HTI Press. Menanggapi pernyataan capres Prabowo Subianto dalam debat capres pada minggu (15/6) terkait adanya kebocoran Anggaran negara hingga Rp 7.200 triliun, anggota lajnah siyasiyah DPP HTI Gus Uwik menegaskan bahwa yang terjadi sejatinya adalah perampokan terhadap harta negara bukan kebocoran anggaran.
“Para koruptor sejatinya ‘menghaluskan’ bahasa saja agar istilahnya tidak seram. Padahal sejatinya aktivitasnya sama, yakni mengambil harta negara dengan cara yang bathil dan haram,” tegasnya.
Lebih lanjut, menurut tokoh muda Islam HTI ini menjelaskan menurut hasil temuan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), sejak 2009 hingga 2012 telah terjadi kebocoran anggaran yang fantastis, mencapai 83 kali lipat (bisnis.com, 22/3/14).
Pada 2009, kebocoran anggaran disebutkan senilai Rp2,1 triliun dan pada 2012 nilai itu melejit menjadi Rp177 triliun. Selain itu dalam tren penaikan tersebut, dari data yang dikeluarkan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), lembaga BUMN tiap tahunnya mencatat angka kebocoran yang meningkat. Puncaknya terjadi pada 2012 yang mencapai Rp77,8 triliun.
“Lebih parahnya, lembaga kementerian, terhitung sejak 2009, di bawah BUMN, mencatat kebocoran Rp968 miliar. Pada 2012, kebocoran anggaran di kementerian melonjak hingga Rp54,7 triliun. Jadi, sebagaimana temuan BPK, tiap tahunnya meningkat 20%. Untuk tingkatan pemda, pada 2009 terjadi kebocoran Rp922 miliar, dan pada 2012 nilainya melonjak menjadi Rp44,6 triliun. Sungguh mengerikan! ” tandasnya.
Masih menurut tokoh muda yang juga menjadi Ketua DPP HTI ini, melihat realitas kejadian di atas maka istilah kebocoran sangat tidak benar. Yang ada adalah perampokan keuangan negara. Apalagi menurut hasil pengamatan FITRA yang disampaikan Direktur Investigasi dan Advokasi Ucok ‘Sky’ Khadafi, ternyata kebocoran disebabkan biaya politik yang mahal.
“Perampokan terhadap uang negara terjadi karena partai sendiri tidak punya anggaran, terpaksa merampok atau mengambil dari APBN melalui orang-orang mereka, baik di eksekutif maupun legislatif untuk menutupi biaya politik yang ada,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut kesimpulan Gus Uwik demokrasi dan pemerintahan yang ada telah melegalkan dan melahirkan ‘biaya politik’. Padahal justru dengan adanya biaya politik inilah, terjadi pragmatisme dan menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan ‘modal’ biaya politik tersebut.
“Jadi, perampokan uang negara sejatinya muncul karena sistem demokrasi itu sendiri. Demokrasilah yang mendorong para politisi dan pejabat pemerintahan untuk korup. Ujungnya rakyat menjadi tumbal. Jika perampokan uang negara terjadi secara sistemik, kenapa masih mempertahankan demokrasi itu sendiri?” tanyanya.
Oleh sebab itu, menurut tokoh muda bogor ini, inilah pentingnya perjuangan penegakan syariat Islam dalam bingkai Khilafah yang nantinya akan mengganti sistem demokrasi. Dalam syariat Islam, mengorupsi hukumannya tegas, yakni bukan di potong tangannya. Jika uang yang dikorupsi dalam jumlah besar, bahkan menggangu keuangan negara maka hukumannya bisa hukuman mati. Dimana sebelumnya namanya diwartakan ke seluruh negeri bahwa ‘si fulan’ adalah koruptor.
“Dengan beratnya hukuman maka akan menjadi pencegah bagi yang lain untuk menirunya. Jadi secara sistem, syariat Islam mencegah praktik korupsi,” jelasnya.[]