Pragmatisme Polugri Indonesia

Saat ini, leverage (daya pengaruh) Indonesia di dunia sangat rendah. Hal inilah yang memunculkan pemikiran bahwa arah politik luar negeri Indonesia patut mendapatkan sorotan. Berbagai kasus yang menyangkut hubungan Indonesia dengan negara-negara lain tampaknya kian menumpuk; dari kasus ’dicurinya’ khazanah budaya Indonesia, kasus TKI di Timur Tengah dan di Malaysia, adanya indikasi keterlibatan pihak asing dalam berbagai konflik lokal, pengambilan aset-aset milik negara dan rakyat sampai isu terorisme. Semuanya memunculkan banyak pertanyaan mengenai arah kebijakan luar negeri RI.

Ada beberapa alasan mengapa politik luar negeri (Polugri) Indonesia dianggap melemah.


(1) Ketidakjelasan konsep Polugri.

Secara konseptual, pengertian Politik Luar Negeri RI dapat ditemui dalam Pasal 1 ayat 2, Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang menjelaskan bahwa Politik Luar Negeri Republik Indonesia adalah: “Kebijakan, sikap, dan langkah Pemerintah Republik Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan dengan negara lain, organisasi internasional, dan subyek hukum internasional lainnya dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional.”

Pada dasarnya Polugri RI tidak mengalami perubahan, yaitu tetap Polugri Bebas-Aktif yang berdasarkan pada Pembukaan UUD 1945 dan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN antara lain menegaskan arah politik Indonesia yang bebas-aktif dan berorientasi pada kepentingan nasional, menitikberatkan pada solidaritas antarnegara berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa, menolak penjajahan dalam segala bentuk, serta meningkatkan kemandirian bangsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat. Di samping itu, dengan telah disahkannya UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri tanggal 14 September 1999, maka Pemerintah Indonesia dalam pelaksanaan Polugri-nya selalu merujuk pada ketentuan-ketentuan dalam UU tersebut.

Realitasnya, konsep Polugri Bebas-Aktif tersebut sangat bergantung pada kecenderungan Pemerintah. Pada era Soekarno (1945-1967), pendulum Polugri Bebas-Aktif lebih condong bergerak ke ‘kiri’. Jakarta tampak lebih akrab dengan Moskow, Beijing maupun Hanoi, dan tampak berseberangan dengan AS dan sekutu Baratnya.

Pada masa Orde Baru (Orba), pendulum itu bergerak ke kanan, karena berkaitan dengan kepentingan nasional yang lebih menonjolkan aspek pembangunan ekonomi yang memaksa RI berpaling ke Barat. Ini karena kebergantungan RI pada industri dan bantuan ekonomi Barat yang dipimpin AS. Dalam aspek keamanan, Australia menempati posisi penting, terutama dalam kaitannya dengan masalah Timor Timur dan Irian Jaya. Pada masa Orba, Timtim menjadi salah satu isu yang sangat penting dalam Polugri RI.

Bulan Mei 1998 terjadi perubahan penting dalam politik Indonesia, yaitu terjadinya peralihan kekuasaan dari Soeharto ke BJ Habibie. Pada era Habibie (Mei 1998 – Oktober 1999), kebijakan luar negeri RI praktis tidak banyak mengalami perubahan, karena pada saat itu pun yang ditunjuk menjadi Menlu adalah Ali Alatas, orang yang juga menjadi Menlu pada era Soeharto.

Kekuasaan Habibie tidak berlangsung lama. Abdurrahman Wahid muncul sebagai presiden RI ke-4 (Oktober 1999). Tidak lama setelah dilantik menjadi Presiden, Wahid melontarkan ide pembentukan “Poros Jakarta-Beijing-New Delhi” (sebuah ide yang sempat mengejutkan Barat) serta ingin lebih memperkuat kerjasama dengan negara-negara di kawasan Asia lainnya, serta Timur Tengah.

Pada masa pemerintahan Presiden Abdulahman Wahid, salah satu upaya yang dilakukan untuk mendapatkan kepercayaan dari luar negeri, dengan maksud untuk menarik investor asing ke Indonesia, adalah dengan dicanangkannya “diplomasi ekonomi”. Dalam pidatonya di depan MPR pada tanggal 7 Agustus 2000, ia menyatakan:

Upaya pemulihan ekonomi nasional terus kita lakukan dengan mengundang masuknya investasi dari luar negeri ke Indonesia. Sesungguhnya, minat para investor asing untuk menanam modalnya di Indonesia yang memiliki sumberdaya alam yang besar amat tinggi. Tetapi, ini hanya dapat dicapai kalau kita sukses memperbaiki citra Indonesia sehingga kepercayaan internasional terhadap Indonesia pulih kembali.

Pengertian diplomasi ekonomi internasional adalah segala upaya untuk menjalin, meningkatkan dan memanfaatkan hubungan atau kerjasama dan—apabila diperlukan—dengan menggunakan kekuatan politik untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi.

Hampir sama dengan Habibie, kekuasaan Wahid pun tidak berumur panjang. Melalui SI MPR (Agustus 2001), Wahid diturunkan dari kursi kepresidenan, dan ia digantikan oleh Megawati Soekarnoputri. Di bawah Presiden Megawati (dengan Hassan Wirayudha—seorang diplomat karir—sebagai Menlu), Polugri RI tampak kembali bergeser ke kanan. Ini ditandai dengan dijadikannya AS sebagai negara non-Asia pertama yang dikunjungi Megawati.

Presiden berikutnya, Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, dalam implementasi Polugri Indonesia, dalam pidato kuncinya pada bulan Mei 2005, memperkenalkan suatu konsep baru: kebijakan luar negeri “konstruktivis”, yang pada intinya dimaksudkan untuk mengembangkan tiga macam kondisi dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia, yaitu: (1) pola pikir positif dalam mengelola kerumitan permasalahan luar negeri; (2) konektivitas yang sehat dalam urusan-urusan internasional; dan (3) identitas internasional yang solid bagi Indonesia yang didasarkan pada pencapaian-pencapaian domestik dan diplomatiknya.

Kendati sebenarnya secara konseptual Indonesia telah menggariskan rumusan Polugri-nya, ternyata gaya kepemimpinan seorang presidenlah yang paling menentukan. Dari Soekarno yang kharismatis, Soeharto yang militeristis, Habibie yang realis, Wahid yang kontroversial, Megawati yang pasifis sampai SBY yang banyak tebar pesona; semuanya menunjukkan tidak adanya platform yang jelas dalam pelaksanaan Polugri RI.


(2) Mengekor strategi AS.

Pasca Perang Dingin, konstelasi perpolitikan dunia yang berubah menuntut Indonesia mengubah orientasi Polugrinya. AS yang menjadi satu-satunya negara adidaya semakin mendominasi kancah politik internasional dan memusatkan orientasi politiknya dengan apa yang dinamai sebagai “3 in 1”, yakni: lingkungan hidup, hak asasi manusia dan demokratisasi. Isu-isu tersebut pula yang menjadi tren orientasi politik Indonesia.

Di sisi lain, terjadinya Peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat telah membawa arah politik internasional ke arah yang lebih didominasi AS. Ketika AS mencanangkan War on Terrorism, maka Polugri Indonesia pun berusaha mendorong munculnya keinginan kuat dari kalangan Islam Indonesia untuk menampilkan Islam yang teduh (rahmatan lil ‘alamin), yang dengan sendirinya memperkuat pengaruh Islam dalam pelaksanaan Polugri Indonesia. Indonesia berusaha turut menghindarkan perbenturan antara Islam dan Barat. Sejak saat itu Indonesia memposisikan dirinya sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia dan beraliran Islam moderat.

Hal lain, untuk memberikan pengertian bahwa Islam is compatible with democracy, Departemen Luar Negeri juga berusaha merangkul ormas-ormas Islam melalui tokoh-tokohnya yang ditujukan untuk memperkuat dialog antaragama di dunia dan memberdayakan kekuatan Islam moderat di dalam negeri.


(3) Pragmatisme Polugri Indonesia.

Pada awal September 2007, Jubir Kepresidenan Dino Patti Jalal mengatakan, “Presiden selalu mengatakan ekuilibrium, tapi ada istilah lain yang digunakan Presiden: all direction forum policy. Berarti, semua orang kita temani dan dari semua orang kita petik manfaat dari kemitraan atau partnership.”

Inilah sebenarnya yang menggambarkan realitas Polugri RI, yaitu pragmatisme. Sikap ini muncul karena Indonesia tidak memiliki kerangka yang ideologis. Pancasila sebagai ideologi negara hanya digunakan sebagai simbol/slogan saja karena rumusannya tidak memenuhi kriteria sebagai suatu ideologi, yakni: selain memiliki landasan filosofis dan konsep-konsep solutif, juga memiliki metode untuk menjalankan konsep-konsep tersebut. [H. Budi Mulyana; Dosen Hubungan Internasional UNIKOM Bandung; Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UNPAD, Bandung]

4 comments

  1. Abadi Surabaya

    Saya teringat cerita guru saya tentang dua kelompok binatang yang akan bertanding. Pertama adalah sekelompok harimau yang dipinpin oleh seekor anjing, dan kedua adalah sekelompok anjing yang dipinpin oleh harimau. Anda bisa bayangkan jika kedua kelompok tersebut bertarung kelompok manakah yang menang ?. Orang yang cerdas akan mengatakan bahwa kelompok anjing yang dipimpin oleh harimaulah yang menang. Lho kok bisa, begini logikanya. Kelompok pertama yakni harimau yang dipimpin oleh anjing, namanya juga anjing demikian tololnya dan tidak punya strategi berperang, sangat mudak dibelokarahkan dengan hanya diberi sebatang tulang, dan tertu saja anjing tidak percaya diri sebagaimana harimau. nah yang paling menonjok pada anjing adalah sangat setia kepada sang juragan, setiap anjing adalah babu. Silakan anda mencari yang lain lagi sifat angjing tentu masih banyak lagi. Apa jadinya kelompok tersebut ? Ketika anjing berhadapan dengan harimau dia langsung “mengkeret” hilanglah segala kekuatan yang dimiliki dan berfikir prakmatis lebih baik lari ketimbang melawan, dan anehnya memerinkahkan kepada kelompoknya untuk tunduk mengikuti dia.

    Wahai rakyak indonesia, andalah harimau itu. Jiwa anda dibagung dengan landasan al qur’an dan assunah, anda memiliki gantungan yang maha kuat anda dicipta oleh yan maha kuat, yang maha tinggi, dan dalam diri anda ada sifat-sifat itu, selama anda tetap mengkaitkan diri anda dengan yang menciptakan anda, mestinya anda tidak mau dipimpin oleh orang yang bermental tempe, mentak yang tidak didasarkan atas Al Qur’an dan As Sunah, mental yang dibagung berdasarkan atas pragmatisme, memtal para penakut, para pengekor. Sudah saatnya andalah yang memimpin negeri ini, Anda harus memimpin bukan dipimpin. Anda dicipta oleh Allah SWT zat yang maha tingi untuk memimpim manusia, membawanya untuk mengeloka alam semesta dengan atauran yang telah disediakan oleh yang menciptamu. wahai umat, wahai rakyat segera sadarkan diri anda, andalah pemimpin itu, andalah harimau itu, anda bukan anjing, anda tidak pantas bermental anjing. Lawan kapitalisme, lawan demokrasi, singkirkan para penjajah rakus dari megerimu, kekuatan Allah ada di dalam dirimu.

  2. Muammar Luthfi Harun

    Polugri itu memang berdasarkan national interest. Ibaratnya kalau kita jadi kepala rumah tangga, terus anggota keluarga banyak dan kita butuh bantuan tetangga. Yah.. mau ngga mau pertimbngannya berdasarkan keadaan rumah kita.

    KAlau pemerintah tidak menjalankan polugri realisme pragmais (prinsip ini tidak hanya Indonesia yang pegang), warga INA mau makan apa?

  3. Saya setuju dengan pendapat Muammar Luthfi Harun.. Menurut saya, sikap pragmatis itu perlu dijalankan Indonesia dalam berhubungan dengan negara lain.. karena sebenarnya, dalam berhubungan setiap negara pasti menggunakan sifat pragmatis.. toh setiap negara pasti akan berusaha mengedepankan kepentingan negaranya sendiri setiap kali berdiplomasi.. malah, saya rasa politik luar negeri indonesia bisa dikatakan cenderung oportunis, bukan lagi pragmatis..

  4. Assalamualaikum….aku tertarik banget dengan tulisan ini tapi bisakah Anda meramu tulisan tentang polugri pragmatis indonesia dalam komunitas muslim internasional ???? terima kasih Wassalam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*