HTI Press, Semarang. Mbah Parjo sangat menyesal datang terlambat pada Konferensi Islam dan Peradaban (KIP) Semarang. “Saya menyesal datang kesiangan pada acara ini, sehingga saya tidak bisa menempati kursi di depan untuk menyimak acara,” ungkapnya kepada HTI Press usai konferensi, Kamis (29/5) di Gedung Dewaruci Amni, Semarang.
Kakek berusia 83 tahun tersebut adalah seorang aktivis perjuangan Islam sejak jaman pra kemerdekaan sampai era reformasi. Ia juga merupakan ketua serikat buruh Semarang pada tahun 60-an, yang secara aktif membela hak-hak kaum buruh jika ada sesuatu hal yang telah melanggar kebijakan antara buruh dan perusahaan saat itu.
“Waktu muda dulu Mbah juga aktif bersama teman-teman menentang PKI!” ungkap Mbah Parjo.
Mbah Parjo merasa sangat bersyukur di masa tuanya bisa menyaksikan perkembangan umat Islam yang lebih baik. “Mbah datang ke sini dengan penuh rasa syukur dan mengharap ridha Allah SWT,” akunya.
Sejak dahulu, ia bercita-cita agar syariah Islam bisa diterapkan, namun karena ada kondisi tertentu yang akhirnya mengakibatkan syariah Islam ini tak kunjung bisa diterapkan. “Demokrasi adalah penyebab kenapa syariah Islam tidak bisa diterapkan. Dalam demokrasi semua orang bebas melakukan apa saja sekehendak mereka, tanpa berfikir lagi apakah tindakannya itu melanggar syariah Islam atau tidak,” tegasnya.
Pertemuan dengan HTI dan melihat perjuangan para syabab menurutnya sebagai sebuah titik terang akan perjuangan penerapan syariah. “Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan HTI itu sangat mencerdaskan dan mencerahkan pemikiran rakyat agar kita kembali taat kepada aturan Allah,” ungkapnya.
Di akhir wawancara, juga menyerukan bahwasannya Indonesia Milik Allah dan tidak hanya Indonesia, seluruh dunia juga milik Allah. “Jadi sudah seharusnya kita terapkan hukum Allah dan tinggalkan hukum buatan manusia,” pungkasnya.[] MI Semarang/Joy