Jokowi dan Prabowo Satu Perahu

Muhammad Rahmat Kurnia, Ketua Lajnah Faaliyah DPP HTI

Muhammad Rahmat Kurnia, Ketua Lajnah Faaliyah DPP HTI

Masyarakat disuguhi dua pasangan calon presiden/wakil presiden. Karena hanya dua pasang, persaingan menjadi sangat tajam. Kampanye positif dan negatif yang dilakukan oleh tim sukses keduanya pun tak terelakkan. Banyak masyarakat dibuat lupa, seolah-olah para kedua kandidat presiden itu sangat berbeda. Malah digambarkan keduanya saling bermusuhan. Benarkah? Akankah Indonesia berubah dengan terpilihnya salah satu di antaranya? Untuk mengupas hal itu wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo mewawancarai Ketua Lajnah Fa’aliyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Rahmat Kurnia. Berikut petikannya.

Banyak orang berharap adanya perubahan dalam pergantian presiden dalam Pemilu 2014.  Bagaimana pandangan Anda?

Sering kali apabila kita berbicara tentang perubahan yang dilihat hanyalah orang atau pemimpinnya. Seolah-olah ganti orang, otomatis terjadi perubahan. Beres. Nyatanya kan nggak.

Dulu ketika zaman Nabi masih di Mekkah, sebelum diangkat sebagai Nabi dan Rasul, beliau itu memiliki perilaku yang paripurna.  Bahkan, beliau digelari al-Amin, orang yang jujur, amanah, bertanggung jawab, dan dapat dipercaya oleh masyarakatnya pada waktu itu.  Dilihat dari aspek sebagai ‘orang’, beliau sangat luar biasa.  Namun, toh Allah SWT tetap menurunkan sistem hukum dan aturan hidup kepada beliau baik di dalam Alquran maupun As-Sunnah.  Hal ini menunjukkan bahwa ada dua hal yang diperlukan dalam suatu perubahan masyarakat: orang/pemimpin dan sistem yang diterapkan oleh pemimpin tersebut.

Berkaitan dengan aspek orang, bagaimana pandangan Anda?

Siapa pun yang menggali nash-nash Alquran, Sunnah, serta kitab-kitab para ulama akan menemukan bahwa ada tujuh syarat utama seorang kepala negara. Yakni Muslim, baligh, berakal, laki-laki, adil (tidak fasik), merdeka (hurran), dan memiliki kemampuan menunaikan tugasnya (qâdiran).  Berkaitan dengan hurran tidak dibenarkan dia seorang budak, menjadi pelayan asing, disetir oleh orang lain, atau dikendalikan oleh konglomerat.

Lalu, bagaimana dengan sistem?

Sistem itu berkaitan dengan hukum/aturan baik menyangkut politik, sosial, maupun ekonomi.  Siapa pun yang memimpin harus menerapkan sistem Islam, yakni syariat Islam.  Banyak nash yang menegaskan hal ini. Di antaranya dalam surat Al-Maidah ayat 50: “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ayat ini merupakan pengingkaran terhadap orang yang keluar dari hukum Allah SWT seraya berpaling kepada hukum buatan para tokohnya tanpa bersandar kepada syariat Allah SWT.

Jadi, orang dan sistem perlu menjadi perhatian?

Ya, tentu.  Orang baik yang menerapkan sistem rusak hanya akan menghasilkan kerusakan.  Begitu juga, sistem yang baik bila diterapkan oleh orang yang jahat akan berubah menjadi sistem yang buruk.

Bagaimana plus minus Jokowi versus Prabowo menurut Anda?

Sejauh pengetahuan saya, Jokowi dan Prabowo sebenarnya merupakan satu perahu.  Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta ‘kan didukung Prabowo.

Bila aspek pribadi?

Kalau persoalan pribadi akan sangat subyektif.  Contoh, Jokowi disebut jujur.  Namun, ketika Prabowo secara terbuka menjelaskan bahwa koalisi yang dibentuknya gemuk dan ada bagi-bagi kekuasaan di antara partai pendukung, saya pikir ini jujur juga.

Ada yang mengatakan Jokowi didukung oleh pihak Evangelism yang memiliki misi pemurtadan?

Saya juga mendapatkan informasi seperti itu.

Bagaimana dilihat dari aspek ‘merdeka’?

Sejauh pengetahuan saya, Jokowi pernah bertemu dengan Duta Besar AS dan Duta Besar Vatikan.  Sumber yang dapat dipercaya menginformasikan bahwa ada sembilan konglomerat Cina yang berada di belakang Jokowi.  Bahkan, Jokowi didudukkan oleh Megawati sebagai petugas partai saat dicalonkan sebagai presiden.  Hal ini menjadikan kemandirian dan kedaulatan sangat lemah.  Namun, bukan berarti kemungkinan ini tidak ada pada diri Prabowo yang pernah mengecap pendidikan di AS.  Penguasa India yang baru terpilih awalnya tidak disetujui AS, namun setelah jadi, AS pun menjadikannya sebagai kolega.

Prediksi Anda, bagaimana Indonesia lima tahun ke depan bila Jokowi yang memimpin?

Indonesia akan makin kokoh menjadi negara korporasi. Persekutuan antara penguasa dengan pengusaha akan semakin kuat.

Mengapa?

Seperti saya telah sebutkan, di belakangnya ada konglomerat.  Jokowi sendiri pengusaha.

Apakah negara korporasi tidak ada bila Prabowo yang menjadi presiden?

Saya lihat sama saja. Negara korporasi tetap akan makin kokoh.

Alasannya?

Di belakang Prabowo ‘kan juga pengusaha. Sebut saja Hashim, adiknya. Belakangan bergabung Hari Tanoe. Bedanya, pengusaha pendukung Jokowi lebih mendunia. Prabowo sendiri pengusaha.

Prediksi Anda, bagaimana Islam lima tahun ke depan bila Jokowi atau Prabowo yang terpilih?

Menurut saya, baik Prabowo maupun Jokowi tidak dapat mengabaikan faktor Islam.  Unsur Islam akan diperhitungkan dan diberi tempat dalam kancah perpolitikan. Hanya saja penyertaannya bukan secara politis melainkan hanya psikologis saja. Islam yang berbau spiritual, ibadah mahdhah diberi tempat. Sementara, Islam yang bersifat politis, penerapan syariat Islam tetap tidak diberi tempat yang semestinya.  Kubu Jokowi belum-belum sudah mengintruksikan untuk mengawasi khatib di masjid. Sementara, Prabowo pada 9 Oktober 2013 menyatakan bahwa ia mengaku sebagai elite Indonesia yang berkiblat ke Barat, kagum pada Barat, bahkan dia menyatakan menerima nilai Barat termasuk demokrasi liberal.

Tapi, Prabowo berani memekikkan kalimat takbir ‘Allahu Akbar’ saat berpidato sementara Jokowi tidak?

Ya, itu salah satu kelebihan Prabowo. Namun, itu tetap sebatas psikologis.  Jangan lupa, dia juga ketika menyampaikai visi misi di kantor Partai Demokrat menyapa bukan hanya dengan salam Islam tapi juga agama lain: Shalom dan Om Swastiastu.

Jadi boleh dikata, umat Islam [mayoritas pemilih], laksana pendorong mobil mogok saja? Ditinggalkan begitu saja setelah mobilnya jalan.

Selama ini, itulah yang terjadi.

Tapi kan Prabowo didukung semua parpol Islam —kecuali PKB—, masa sih parpol Islam-parpol Islam tersebut tidak akan mendorong Prabowo menerapkan syariah Islam secara kaffah?

Saya berharap demikian. Namun, bukankah pendukung pemerintahan SBY selama dua periode adalah partai-partai Islam dan berbasis massa Islam? Persoalan ekonomi tetap liberal.  Sumber daya alam tetap diprivatisasi. Padahal, di antara kewajiban partai Islam adalah berjuang menerapkan syariat Islam kaffah itu.

Ada yang mengatakan, karena keduanya buruk maka pilihlah yang mudharatnya paling kecil (akhaffu dhararain). Bagaimana komentar Anda?

Kaidah ini tidak dapat diterapkan secara sembarangan.  Para ulama hanya membolehkan melakukan “yang paling ringan bahayanya” pada kondisi jika tidak mungkin meninggalkan dua perkara tersebut.  Bahayanya pun harus ada argumentasi syar’iy.  Jangan sampai kaidah tersebut hanya dijadikan alat legitimasi saja.

Dulu, ada partai Islam mendukung Gus Dur ketimbang Megawati dengan dalih akhaffu dhararain.  Lalu, dua tahun sesudah itu melengserkan Gus Dur dan memilih Megawati juga dengan dalih akhaffu dhararain.  Ini menunjukkan kaidah akhaffu dhararain hanya untuk legitimasi saja.

Kalau tidak Jokowi atau Prabowo, lantas siapa?  Masa Indonesia tanpa presiden?

Itu pertanyaan hipotetik. Tidak mungkinlah itu terjadi. Nah, tugas kita bukan sekadar memilih pemimpin melainkan memilih pemimpin yang akan menerapkan syariat Islam secara kaffah. (mediaumat.com, 11/6/2014)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*