Tragedi Gaza: bukan Sekedar Konflik Dua Negara

Ibu Pratma Julia Sunjandari, Ketua Lajnah Siyasiyah DPP MHTI

Ibu Pratma Julia Sunjandari,
Ketua Lajnah Siyasiyah DPP MHTI

Oleh: Pratma Julia Sunjandari (Lajnah Siyasiyah DPP MHTI)

Asap tebal dan kilatan api masih menguasai langit Gaza akibat serangan militer Israel. Penderitaan yang dialami rakyat Palestina di Gaza dan Tepi Barat karena pengepungan Israel, makin bertambah oleh collective punishment yang dilancarkan Israel. Pada Sabtu 12 Juli 2014, serangan udara mematikan telah memasuki hari ke-lima. Sejauh ini, korban jiwa dari pihak Palestina sudah melebihi 133 orang sedangkan Israel belum melaporkan seorangpun yang tewas. Israel menargetkan 1000 lokasi di Gaza dan akan menggunakan kekuatan dengan skala dua kali lebih besar dari operasi serupa yang dilancarkan pada 2012. Serangan 600 roket sejak Jumat lalu oleh Hamas dan militan lain belum mampu menembus sistem pertahanan anti roket Israel yang disebut Iron Dome, yang sebagian dibiayai Amerika.

Komisaris Tinggi PBB Urusan Hak Asasi Manusia, Navi Pillay mengemukakan keraguannya bahwa operasi militer Israel patuh pada hukum internasional yang melarang penduduk sipil sebagai sasaran serangan. Korban sipil -termasuk perempuan dan anak-anak- berjatuhan akibat serangan terhadap rumah-rumah penduduk. Israel beralasan pihaknya berusaha menghindari korban sipil, namun terpaksa menyerang rumah penduduk. Bangsa biadab itu menuduh Hamas bersembunyi disana. Masjid juga menjadi sasaran karena dianggap Israel sebagai gudang senjata.

Kekejaman Israel di pertengahan Romadlon 1435 Hijriah ini membuat Presiden Palestina Mahmud Abbas menuduh Israel melakukan genosida.  Karena itu, Sekjen PBB Ban Ki-moon hari Kamis, 10 Juli 2014 menyerukan gencatan senjata segera antara Israel dengan militan Hamas, walaupun tak satu pihakpun menunjukkan tanda-tanda akan menghentikan serangannya. Pada hari itu juga, Menlu RI Marty Natalegawa menyatakan Israel harus menghentikan serangan ke Jalur Gaza dan Indonesia telah berkomunikasi dengan negara-negara mitra -seperti OKI dan GNB- untuk meminta PBB menyerukan penghentian aksi militer Israel di Gaza.

Namun komentar pedas dunia internasional, seperti biasa, tidak menghentikan serangan Israel. Benyamin Netanyahu, PM Israel, Kamis lalu telah mengadakan pembicaraan melalui telepon dengan Presiden Barack Obama dan Kanselir Jerman Angela Merkel. Pembicaraan itu berlangsung positif, dan Netanyahu menegaskan, “Tidak akan ada tekanan internasional yang bisa mencegah Israel menggunakan kekuatan.”

Di Beijing, Menteri Luar Negeri AS John Kerry – dalam kunjungan dua harinya di China- mengatakan, Amerika Serikat “akan melakukan segala upaya untuk membantu mengakhiri kekerasan.” Namun anehnya, Kerry mengatakan AS mendukung hak Israel untuk mempertahankan diri terhadap serangan roket dan Hamas. Tak ketinggalan, 15 anggota Dewan Keamanan PBB menyerukan kepada Israel dan Palestina untuk menghentikan eskalasi kekerasan dan pemulihan keadaan. Dalam pernyataannya, Sabtu 12 Juli 2014 DK PBB meminta “pemberlakukan kembali gencatan senjata November 2012” yang ditengahi oleh Mesir. Karena itu, Minggu 13 Juli 2014 John Kerry dijadwalkan akan membicarakan gencatan senjata dengan menteri luar negeri Inggris, Prancis dan Jerman di Wina.

Solusi Semu

Kemarahan dunia Islam memang tak terbendung lagi. Di Tunisia, sekitar 2.000 orang turun ke jalan-jalan di kota Tunis guna memprotes agresi militer Zionis. Aksi serupa juga dilakukan di kota Rabat, Maroko.   Di Indonesia tak sedikit komunitas yang menghujat kebiadaban Israel dengan berbagai solusinya. Demikian pula aksi Hizbut Tahrir Indonesia di sejumlah kota, menuntut pemerintah RI tidak sekedar prihatin, namun turut mengirim kekuatan militer demi melawan kejahatan Israel.

Sementara Presiden Iran Hassan Rouhani dalam surat kepada para pemimpin Muslim, Jumat 11 Juli 2014 menyatakan, “Persatuan negara-negara Muslim melawan musuh-musuh sangat penting pada saat ini.” Namun sayangnya, semua negri muslim telah tersekat nasionalisme, sehingga perlawanan yang diserukan Rouhani tidak pernah direalisasikan dunia Islam. Rouhani sendiri hanya mampu mendesak kepala negara Muslim untuk menghentikan blokade Gaza yang mengakibatkan kekurangan bantuan medis dan bencana kemanusiaan. Padahal seorang pejabat senior militer Iran pada 1 Februari 2014 menyebutkan bahwa Iran adalah salah satu negara di dunia yang memproduksi senjata dan peralatan militer canggih, sekaligus teknologi nuklir yang dahsyat. Buktinya, pada November 2012 roket Palestina, al Fajr 5 yang dibuat Iran berhasil menembus pertahanan anti roket Israel, Iron Dome. Benjamin Netanyahu sebenarnya cukup ketakutan terhadap program nuklir Iran yang akan mengancam keamanan wilayah Israel. Tapi peluang itu tidak pernah diseriusi Rouhani. Jika Rouhani bersungguh-sungguh seperti dalam suratnya, seharusnya tidak sebatas menghimbau pemimpin Muslim dalam kesatuan semu, namun mempelopori mobilisasi tentara muslim untuk berjihad di bumi Palestina. Akan tetapi begitulah dunia Islam saat ini. Laksana buih di lautan, yang hanya terombang-ambing mengikuti arus (baca:perintah) negara nomor satu, Amerika Serikat.

Mesir sebagai tetangga dekat Palestina juga hanya bersikap minimalis. Ahad 13 Juli 2014, MENA, kantor berita Mesir mengumumkan pemerintahnya akan mengirim 500 ton bahan makanan dan obat-obatan ke Jalur Gaza. Menurut Panglima Angkatan Bersenjata merangkap Menteri Pertahanan Mesir, Sidki Sobhi, dana bantuan tersebut bersumber dari anggaran belanja militer. Amat memalukan sebenarnya jika Presiden Mesir, Abdul Fattah al-Sisi tidak sanggup mengirimkan pasukannya. Padahal militer Mesir adalah militer yang terbesar di Afrika dan Timur Tengah, yang memiliki tentara sekitar 1.109.000 personil dan terbesar ke-10 di dunia.

Bagaimana dengan Indonesia?   Mewakili entitas muslim terbesar, seperti biasa, Indonesia hanya mengedepankan sikap moderat dan lunak. Melalui Menlunya, Indonesia akan menonjolkan peran diplomasi. Walapun Menlu Marty menyatakan, “Tidak mudah untuk dapat menggerakan Dewan Keamanan PBB, namun diplomasi Indonesia akan bertindak sebaik mungkin”. Indonesia menganggap dirinya sukses membantu Palestina melalui Konferensi Internasional di Jakarta yang diselenggarakan untuk menggalang penciptaan kapasitas negara Palestina merdeka. Pertemuan bertajuk Conference on Cooperation Among East Asian Countries for Palestinian Development (CEAPAD) ini, bahkan berhasil menggalang berbagai negara di Asia, Pasifik dan Afrika untuk mendukung Palestina. CEAPAD merupakan bagian dari mekanisme pelengkap dari komitmen Kemitraan Strategis Asia Afrika (New Asian–African Strategic Partnership /NAASP) yang sudah dibentuk sejak tahun 2008 silam.

Tidak hanya pemerintah, MUI sebagi lembaga representasi ulama Indonesia, diwakili Ketuanya Slamet Effendy Yusuf juga menyerukan gerakan doa dan pengumpulan bantuan untuk Gaza dalam acara Ramadhan di Indonesia. Lain halnya Ketua Kaukus Parlemen Indonesia untuk Palestina, Almuzzammil Yusuf, yang menyerukan PBB, OKI, ASEAN, AIPA/ Asean Inter Parliamentary Assembly, kepala pemerintahan, lembaga kemanusiaan, ormas keagamaan, dan masyarakat dunia meminta Israel diseret ke pengadilan internasional serta mengucilkan Israel dalam pergaulan Internasional.  Wakil Ketua Komisi III DPR itu menyeru negara dunia bersatu untuk menghentikan agresi militer Israel dengan kekuatan militer dibawah koordinasi PBB.

Namun, semua reaksi itu tidak akan cukup. Dunia muslim memang masih setengah hati dalam menyelesaikan konflik Palestina. Bertahun-tahun mereka melakukan hal yang sama : berseru, mengutuk, mengadakan forum, membantu perundingan, mengirimkan bantuan, dana dan doa, namun tak satupun upaya itu menggentarkan Israel. Israel tetap jumawa, tetap menghukum penduduk anak-anak dan perempuan jika mereka tersinggung dengan perlakuan para pemuda dan mujahid Palestina. Padahal Allah dalam banyak ayat dalam Al Qur’an memerintahkan muslim yang mu’min untuk balas menyerang musuh yang jelas-jelas telah menghinakan darah para syuhada dan muslim lainnya.

Bahkan beberapa negara yang lebih ‘berkasih sayang’ dengan kafir Barat cenderung bersikap kejam kepada saudara seaqidahnya ini. Mesir, sebagai wilayah yang paling mudah untuk memasuki Palestina beberapa kali menghalangi bantuan kemanusiaan. Misalnya pada 4 Januari 2010, otoritas Mesir menghalangi beberapa relawan untuk memasuki Gaza di perbatasan Rafah dalam konvoi kemanusiaan Asia 1. Padahal konvoi itu hanya berisikan para aktivis dari 15 negara, bantuan kemanusiaan senilai US$1 juta berupa obat-obatan, makanan, mainan anak, empat armada bus, dan 10 generator untuk rumah sakit. Bahkan dengan alasan menjaga keamanan negara, pemerintah Mesir tega membangun tembok baja untuk menghalangi warga Gaza memasok barang-barang kebutuhan sehari-hari. Akan tetapi dengan Israel yang jelas-jelas sering bikin ulah, pemerintah Mesir dengan sangat “rela” memberikan wilayahnya untuk dimasuki orang-orang dari Israel. Saat inipun pemerintahan Al Sisi mencurigai Hamas sebagai pihak yang membantu Ikhwanul Muslimin pendukung Mursi untuk merongrong pemerintah Kairo. Itulah sebabnya pemerintah Mesir menutup pintu perbatasan Rafah, satu-satunya pintu penyeberangan luar negeri Gaza, dan hanya dibuka untuk misi kemanusiaan. Mesir ingin menjaga mukanya dari kemurkaan AS jika membuat langkah yang membahayakan eksistensi dan keamanan Israel dari penyusupan para mujahidin yang berasal dari seantero dunia.

Negara-negara Arab teluk yang kaya raya tak berbeda jauh. Saat otoritas Palestina (Palestinian Authority) kekurangan dana untuk membayar gaji pegawai pemerintah pada tahun 2012, mereka harus mencari dana darurat dari China dan Rusia. Menlu Palestina, Riyad Maliki mengecam negara-negara Arab karena tidak memenuhi janji keuangan, padahal Liga Arab pada Maret 2012 memutuskan untuk menciptakan sebuah “jaring pengaman keuangan” sebesar $ 100 juta per bulan untuk melindungi Otoritas Palestina dari keruntuhan keuangan. Kejadian itu berulang pada 5 November 2013. Harian Al Hayat melaporkan bahwa United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA), –badan bantuan pembangunan PBB yang memberikan pendidikan, kesehatan, layanan sosial dan bantuan darurat kepada empat ratus ribu pengungsi Palestina yang tinggal di Yordania, Lebanon, Syria, Tepi Barat dan Jalur Gaza- berencana untuk memotong makanan gratis yang disediakan untuk warga Gaza selama enam bulan ke depan dan mengurangi jumlah penerima kesejahteraan dari 180.000 keluarga (900.000 orang) menjadi 120.000 keluarga. Langkah ini diperlukan karena UNRWA krisis anggaran dan terjadi penolakan dari negara-negara Arab untuk membayar janji mereka.

Demikian realitasnya. Negara-negara Islam terjebak dalam sekat-sekat nasionalisme sehingga tidak mampu lagi berpikir jernih tentang kepentingan persatuan Islam bahkan hanya untuk sekedar memberi bantuan temporal. Mereka tak lagi merasakan Palestina sebagai bagian tubuhnya, padahal anggota tubuh itu harus berulang kali tersayat dan berdarah. Apalagi, sungguh mustahil rasanya mewujudkan harapan dunia Islam untuk menyelesaikan konflik Palestina melalui campur tangan PBB, yang nyata-nyata telah dikuasai hegemoni kaum kafir. PBB adalah perpanjangan tangan Amerika untuk melancarkan urusan-urusannya secara global, jadi tak mungkin PBB akan memihak Palestina sekalipun mereka mendirikan UNRWA yang dikhususkan bagi pengungsi Palestina. Walaupun dalam wawancaranya dengan TV al-Arabiya tahun 2009 Barack Hussein Obama mengatakan, sebagai presiden AS dia ingin menjalin kerjasama dengan dunia Islam dan Amerika bukan musuh kaum muslim. Bahkan saat berkunjung ke Al Azhar, Mesir 4 Juni 2009 Obama kembali menegaskan bahwa AS tidak menerima legitimasi kependudukan Israel yang berkelanjutan dan rakyat Palestina perlu mempunyai sebuah negara tersendiri. Jadi kalaupun Kamis lalu (10/7/2014) Obama memberitahu Netanyahu bahwa AS bersedia menengahi pengakhiran kekerasan dengan Palestina termasuk pemberlakuan kembali gencatan senjata 2012, semuanya berakhir pada kepentingan Israel.

Serangkain bukti menunjukkan bahwa Obama mewakili hipokrasi AS. Dalam kampanye pemilu presiden November 2008, Obama mengkritik kebijakan luar negeri George W. Bush di Timur Tengah dan bertekad untuk melakukan perubahan. Namun, setelah resmi menjadi presiden ke-44 kebijakan Obama terhadap dunia Islam tak berbeda jauh dari kebijakan Bush. Obama tidak bersuara, bahkan sekedar mengecam pembantaian warga sipil Palestina di Jalur Gaza. Apalagi lingkaran terdekat Obama berisikan sejumlah tokoh Zionis seperti wakil Presiden AS, Joe Biden (Zionis Kristen) dan Rahm Emanuel yang menjabat sebagai Kepala Staf Gedung Putih (turunan Israel yang pernah bertugas dalam militer Israel). Bahkan saat melantik George Mitchell untuk menjadi utusan khas (special envoy) dalam usaha mewujudkan keamanan di Timur Tengah terutama dalam hal mendamaikan antara Arab- Israel, Noam Chomsky -turunan Yahudi, kritikus kebijakan AS- melihat bahwa beberapa tindakan Obama justru meneruskan legasi yang ditinggalkan Bush. Lantas, mengapa masih harus berharap dengan solusi perundingan damai yang ditawarkan PBB atau AS?

Solusi Paripurna

Konflik antara Palestina dan Israel adalah konflik laten, yang mudah meletus karena alasan mendasar : persoalan aqidah. Pembunuhan tiga pelajar Yahudi bulan lalu dan pembunuhan seorang remaja Palestina yang diduga sebagai serangan balas dendam bukanlah sebab konflik di hari-hari ini, namun peristiwa itu hanya menjadi pemicu konflik. Dalam teologi Yahudi, Palestina adalah tanah yang dijanjikan Tuhan (The Promised Land ). Tidak ada bangsa yang berhak menduduki Palestina kecuali umat pilihan Tuhan, yakni Israel. Para rabi Yahudi pun menciptakan mitos-mitos agar diaspora Yahudi di seluruh dunia bercita-cita kembali pulang ke tempat mereka seharusnya tinggal. Karena aqidah yang menjadi akar masalah, maka penyelesaiannyapun harus sesuai tatanan keimanan, bukan sekedar menggelar proses perundingan perdamaian guna mencapai visi dua negara yang hidup berdampingan (two states solution).

Solusi paripurna yang seharusnya ditawarkan untuk menyelesaikan konflik Palestina adalah memunculkan kekuatan hegemoni Islam yang akan sanggup bertindak tegas, menghilangkan semua penghalang yang menghina kemuliaan Islam dan umatnya. Hanya dengan mendirikan kembali Khilafah Islamiyyah yang tegak atas dorongan wahyu Allah dan menempuh jalan terjal perjuangan sebagaimana yang diamanahkan oleh Baginda Rasulullah Muhamad SAW. Apalagi, realitas sejarah membuktikan bahwa Israel laknatullah bisa kembali berkuasa karena makar kafir yang makin kuat saat kedigdayaan Khilafah Utsmaniyyah mulai meredup.

Masa menjelang keruntuhan Khilafah Utsmaniyyah pada tahun 1878 menjadi penanda keberanian gerakan Zionis modern yang mulai bermunculan di Eropa Timur untuk memulangkan Yahudi ke tanah yang dijanjikan. Melalui Deklarasi Balfour yang diteken pada 2 November 1917, Inggris mendukung penciptaan rumah Yahudi di Palestina, apalagi ketika deklarasi itu diterima oleh Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1922. Aneksasi itu menimbukan konflik bersenjata sejak 1945, dan terus berlangsung hingga kini. Sebenarnya masalah Palestina telah dibahas PBB sejak 1947, yang berujung pada pembentukan sebuah komite oleh Majelis Umum.  Namun karena komite dibuat atas rancangan kaum kafir, maka solusinya adalah pembagian Palestina menjadi negara Arab dan Yahudi. Awalnya Liga Arab menolak pembagian itu dengan alasan bahwa Zionis tidak memiliki hak di tanah Palestina. Penolakan itu diabaikan, dan Israel secara resmi diakui sebagai negara pada tahun 1948. Dalam waktu singkat, Israel telah menguasai wilayah yang makin besar. Palestina diusulkan menjadi tanah air mereka dan jika itu tidak cukup, mereka akan menduduki beberapa daerah Arab dengan paksa. Pada tahun 1949, Israel memiliki wilayah yang dua kali lebih luas dari usulan PBB.

Berbagai perang yang terjadi, baik antara Israel dan dunia Arab pada awalnya, dan kemudian -karena tipu daya Barat-, musuh Israel tinggal para mujahidin yang berada di sekitar Palestina, selalu berakhir dengan persetujuan damai. Sejak persetujuan gencatan senjata 3 April 1949, kesepakatan Camp David l 17 September 1978 antara Israel-Arab, kesepakatan Oslo antara PLO -Israel 13 September 1993, hingga kesepatan gencatan senjata di jalur Gaza 21 November 2012, semuanya tidak menuntaskan problem Palestina. Israel tetap bangsa kera yang tidak mampu menaati komitmen.

Biarpun puluhan resolusi telah dikeluarkan oleh PBB dan DK PBB, dengan angkuhnya Israel tidak mau tunduk dan mengikutinya, termasuk beberapa resolusi yang mengarah two states solution. Tragisnya, puluhan resolusi PBB untuk Palestina turut dimentahkan AS melalui hak veto. Amerika turut menggunakan veto untuk membenarkan Israel mengembangkan nuklir, yang jelas bertentangan dengan resolusi PBB 242, yang menjadikan kawasan Timur Tengah bebas nuklir.

Sedangkan solusi dua negara menjadi penawaran paripurna bagi Barat sebagai kelanjutan ‘kolonisasi’ Palestina sekaligus menghambat perjuangan penegakan Khilafah yang tumbuh di kawasan Syam.   Barat tidak segan memberikan Palestina negara -walaupun hingga saat ini Palestina hanya diakui sebagai otoritas- jika ada antek mereka yang mampu membendung militansi gerakan pro Khilafah. Pernyataan Lord Cromer (1841–1917), mantan Gubernur Inggris yang berkedudukan di Mesir dan Sudan menegaskan hal itu. Cromer berkata, “Inggris siap untuk memberikan kemerdekaan kepada semua koloninya, ketika terdapat generasi intelek yang telah terdidik dengan nilai-nilai Barat dan siap untuk mengambil alih administrasi, tapi kami tidak akan membiarkan mereka mendirikan negara Islam bahkan untuk yang kedua kalinya.” Inggris tahu persis jika Khilafah kembali tegak untuk kedua kalinya, habislah hegemoni AS, Eropa dan Israel, sekaligus menghilangkan Palestina dari permainan isu politik mereka.

Karena itu, solusi paripurna bagi konflik Palestina haruslah kembali pada tuntunan iman, yakni pendirian Khilafah Islamiyyah. Hanya Khilafah yang mampu memobilisasi potensi kekuatan militer yang dimiliki dunia Islam. Hanya Khilafah yang mampu mengembalikan rasa aman para perempuan, kaum renta dan anak-anak Palestina yang sudah cukup lama hilang dalam kehidupan mereka. Hanya dengan Khilafah, penganut Nasrani dan Yahudi di tanah suci Yerusalem akan hidup dengan tentram sebagaimana kaum Muslim, seperti masa Amirul Mu’minin Umar bin Khoththob dan Salahuddin al-Ayyubi yang berjaya menaklukkan kota Baitul Maqdis.

Karen Amstrong -seorang orientalis- telah melukiskannya dengan indah. “Umar setia kepada visi Islam yang terbuka. Berbeda dengan orang-orang Yahudi dan Kristen, Muslim tidak pernah mengecualikan orang lain dari kesucian Yerusalem. ”   Al-’Uhda al-’Umariyyah adalah dokumen yang dibuat Umar sebagai Khalifah untuk memberikan jaminan keselamatan kepada Yahudi dan Nasrani terhadap keselamatan penduduk Aelia (Baitul Maqdis) pada waktu itu. Karen Armstrong menambahkan bahwa di bawah pemerintahan Islam bermula era masyarakat yang hidup dalam keadaan berbilang agama. “The Muslims had established a system that enabled Jews, Christians and Muslims to live in Jerusalem together for the first time.”

Urgensitas pendirian Khilafah juga akan menyelamatkan Palestina dari intaian penjajahan ekonomi kafir kapitalis sebagaimana yang diderita kawasan Asia Tenggara. Ironisnya, justru Indonesia -yang merasa sebagai saudara dekat Palestina-turut menjebaknya dalam jajahan lingkaran bisnis korporasi global. Pertemuan CEAPAD telah dimanfaatkan sebagai ajang untuk mengukur potensi bisnis Palestina. Pada forum CEAPAD ke-2 pada 1-2 Maret 2014, Kemenlu RI menggelar pertemuan pebisnis dan pameran dagang produk-produk Palestina. Indonesia sendiri telah berkontribusi nyata dengan membantu melatih sekitar 1.200 warga Palestina, dengan nominal US$10 juta atau Rp118 miliar dalam kurun periode 2008-2013.

CEAPAD secara khusus digagas oleh Pemerintah Jepang setelah PM Palestina saat itu, Salam Fayyad, mendesak negara-negara donor di kawasan Asia Timur untuk membagi kekayaan dan pengetahuan mereka untuk pembangunan bangsa Palestina dalam kunjungannya ke Jepang pada 14 Februari 2013. Sepertinya Fayyad sadar, agar bisa diterima dalam pergaulan internasional, mereka juga harus terlibat dalam komunitas ekonomi global (baca: penjajahan era pasar bebas). Potensi Palestina juga dilirik Bank Dunia yang pada bulan September 2012 menyerukan negara-negara donor untuk campur tangan dan menyelamatkan Otoritas Palestina dari kehancuran. Bank Dunia menggarisbawahi pentingnya penguasaan Israel di Area C Tepi Barat untuk pembangunan ekonomi sektor swasta. Jadi, dunia internasional ikut mengarahkan Israel agar serius menggarap jajahan dengan cara baru melalui eksploitasi ekonomi, tanpa meninggalkan cara lama yang barbar dan kejam. Agar kelak Palestinapun bisa menjadi pasar potensial bagi berbagai produk dan jasa, tidak hanya senjata saja.

Khatimah

Sudah terlalu lama umat ini dilemahkan sehingga tidak melakukan langkah apa pun demi menyelamatkan nyawa saudaranya di Jalur Gaza. Sudah semestinya jika seluruh umat berjuang bersama-sama bagi tegaknya kembali syariah dan khilafah. Hanya dalam naungan daulah Khilafah saja 1,6 miliar umat Islam bisa bersatu dan menjadi kuat, sehingga perlindungan terhadap harkat dan martabat umat Islam di berbagai wilayah, termasuk di wilayah Palestina, bisa dilakukan dengan nyata. Dan dengan cara itu kedzaliman zionis Israel tidak terus berulang kali terjadi seperti selama ini. Bahkan lebih jauh, tanah Palestina yang selama ini dijajah Israel bisa direbut kembali. [PJS]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*