#IndonesiaMilikAllah | Meraih Berkah Dengan Mempedomani Al-Quran dan Menerapkan Syariahnya

[Al-Islam edisi 714, 13 Ramadhan 1435 H – 11 Juli 2014 M]

Negeri ini, yang mayoritas penduduknya Muslim, sedang didera berbagai persoalan di segala segi kehidupan. Sistem demokrasi-kapitalisme yang diterapkan selama ini tak bisa memberikan solusi. Persoalan-persoalan yang ada bukannya tuntas, malah acapkali menimbulkan persoalan baru. Berbagai persoalan negeri ini pun makin hari makin kompleks.

Selama proses dua Pemilu lalu, ada berbagai bentuk tawaran jalan perubahan dan penyelamatan negeri ini. Namun sayang, meski mayoritas penduduk, pemimpin, politisi dan intelektualnya adalah Muslim, nyatanya semua konsep yang ditawarkan tidak ada yang bersumber dari al-Quran.

Semua tawaran baik yang namanya ‘jalan perubahan’, ‘jalan penyelamatan’, ‘restorasi’ dan nama lainnya hanya tetap melanjutkan sistem demokrasi-kapitalisme. Yang berbeda hanya kemasannya. Semua itu tidak akan memberikan perubahan, penyelamatan dan restorasi hakiki yang bisa mendatangkan keberkahan untuk penduduk negeri ini. Pasalnya, sistem demokrasi-kapitalisme adalah induk dari semua permasalahan yang menimpa negeri ini dan penduduknya. Selama induk persoalan ini tidak diselesaikan, niscaya ragam problem yang ada juga tidak bisa diatasi. Sebab, ibarat orang sakit, sumber penyakitnya belum diobati. Akibatnya, pengobatan atas berbagai gejalanya tidak akan membawa kesembuhan, tetapi hanya meringankan gejala yang dirasakan untuk beberapa waktu. Tak lama sakit itu akan kambuh lagi.

Kesadaran bahwa sistem demokrasi-kapitalisme adalah induk persoalan negeri ini, itulah yang harus dimiliki oleh bangsa ini, terutama para pemimpin dan politisinya. Kesadaran ini bisa dibangun secara faktual dan secara imani. Secara faktual, berbagai kerusakan dan problem yang terjadi di negeri ini tidak lain adalah akibat perbuatan manusia; akibat sistem yang mereka terapkan. Negeri ini sudah puluhan tahun menerapkan sistem demokrasi-kapitalisme. Namun, berbagai problem yang ada tak kunjung selesai, malah makin bertambah dan kompleks.

Secara imani, Allah SWT telah menyatakan bahwa jika manusia berpaling dari petunjuk Allah, niscaya kesempitan hiduplah yang akan dirasakan. Allah SWT berfirman:

 

﴿وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا …﴾

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sesungguhnya bagi dia penghidupan yang sempit… (TQS Thaha [20]: 124).

 

Menurut Imam Ibn Katsir, frasa “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku,” yakni siapa saja yang menyalahi perintah-Ku dan menyalahi wahyu yang telah Aku turunkan kepada Rasul-Ku; berpaling darinya, melupakannya serta mengambil yang lain sebagai petunjuknya. Adapun frasa “bagi dia kehidupan yang sempit,” menurut Ibnu Katsir, yakni di dunia.

Kehidupan yang sempit itu saat ini terjadi dalam bentuk berbagai persoalan yang terjadi hampir di semua segi kehidupan. Korupsi terus menggurita. Pemerintah makin hari makin abai terhadap kepentingan rakyat. Mereka melepaskan tanggung jawab dari pundak mereka, lalu membebankannya ke pundak rakyat. Mereka mengubah kewajiban negara menjadi kewajiban rakyat seperti dalam kasus JKN.

Beban hidup juga makin berat. Kekayaan alam makin menipis tanpa memberikan kemakmuran dan malah menyisakan problem lingkungan. Keamanan dan rasa aman makin hilang akibat maraknya kriminalitas, sementara sistem hukum tak berdaya mencegah dan menanggulanginya. Kepedulian di masyarakat makin tipis. Sentimen kedaerahan makin meningkat. Interaksi sosial makin bebas sehingga mendatangkan berbagai ancaman moral dan rusaknya rumah tangga. Rasa malu makin tipis bahkan hilang pada sebagian orang. Tentu masih banyak lagi problem lainnya.

 

Kembali pada Petunjuk al-Quran

Semua kerusakan itu terpampang jelas di hadapan kita. Semua itu harus memberikan pelajaran dan kesadaran kepada kita. Dengan itu kita dapat menentukan jalan yang benar untuk memperbaikinya. Allah SWT telah memberikan penjelasan kepada kita sekaligus apa yang mesti dilakukan. Allah SWT berfirman:

﴿ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ﴾

Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat perbuatan tangan manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).

 

Abu al-‘Aliyah berkata: “Siapa saja yang bermaksiat di muka bumi, sungguh dia telah berbuat kerusakan, sebab kebaikan bumi dan langit adalah dengan ketaatan. Karena itu dinyatakan di dalam hadis:

لَحَدٌّ يُقَامُ فِيْ الْأَرْضِ أَحَبَّ إِلَى أَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمْطَرُوْا أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا

Sungguh satu hukuman had yang ditegakkan di muka bumi lebih disukai penduduknya daripada mereka diguyur hujan 40 hari.

 

Sebabnya, hudud yang ditegakkan itu menghalangi manusia—atau kebanyakan mereka—dari melakukan keharaman. Jika kemaksiatan dilakukan maka hal demikian menjadi sebab terpupusnya berkah dari langit dan bumi.” (Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm).

Kemaksiatan besar yang berdampak luas adalah penerapan sistem/aturan buatan manusia, yakni sistem demokrasi-kapitalisme, seraya mengesampingkan sistem/aturan yang berasal dari wahyu dan petunjuk Allah SWT, yakni hukum-hukum al-Quran dan as-Sunnah.

Berbagai kerusakan di muka bumi itu hanyalah sebagian dari akibat perbuatan manusia yang menyalahi petunjuk dan aturan Allah SWT. Sebagian lainnya, yaitu azab pedih di akhirat, akan ditimpakan kelak jika pelakunya tidak bertobat dan tidak diampuni oleh Allah SWT. Berbagai kerusakan itu ditampakkan oleh Allah SWT “la’allahum yarji’ûn”, yakni agar manusia kembali pada kebenaran, bertobat kepada Allah SWT dan menjalankan ketaatan; agar mereka menghentikan berbagai kemaksiatan dan menjalankan ketaatan, serta kembali pada hukum-hukum al-Quran dan as-Sunnah, yakni syariah Islam.

Kesadaran untuk menghentikan dan meninggalkan sistem demokrasi-kapitalisme serta kesadaran untuk kembali pada petunjuk dan hukum-hukum al-Quran dan as-Sunnah harus terwujud di tengah-tengah kita.

Ramadhan kali ini seharusnya kita jadikan momentum untuk mewujudkan kesadaran itu. Apalagi Allah SWT telah mengaitkan bulan Ramadhan dengan turunnya al-Quran. Allah SWT berfirman:

﴿شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ﴾

Bulan Ramadhan itulah bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia, penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (TQS al-Baqarah [2]: 185).

 

“Sebagai petunjuk” yakni “sebagai petunjuk untuk manusia yang menunjuki mereka pada kebenaran dan jalan yang lurus. “Sebagai penjelasan dari petunjuk” yakni menjadi bukti yang pasti dan mukjizat bahwa itu berasal dari petunjuk yang diturunkan oleh Allah SWT. “Sebagai pembeda” yakni yang membedakan antara yang haq dan yang batil, baik dan buruk serta amal salih dan amal buruk (Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr, hlm. 216).

Allah SWT juga menegaskan:

﴿ إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ …﴾

Sesungguhnya al-Quran ini memberikan petunjuk ke jalan yang lebih lurus… (TQS al-Isra’ [17]: 9).

 

Jika kita kembali pada petunjuk al-Quran, niscaya kita akan mendapatkan solusi atas semua problem yang kita hadapi dalam kehidupan ini. Pasalnya, al-Quran telah memberikan penjelasan atas segala sesuatu.

﴿ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ ﴾

Kami telah menurunkan kepada kamu al-Quran sebagai penjelas segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (TQS an-Nahl [16]: 89)

 

Kembali pada petunjuk al-Quran mengharuskan kita untuk mengambil dan melaksanakan hukum-hukum yang diberikan oleh al-Quran dan Hadis Nabi saw., baik dalam urusan akidah, ibadah, makanan, minuman, pakaian dan akhlak; dalam urusan pernikahan dan keluarga; ataupun dalam urusan ekonomi, politik dalam dan luar negeri, kekuasaan, pemerintahan, pidana dan sanksi. Sebab, semua hukum itu sama-sama merupakan hukum Allah SWT yang bersumber dari wahyu-Nya; juga sama-sama termaktub di dalam al-Quran dan Hadis Nabi saw. atau digali dari keduanya.

Perwujudan atas semua itu akan sempurna melalui penerapan syariah Islam secara formal oleh negara. Sebab, banyak hukum syariah yang hanya bisa dan sah dilaksanakan oleh imam/khalifah melalui kekuasaan negara, semisal hukum-hukum yang berkaitan dengan pemerintahan dan kekuasaan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik luar negeri, sanksi pidana, dsb.

 

Wahai Kaum Muslim:

Kembali pada petunjuk al-Quran itu hanya akan sempurna melalui penerapan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh dan total. Hal itu tidak mungkin kecuali melalui kekuasaan pemerintahan yang berlandaskan akidah Islam dan menerapkan syariah, yaitu Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Dengan begitu keberkahan akan dilimpahkan kepada negeri ini dan penduduknya.

﴿وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ…﴾

Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi… (TQS al-A’raf [7]: 96)

 

Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[]

 

Komentar al-Islam

 

Renegosiasi alot Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) menemui titik terang. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko) Chairul Tanjung mengatakan, PT Freeport telah menyepakati enam poin renegosiasi (Kompas.com, 7/7).

 

  1. Maksimal yang bisa dilakukan dalam sistem demokrasi-kapitalisme hanyalah renegosiasi kontrak. Kekayaan alam masih tetap banyak yang mengalir ke pihak asing. Itu pun setelah depositnya tinggal sedikit.
  2. Kekayaan alam, termasuk kepemilikan umum seluruh rakyat, haram diserahkan kepada swasta apalagi pihak asing.
  3. Yang harus dilakukan mestinya mengembalikan tambang yang dikuasai PT Freeport dan tambang-tambang lainnya menjadi milik umum. Semua milik umum harus dikelola oleh Negara dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat, di antaranya dalam bentuk pelayanan. Semua itu hanya bisa diwujudkan dengan menerapkan syariah di bawah sistem Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.

One comment

  1. Afwan, dalam EYD yang baku adalah “memedomani”, bukan “mempedomani”. Syukron.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*