HTI Press, Surabaya. Tanggal 18 Juni 2014, menjadi hari bersejarah bagi Surabaya, penutupan lokalisasi pelacuran Dolly Surabaya benar-benar telah terealisasikan sesuai rencana. Deklarasi penutupan dilakukan jam 19.00 di Islamic Centre (yang hanya berjarak ratusan meter dari Dolly) oleh Walikota Surabaya Tri Rismaharini didampingi Gubernur Jawa Timur dan Menteri Sosial. Dihadiri juga perwakilan masyarakat sekitar Dolly yang juga bersepakat penutupan dan beberapa WTS-mucikari yang sudah bertobat. Sayangnya deklarasi tersebut bersifat terbatas dan tertutup.
Sebelumnya, siang jam 13 di Taman Apsari depan Gedung Negara Grahadi dilakukan tabligh akbar 62 ormas sebagai moral force untuk mufakat memberangus kemaksiatan Dolly. Ibnu Ali dari HTI Jatim membuka orasi, “ Wajib, wajib dan wajib menutup Dolly.” Orator lain mengatakan, “Penutupan Dolly jangan hanya formalitas, dan jangan memunculkan kemaksiyatan lainnya.” Orator ormas lain menambahi,”Tidak hanya prostitusi yang harus tutup, pabrik khomr juga harus tutup.” Di tengah-tengah aksi bersama tersebut terpampang baliho besar bertuliskan ‘Jatim Bebas Prostitusi 2014’ Tabligh akbar ditutup dengan sujud syukur bersama yang dipimpin ketua MUI Jatim KH. Abdush Shomad Buchori jam 14.42 WIB. “Kita patut bersyukur, Dolly adalah merupakan lokalisasi pelacuran yang ditutup ke 25. Tapi masih ada 22 lokalisasi pelacuran di Jatim yang belum ditutup, dan 183 lokalisasi di seluruh Indonesia,” penyataan Abdush Shomad sebelumnya.
Penutupan Dolly tersebut menarik perhatian dari media internasional. Menurut warga Dolly, sedikitnya ada 7 media yang melakukan peliputan, di antaranya dari Inggris, Belanda, Perancis, Amerika Serikat dan Australia. Bahkan Koran NRC Handelsblad dari Belanda menyempatkan melakukan wawancara di Kantor Humas HTI Surabaya (13/06), dengan menanyakan“Apa yg sdh dlakukan HTI dalam mendukung penutupan lokalisasi tersebut?” Ditanyakan juga,” Bagaimana tanggapan HTI terhadap orang-orang yang menolak penutupan Dolly, padahal mereka juga mengadakan pengajian dan membaca Alquran?” Dijawab oleh pengurus HTI Surabaya Saifuddin,” Penutupan lokalisasi prostitusi adalah konsekuensi keislaman yg memang melarang adanya praktek zina. Selain itu HTI Surabaya juga peduli terhadap nasib para perempuan, istri-istri dan anak-anak yang hidup dan tumbuh di lingkungan lokalisasi, akan sangat mempengaruhi kepribadian mereka dan cenderung menjadi pelaku seks bebas dan kejahatan lainnya. Kondisi ini disadari oleh warga yang tidak ingin masa depan anaknya menjadi rusak.”
HTI Surabaya telah terlibat aktif selama proses penutupan Dolly dengan hadir dan bermusyawarah di MUI, menerbitkan press release Humas HTI Surabaya tentang penutupan Dolly dan konferensi pers-nya, melakukan aksi on the spot di 34 titik diperempatan-perempatan strategis Surabaya, pemasangan 50 spanduk dukungan penutupan Dolly, melayani wawancara TV Aljazeerah dan Koran NRC Handelsblad Belanda dan menghadiri tabligh akbar bersama.
Kuasa hukum para WTS Dolly, Anisah, bersikeras bahwa deklarasi penutupan lokalisasi Dolly tetap tidak memiliki kekuatan hukum apapun. “Silakan terus berpraktik,” rekomendasi Anisah kepada para WTS. Semua elemen teap menahan diri untuk tidak main hakim sendiri menghadapi orang-orang liberal radikal seperti itu.
Meskipun demikian berpuluh-puluh WTS dan mucikari telah mengambil dana stimulan dari Kemensos dan bersedia dipulangkan ke daerah asalnya masing-masing. Pemkot Surabaya dengan didukung jajaran Satpol PP dan Polrestabes Surabaya tetap beriskap persuasif. Pemkot berjanji segera mengganti pusaran ekonomi dari pelacuran di Dolly menjadi pisaran ekonomi lainnya. Razia masif terhadap lokalisasi Dolly dilakukan Satpol PP dan linmas didukung garnisun (27/06). Dan baru setelah Idul Fitri akan dilakukan penindakan jika tetap ada yang membandel. Maka keberadaan Dolly yang sudah 1,5 abad sejak tahun 1864 telah berakhir. []mi surabaya