Situs Aljazeera mempublikasikan sebuah artikel yang ditulis oleh Syaikh Dr Ahmad Raissouni, wakil ketua Persatuan Ulama Islam Internasional (al-Ittihād al-‘Ālami li ‘Ulamā’i al-Muslimīn), yang dipimpin oleh Syaikh Yusuf al-Qaradawi. Dimana isi artikelnya itu mengkritik deklarasi Khilafah oleh ISIS di bawah kepemimpinan Abu Bakar al-Baghdadi. Raissouni berpendapat bahwa “Syara’ … tidak pernah mewajibkan kita selamanya untuk menegakkan sesuatu yang bernama Khilafah, atau Khilafah Islam. Syara’ juga tidak pernah mewajibkan kita untuk menegakkan bentuk atau model tertentu terkait Khilafah atau negara ini. Dan syara’ tidak pernah memerintah kami—meski hanya satu kalimat—dimana kami menyebut penguasanya Khalifah, dan menyebut sistem yang memerintah kami dengan Khilafah … Sehingga siapa saja yang mengklaim telah mendeklarasikan Khilafah dan konsekuensi yang berbahaya, bahwa ia telah menegakkan apa yang telah diwajibkan Allah, maka beritahu kami, dimana Allah telah mewajibkan hal ini? Dan mana dalil tentang kewajiban ini? Jika tidak, maka ia dan orang-orang yang melaksanakan perintahnya hanyalah gerombolan tukang klaim.”
*** *** ***
– Artikel Raissouni berisi kritikan terperinci terhadap fakta Khilafah yang diklaim oleh ISIS. Sementara, di sini, kami tidak akan membahas deklarasi tersebut, dimana kami telah menolak sebelumnya pada pembahasan yang lain.
– Namun kami akan menyikapi serangan Raissouni terhadap ide Khilafah, dan klaimnya yang tidak bernilai bahwa syara’ tidak memerintahkan untuk menegakkan negara Khilafah, dan syara’ hanya membuat garis-garis besar, nilai-nilai dan cita-cita yang perlu diwujudkannya, apapun bentuk negaranya.
– Dengan pernyataannya itu, Raissouni telah membuat stigma dirinya sebagai orang yang tuli terhadap syariah. Sebagaimana perkataan al-Qurthubi dalam menafsiri firman Allah SWT: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi’.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 30). Ayat ini adalah dalil wajibnya mengangkat seorang Imam atau Khalifah yang didengar dan ditaati perintahnya, untuk menyatukan kata, dan menerapkan hukum-hukum syariah yang diadopsi Khalifah. Terkait hukum wajibnya mengangkat Khalifah tidak ada perbedaan antara umat dan para imam, kecuali apa yang diriwayatkan dari al-Asham—Abu Bakar al-Asham tokoh senior Mu’tazilah—dimana terhadap syariah, dia itu tuli, begitu juga setiap orang yang berkata dengan perkataannya, serta mengikuti pendapat dan pandangannya.
– Sementara itu, dalil-dalil syariah tentang wajibnya menegakkan Khilafah banyak berceceran, sehingga di sini kami tidak perlu menyampaikannya, dan tidak dibutuhkannya. Namun kami cukup dengan apa yang dikemukakan oleh al-Qaradawi: “Sekiranya nash-nash Islam tidak datang secara jelas mewajibkan tegaknya negara Islam, dan tidak ditemukan dalam sejarah Rasulullah dan para sahabatnya penerapan secara praktis atas apa yang dituntut oleh nash-nash tersebut, niscaya karakter risalah Islam itu sendiri mengharuskan tegaknya sebuah negara bagi Islam, yang memiliki keistimewaan dengan akidahnya, syiarnya, ajarannya, konsepnya, akhlaknya, kebajikannya, tradisinya dan undang-undangnya, sehingga di era apapun sangat penting bagi Islam adanya negara yang bertanggung jawab atas semua itu.”
– Kami katakan kepada Raissouni bahwa tidak akan pernah berhasil orang yang menutupi matahari dengan ayakan. Sesungguhnya Khilafah ala minhajin nubuwah—bukan ala minhaji ISIS—pasti tegak, suka atau tidak suka. Ingat bahwa hari esok itu dekat bagi orang yang melihat. [Ustman Bakhash – Direktur Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir]
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 12/7/2014.