“Media utama pada dasarnya melakukan histeria dengan begitu banyak fokus pada ISIS, padahal sebenarnya, ISIS adalah entitas kecil. Pemberitaan ini jelas memainkan peran penting dalam pemberontakan di wilayah Sunni Irak, tetapi jika tidak memiliki dukungan dari massa, dengan kata lain jika tidak ada dukungan pemberontakan kaum Sunni secara umum, ISIS tidak akan mampu mencapai semua ini ……. dan saya kira masalahnya adalah hanya pada hal yang tidak proporsional atas fokus pada ISIS.” Kamran Bukhari, Strafor.
Ketika banyak orang di seluruh dunia terus mencerna apa yang sedang terjadi di Irak, media global telah berkerja dengan penuh semangat. Ketika dunia sedang menonton Piala Dunia di Brasil, media global berusaha untuk mengisi kesenjangan pengetahuan mereka tentang Irak, dengan asumsi logika dan kebohongan. Ada banyak fakta-fakta dasar yang telah dilemahkan atau diberitakan untuk memenuhi agenda pihak lain. Pada intinya, sebagaimana musim semi Arab, apa yang sedang terjadi di Irak adalah sebuah pemberontakan terhadap penguasa yang menindas.
Peristiwa baru-baru ini di Irak adalah akibat langsung dan konsekuensi dari tujuan AS untuk memecah belah Irak. Hal ini dimulai ketika Amerika Serikat memberlakukan zona larangan terbang di atas Utara Irak pada tahun 1991, sejak itu provinsi Kurdistan telah beroperasi sebagai negara otonom. Peristiwa 11/9 memberikan pemerintahan Bush pembenaran untuk menyerang Irak, dengan menyebarkan kebohongan seperti Irak memiliki senjata pemusnah massal sehingga pada tahun 2003 menyerbu Irak untuk menciptakan kehadiran permanen bagi AS. AS sejak awal merencanakan untuk memecah negeri itu menjadi wilayah Sunni, Syiah dan Kurdi untuk membuat invasinya sukses dan untuk memecah belah oposisi. AS di bawah Paul Bremer membagi kekuasaan dalam sistem politik baru dan kemudian membuat sebuah konstitusi permanen yang akan memecah belah Irak. AS menyingkirkan rezim Saddam Hussain dan kemudian membubarkan tentara dan pasukan keamanan. Amerika berencana untuk mendirikan suatu pasukan keamanan baru, yang akan mereka latih.
Nouri al Malaki telah menjadi perdana menteri Irak sejak pemerintahan transisi berakhir pada tahun 2006. Saat ini, kekuatan politik dan militer di Irak sangat terpusat di kantor Perdana Menteri Nouri al-Maliki. Al-Maliki mendominasi tentara Irak, unit operasi khusus, intelijen dan departemen pemerintah utama. Semuanya telah menjadi kantor pribadinya. Namun sebagian besar tentara yang dipersenjatai dan dilatih oleh AS, tidak disiplin dan tidak profesional – dan sangat tidak bisa diandalkan. Mereka tergantung pada dukungan militer AS untuk melakukan operasi. Al-Maliki terus mengakumulasi kekuasaannyadengan cara menyingkirkan saingannya. Pada Desember 2011, al-Maliki melarang Wakil Perdana Menteri Sunni Saleh al-Mutlaq untuk melakukan pertemuan kabinet dan mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Wakil Presiden Tariq al-Hashimi. Al Maliki telah menjadi seorang tiran, dimana dia mengisi orang-orang di pemerintahannya dengan mereka yang setia kepadanya, terutama yang terdiri dari kaum Syiah dari selatan Irak dan minoritas dan akhirnya memperlakukan mereka sebagai warga negara kelas dua, dan memimpin kampanye penyiksaan, pembunuhan, dan penganiayaan berat.
Maliki membubarkan milisi Sahwa, melanggar perjanjian untuk mengintegrasikan banyak dari mereka ke dalam tentara reguler. Sunni telah sepenuhnya disingkirkan dan dihilangkan dari pemerintah. Akibatnya banyak yang mulai protes, dengan dukungan dari seluruh provinsi dan para pemimpin suku. Kamp-kamp protes didirikan dan rakyat menuntut kerja, suatu hal yang menunjukkan kemarahan mereka atas penangkapan dengan alasan ‘terorisme’, dan berkeinginan untuk mendapatkan perwakilan di pemerintahan. Al-Maliki mengejek tuntutan mereka dan menembaki sebuah kamp protes di Hawija. Pada titik ini protes berubah menjadi perlawanan bersenjata.
Sementara media global telah terpana dengan ISIS, mereka sebenarnya hanyalah salah satu faksi pemberontakan di Irak. Sebuah struktur komando yang didirikan di Fallujah dalam minggu-minggu pertama pertempuran. Struktur itu terutama terdiri dari para pemimpin suku dan mantan para pejabat militer yang bernama Dewan Militer Jenderal Bagi Kaum Revolusioner Irak. Dewan ini dipimpin oleh Sheikh Abdullah Janabi, yang juga memimpin Dewan Syura Mujihadeen di Fallujah pada tahun 2004. Dia menyerukan kerjasama antara berbagai faksi di Fallujah. Seorang pemimpin senior lain Mayor Jenderal Montasir Al-Anbari menegaskan: “keputusan untuk membentuk kelompok-kelompok tempur Sunni diambil oleh para ulama dan suku-sukusebagai akibat dari Protes Pembantaian Hawija yang dilakukan oleh tentara Irak, dimana puluhan orang tewas dan terluka dalam insiden itu.” Al-Anbari juga menegaskan bahwa pembentukan kelompok-kelompok tempur itu diputuskan dalam pertemuan semua kelompok Sunni selain ISIS. ISIS, kata dia, diminta untuk bergabung dengan kelompok-kelompok itu beberapa bulan setelah mereka terbentuk dan diminta untuk menjadi bagian dari aksi militer Sunni. Banyak persyaratan yang diungkapkan, kata Al-Anbari, sebelum mereka setuju untuk menerima permintaan ISIS. Dia melanjutkan lebih jauh: “Dalam kasus apapun, ISIS hanya sekitar 30% dari para pejuang pemberontak, tetapi mereka terkait dengan kami oleh beberapa perjanjian tertentu dan mengakui bahwa ISIS tidak dapat menghadapi kelompok tempur lainnya.”
Situs Al Monitor merinci suku-suku berbeda yang berperang melawan rezim Malaki dan menjelaskan ISIS hanyalah salah satu dari empat kelompok tempur yang berperang melawan rezim. Meskipun demikian pemerintah Irak memperlakukan semua pejuang sebagai teroris. Suku-suku itu telah bersatu dengan faksi-faksi lain untuk membentuk suatu perlawanan. Suku-suku utama Dulaim – di antaranya adalah al-Bou Nimr, al-Farraj, al-Bou Issa dan al-Fallaha dan sejumlah pria bersenjata dari klan al-Jamilat, al-Jabour dan al-Janabat membentuk suatu aliansi. Berbagai macam kelompok-kelompok bersenjata yang berperang melawan pasukan AS kemudian baik dibubarkan, mengurangi aktivitas mereka atau bergabung dengan Sahwa atau pasukan keamanan Irak telah bergabung dengan barisan. Mereka termasuk Hamas-Irak, Kataeb al-Thawrat al-Ishrin, Jamaat al-Naqshbandi, Jaish al-Mujahidin dan Baath. Michael Knights, seorang analis di Institut Washington untuk Kebijakan Timur Dekat yang telah meneliti kelompok Naqshbandia, mengatakan, “Mereka tidak bisa menyita sebagian kecil dari apa yang mereka lakukan tanpa aliansi yang terkoordinir dengan kelompok-kelompok Sunni lainnya.” Kelompok-kelompok jihad yang mengikuti al-Qaeda namun bukan bagian dari ISIS, lalu berpisah dari ISIS setelah pemimpinnya, Abu Bakr al-Baghdadi, memberontak terhadap pemimpin al-Qaeda global, Ayman Zawahri. Yang paling menonjol dari kelompok ini adalah Jaish Ansar al-Sunna. Semua ini menunjukkan ISIS merupakan sebagian kecil dari kelompok-kelompok perlawanan secara keseluruhan.
Setelah hampir satu tahun melawan rezim Malaki, pihak oposisi telah tumbuh dalam hal kekuatan dan pemerintah Malaki berjuang keras untuk merebut kembali wilayah-wilayah karena tentaranya tidak disiplin atau mampu di wilayah Timur dan Utara negara. Ketika Mosul jatuh pada tanggal 5 Juni 2014, kelompok perlawanan sudah memiliki kontrol de facto atas provinsi Anbar. Mereka sudah memperluas dan memperkuat posisi mereka di provinsi Nieveh yang bersebelahan, dimana Mosul adalah ibukotanya. Operasi atas Mosul dilakukan dengan beberapa kelompok milisi, yang didukung oleh suku-suku di provinsi Anbar. The New York Times melaporkan salah seorang pemimpin senior para pejuang mengatakan: “Kelompok-kelompok ini disatukan oleh tujuan yang sama, yakni menyingkirkan pemerintahan sektarian, mengakhiri militer yang korup dan bernegosiasi untuk membentuk Wilayah Sunni. Pertempuran yang menentukan akan terjadi di wilayah utaraBaghdad. Kelompok-kelompok ini tidak akan berhenti di Tikrit dan akan terus bergerak menuju Baghdad, perencanaan terhadap serangan itu telah dimulai dua tahun lalu.” Pertempuran ini terjadi dimana banyak orang di dunia terkejut dengan begitu cepat jatuhnya kota terbesar kedua di Irak itu, dimana sebagian besar wilayah di sekitarnya sudah dikuasai pemberontak. Karena itu, pasukan keamanan Irak tidak melawan ketika para pejuang Sunni mengambil alih Mosul. Para prajurit menjatuhkan senjata mereka, membuang seragam mereka dengan menggantinya dengan pakaian sipil dan bergabung dengan rakyat. Karena banyak perwira militer yang tidak dibayar secara teratur dan mereka berasal dari wilayah Sunni, hal ini juga memunculkan opini publik terhadap pemerintah pusat karena kekejaman mereka sehingga para perwira itu mendukung pengambilalihan kota. The New York Times bahkan melaporkan ketika 500.000 penduduk Mosul melarikan diri dari kota mereka, dimana mereka melakukannya bukan karena takut kepada ISIS namun karena takut atas apa yang akan dilakukan oleh pemerintah Malaki sekarang. Banyak orang yang bahkan menyatakan rasa terima kasih terhadap para pejuang yang telah mengusir pasukan keamanan Maliki dari kota mereka.
Namun, tampaknya ISIS telah melampaui apa yang telah disepakati dengan para pemimpin suku. Mayor Jenderal Montasir Al-Anbari menjelaskan: “Tanpa diragukan lagi, kami khawatir tentang gerakan sepihak ISIS karena mereka menyerang kota Telafer dan menculik konsul Turki, dan mereka mengancam untuk maju menuju Baghdad, Karbala dan Najaf Al-. Semua ini, melanggar kesepakatan yang dicapai antara kelompok-kelompok pemberontak Sunni. Namun, setiap solusi politik yang memenuhi tuntutan kaum Sunni dan menyelamatkan mereka dari penindasan Al-Maliki akan diterima. ”
Kekuatan regional dan global bergerak dengan sungguh-sungguh untuk menggagalkan pemberontakan tersebut. Pemerintah Malaki segera menjelaskan perlawanan itu sebagai pemberontakan Sunni melawan Syiah, padahal dalam kenyataannya ini adalah pemberontakan terhadap penguasa yang menindas. Ini merupakan taktik yang sama yang digunakan oleh Basher al-Assad untuk menggalang dukungan baginya dan mengalihkan dari kegagalan dan penindasan yang dilakukannya sendiri. Iran lalu mengerahkan Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) untuk membantu tentara Irak seperti yang mereka lakukan di Suriah untuk menopang rezim al-Assad. Pada Shalat Jumat tanggal 14 Juni 2014 ulama Syiah terkemuka Ayatullah Ali al-Sistani menyerukan Syiah untuk memanggul senjata melawan ISIS. Arab Saudi telah lama memiliki hubungan dengan suku-suku di provinsi Anbar. Ada beberapa laporan bahwa kepala intelijen Arab Saudi, Yousef bin Ali al Idrisis, telah berkomunikasi langsung dengan Majlis Thuwar al Anbar.
Rakyat Irak perlu memastikan pemberontakan mereka untuk mempertahankan kemurniannya. Banyak dari kelompok pemberontak itu yang berasal dari berbagai latar belakang, termasuk para mantan petugas keamanan Saddam Hussain, akibatnya mempertahankan hubungan mereka adalah penting.
Rakyat juga harus berhati-hati dalam mencari bantuan dari luar. ISIS telah membuka front lain di Suriah, yang telah mematahkan pemberontakan dalam melawan al-Assad. Beberapa tindakan mereka telah menimbulkan pertanyaan serius tentang mereka, sehingga rakyat Irak harus berhati-hati dari orang-orang yang berada di dalam jajarannya.
Umat Islam di Irak juga perlu waspada terhadap bantuan dari luar. BasNews melaporkan tanggal 20 Juni bahwa 150 pejabat intelijen Saudi secara diam-diam telah melakukan perjalanan ke pihak pemberontak yang menguasai kota Mosul melalui provinsi al-Hasakah di Suriah. Negara-negara regional tidak dapat dipercaya karena mereka telah bekerja atas berbagai isu regional bersama dengan negara-negara Barat.
Singkatnya, AS memecah belah Irak menjadi wilayah Sunni, Syiah dan Kurdi dan sekarang kelompok minoritas sedang ditindas oleh mayoritas. Kemungkinan, barat akan melakukan pecah belah Irak lebih lanjut dan bahkan mungkin mengkerat-keratnya. Umat Islam di Irak dan wilayah itu harus melawan politik pecah belah ini dengan sekuat tenaga. (rz)
Sumber : www.khilafah.com