Lebih dari 125 ribu orang dari berbagai kalangan menghadiri Konferensi Islam dan Peradaban (KIP) yang digelar di 70 kota se-Indonesia yang berlangsung pada 27, 29, 31 Mei dan 1 Juni. Lantas apa hasilnya? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan mediaumat.com Joko Prasetyo dengan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto. Berikut petikannya.
Apa hasil KIP yang baru usai diselenggarakan HTI di seluruh Indonesia?
Alhamdulillah berkat rahmat Allah SWT dan kerja keras panitia dan semua pihak, acara Konferensi Islam dan Peradaban (KIP) yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di 70 kota di seluruh Indonesia pada tanggal 27 Mei, 29 Mei, 31 Mei dan 1 Juni lalu telah berhasil diselenggarakan dengan sangat sukses dan mencapai maksud dan tujuan yang ditentukan.
Hasil terpenting dari acara ini tentu saja, yang pertama adalah makin kokohnya pendirian umat untuk sesegera mungkin mencampakkan demokrasi dan sistem ekonomi liberal, karena dua sistem itu bertentangan dengan akidah Islam dan secara faktual telah terbukti menimbulkan berbagai kerusakan dan kesengsaraan.
Kedua, makin kokohnya tekad umat untuk berjuang bersama-sama HTI untuk menegakkan syariah dan khilafah yang akan menggantikan demokrasi dan sistem ekonomi leberal itu.
Kemudian, hasil yang tak kalah pentingnya adalah bahwa secara internal acara ini telah makin mengokohkan kemampuan struktur HTI dalam menyelenggaraan acara-acara besar dan menggerakkan umat untuk hadir dalam acara itu.
Bukan hanya dalam teknis acara, secara nyata struktur HTI melalui acara yang dikemas amat apik itu juga mampu menyadarkan umat tentang busuknya demokrasi dan sistem ekonomi liberal serta semangat untuk mewujudkan kembali syariah dan khilafah sebagai ganti dari dua sistem sekuler itu.
Bagaimana respon umat terhadap acara ini?
Respon umat sangat luar biasa. Itu terlihat dari antusiasme mereka untuk hadir dalam acara tersebut. Mereka berbondong-bondong sejak pagi hari tiba di tempat acara, memenuhi semua kursi yang telah disediakan, bahkan tidak jarang dari mereka ada yang terpaksa harus berdiri akibat luapan peserta.
Selama acara pun, mereka mengikuti seluruh rangkaian dengan khidmat. Tak tampak dari mereka yang meninggalkan tempat sebelum acara selesai. Semua tekun menyimak uraian yang disampaikan oleh para pembicara dan tayangan dokusinema yang disajikan.
Tak jarang teriakan takbir menggelegar menggetarkan ruang acara merespon materi pembicara yang membangkitkan semangat. Pendek kata, semua larut dalam semangat dan kesadaran Islam untuk berjuang bagi tegakknya kembali syariah dan khilafah guna menggantikan demokrasi dan sistem ekonomi liberal.
Adakah tantangan dalam penyelenggaraan?
Praktis tidak ada. Kalaupun ada, itu bagai kerikil kecil di satu dua tempat, yang dilakukan oleh segelintir orang yang tidak bertanggungjawab.
Bagaimana di Tasikmalaya yang kabarnya dibubarkan?
Memang ada yang memberitakan seperti itu. Tapi itu sama sekalli tidak benar. Saya sendiri hadir di sana menyampaikan orasi akhir. KIP di Tasik berlangsung lancar dan penuh semangat. Gelora takbir bahkan hampir selalu mewarnai sepanjang acara, yang diteriakkan oleh peserta yang memenuhi seluruh kursi yang disediakan oleh panitia.
Acara dimulai dan diakhiri tepat sesuai jadual. Memang sempat ada demo kecil, tapi itu sama sekali tidak mempengaruhi kelancaran acara. Kita sangat berterima kasih pada pihak kepolisian Resort Tasikmalaya yang dengan sigap mengamankan acara. Saya sendiri sempat bertemu perwira kepolisian dan kepala sektor setempat. Semua mendukung acara hingga usai. Alhamdulillah.
Bagaimana di Bali yang harus pindah tempat?
Ya, akibat tekanan dari pihak-pihak tertentu dari kalangan Hindu fundamentalis, pihak kepolisian akhirnya meminta kita untuk memindahkan acara. Ini membuktikan kesekian kali bahwa di wilayah yang kita menjadi sedikit minoritas toleransi adalah omong kosong. Dengan sombongnya mereka memaksakan kehendak.
Lihatlah, bukan hanya menghambat pelaksanaan KIP, hingga sekarang pun mereka tetap tidak mengijinkan siswi sekolah di sana memakai jilbab. Padahal apa masalahnya dengan KIP dan jilbab? KIP diselenggarakan untuk internal umat, dan jilbab adalah pakaian khas Muslimah, mengapa mereka keberatan?
Dari respon KIP kemarin, ada tudingan HTI mengancam Indonesia ?
Memang ada yang menuding seperti itu. Tapi marilah kita nilai secara jujur. Secara riil, ada dua ancaman utama terhadap negeri ini, yakni sekularisme melalui demokrasi dan sistem ekonomi liberal yang makin memurukkan negeri ini, dan neo imperialisme atau penjajahan model baru yang dilakukan oleh negara adikuasa.
Semenjak Indonesia merdeka, telah lebih dari 60 tahun negeri ini diatur oleh sistem sekuler, baik bercorak sosialistik di masa orde lama maupun kapitalistik di masa orde baru dan neo liberal di masa reformasi.
Dalam demokrasi, aturan-aturan Islam atau syariah memang tidak pernah secara sengaja selalu digunakan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja, misalnya pada saat shalat, puasa, zakat, haji, kelahiran, pernikahan dan kematian. Sementara dalam urusan sosial kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan.
Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Yakni tatanan ekonomi yang liberalistik, perilaku politik yang oportunistik dan machiavellistik, budaya hedonistik yang amoralistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta sistem pendidikan yang materialistik. Maka, bukan kebaikan yang diperoleh oleh rakyat Indonesia yang mayoritas muslim itu, melainkan berbagai problem berkepanjangan yang datang secara bertubi-tubi.
Lihatlah, meski Indonesia adalah negeri yang amat kaya dan sudah lebih dari 60 tahun merdeka, tapi sekarang ada lebih dari 100 juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan. Puluhan juta angkatan kerja menganggur. Sementara, jutaan anak putus sekolah. Jutaan lagi mengalami malnutrisi. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga yang terus menerus terjadi.
Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan serta pembunuhan dan tindak asusila, budaya permisif, pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa semakin meningkat tajam. Wajar bila lantas orang bertanya, sudah 60 tahun merdeka, hidup koq makin susah?
Ancaman kedua, neo imperialisme. Indonesia memang telah merdeka. Tapi penjajahan ternyata tidaklah berakhir begitu saja. Nafsu negara adikuasa untuk tetap melanggengkan dominasi mereka atas dunia Islam, termasuk terhadap Indonesia, demi kepentingan ekonomi dan politik mereka tetap bergelora. Neo imperialisme dilakukan untuk mengontrol politik pemerintahan dan menghisap sumberdaya ekonomi negara lain. Melalui instrumen hutang dan kebijakan global, lembaga-lembaga dunia seperti IMF, World Bank dan WTO dibuat tidak untuk sungguh-sungguh membantu negara berkembang, tapi sebagai cara untuk melegitimasi langkah-langkah imperialistik mereka.
Akibatnya, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia tidak lagi merdeka secara politik. Penentuan pejabat misalnya, khususnya di bidang ekonomi, harus memperturutkan apa mau mereka. Wajar bila kemudian para pejabat itu bekerja tidak sepenuhnya untuk rakyat, tapi untuk kepentingan “tuan-tuan’ mereka.
Demi memenuhi kemauan “tuan-tuan” itu, tidak segan mereka merancang aturan (lihatlah UU Kelistrikan, juga UU Migas dan UU Penamanan Modal dan UU sejenis yang penuh dengan kontroversi) dan membuat kebijakan yang merugikan negara (lihatlah penyerahan blok kaya minyak Cepu kepada Exxon Mobil, juga pembiaran terhadap Exxon yang terus mengangkangi 80 triliun kaki kubik gas di Natuna meski sudah 25 tahun tidak diproduksi dan kontrak sudah berakhir Januari 2007 lalu). Tak pelak lagi, rakyatlah yang akhirnya menjadi korban, seperti yang kita saksikan sekarang.
Jadi bagaimana bisa mereka menuduh syariah dan khilafah mengancam Indonesia?
Kalau begitu, sejatinya ide khilafah yang ditawarkan HTI dimaksudkan untuk menyelamatkan Indonesia, seperti tercermin dalam slogan Selamatkan Indonesia dengan Syariah dan Khilafah?
Ya, betul sekali. Syariah akan menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan akibat sistem sekuler baik demokrasi dalam bidang politik maupun sistem ekonomi liberal, dan khilafah akan menghentikan neo-imperialisme yang kini tengah menimpa negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia, yang dilakukan oleh negara adikuasa. Kejahatan adikuasa hanya mungkin bisa dihentikan oleh kekuatan adikuasa juga. Itulah khalifah.[]
(mediaumat.com, 3/6/2014)