Tak ada hujan, tak ada mendung, tiba-tiba saja muncul ke permukaan jagat perpolitikan
Semula dikatakan bahwa asas tunggal diperlukan untuk menepis arus separatisme. Namun, alasan ini mudah sekali dibantah karena gerakan separatisme justru terjadi di daerah yang dipimpin oleh gubernur dari partai nasionalis (Golkar dan PDIP) dan parlemennya juga dikuasai oleh mereka. Kemudian dikatakan bahwa asas tunggal diperlukan untuk mengerem kecenderungan lahirnya perda-perda bernuansa syariah. Lagi-lagi alasan ini juga mudah sekali dipatahkan karena faktanya daerah-daerah yang melahirkan peraturan-peraturan daerah yang dikatakan bernuansa syariah itu (perda zakat, perda pandai membaca al Quran, perda busana Muslim, perda larangan miras dan perda anti maksiat) adalah daerah—seperti Kabupaten Bulukumba dan Propinsi Sumatera Barat—yang juga bupati dan gubernurnya berasal dari partai nasionalis dan parlemennya juga dikuasai oleh mereka. Daerah seperti Kota Depok yang walikotanya dari partai Islam (PKS) dan Propinsi DKI yang parlemennya didominasi oleh partai Islam (PKS) malah sampai sekarang belum terdengar ada niat untuk membuat perda-perda serupa itu. Jadi?
Maka berseliweranlah berbagai rumor. Dari sumber yang bisa dipercaya—yang memang memiliki jangkauan luas dalam pergaulan lintas partai dan memiliki akses informasi ke ruang-ruang pengambilan keputusan—dikatakan bahwa di belakang gagasan itu memang ada kekhawatiran terhadap kecenderungan menguatnya kekuatan politik Islam. Hal ini ditandai dengan meningkatnya secara signifikan perolehan suara parpol Islam dan menangnya calon kepala daerah yang diusung oleh parpol Islam, bahkan di daerah yang notebene dikuasai oleh partai nasionalis sekalipun. Untuk membendung kecenderungan itu, kekuatan politik Islam itu harus digembosi. Cara yang paling mudah adalah dengan mencabut titik yang menjadi daya tarik mereka, yakni identitas keislamannya.
Sang sumber juga bercerita, jika pengasastunggalan parpol ini berhasil, mereka juga akan berusaha untuk mengasastunggalkan kembali seluruh ormas. Ini sasaran mereka berikutnya. Masih menurut sumber itu, kalangan nasionalis sekular juga merasa khawatir dengan makin maraknya organisasi
Jika benar cerita itu, tak salah jika kita pantas khawatir. Rezim otoritarian
Lepas dari kontroversi soal asas tunggal tadi, akhir-akhir ini memang tampak kegelisahan dari sejumlah pihak terhadap apa yang mereka katakan sebagai makin menipisnya kesetiaan pada Pancasila. Sejumlah bukti mereka sodorkan. Misalnya, Pancasila makin jarang disebut baik dalam wacana maupun dalam pidato-pidato pejabat. Juga ada gerakan separatisme yang muncul di beberapa daerah. Bukan hanya itu, maraknya tuntutan penegakan syariah dan pembuatan peraturan-peraturan daerah yang bernuansa syariah juga mereka sebut sebagai gejala dari menipisnya peran Pancasila.
Karena itu, lantas muncul berbagai usaha untuk apa yang mereka sebut revitalisasi Pancasila. Di antaranya adalah Seminar tentang Revitalisasi Pancasila dalam Kehidupan Bernegara oleh Yayasan Anakbangsa pada 5 September lalu di kantor PB NU yang menghadirkan sejumlah pembicara antara lain Joserizal MerC, Fauzan MMI, Pdt Natan Setiabudi dan mantan Mensesneg Bondan Gunawan, selain Letjen (Purn) Agus Wijoyo, Pdt Benny Susetyo dan Jubir HTI M. Ismail Yusanto dan sebagainya.
Dalam kesempatan itu, oleh Jubir HTI disampaikan bahwa sebagai set of phylosophi (seperangkat gagasan filosofis), Pancasila memang tidak mencukupi (not sufficient) untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara karena dia tidak memiliki sistem operasional. Itulah mengapa, Pancasila pada masa Orde Lama ditarik lebih ke arah sosialistik, lalu pada masa Orde Baru lebih kapitalistik, dan pada masa reformasi lebih kearah liberal. Maka ada pertanyaan krusial, mana dari sekian orde itu bisa dikatakan sebagai telah melaksanakan Pancasila? Orde lama? Mestinya iya, karena di
Sampai di sini, forum tidak menemukan kata sepakat bagaimana cara revitalisasi Pancasila itu harus dilakukan. Pada titik inilah lantas oleh Jubir HTI ditegaskan kepada forum bahwa seruan penegakan syariah tidak lain adalah solusi rasional untuk menggantikan Sosialisme atau Kapitalisme dan liberalisme yang dijadikan sebagai dasar dalam pengelolaan kehidupan bermasyarakat dan bernegara selama ini yang telah terbukti gagal membawa negeri ini ke arah yang dicita-citakan. Sudah pasti, diskusi makin menghangat karena tentu saja tidak mudah peserta yang datang dari berbagai latar belakang untuk menerima pemikiran itu, apalagi dengan penjelasan yang serba ringkas. Namun, setidaknya telah diungkap dengan gamblang kedudukan Pancasila sebagai seperangkat falsafah dan bagaimana mestinya negara ini diatur dengan sistem yang benar. Itulah syariah Islam. [Kantor Jubir HTI,