidah [5]: 50).
(mediaumat.com, 19/5/2014)