Lembaga pemantau korupsi atau Indonesia Corruption Watch (ICW) baru-baru ini merilis penelitian tren korupsi. Hasil riset menyebutkan dampak kasus korupsi selama paruh pertama tahun ini, Indonesia mengalami kerugian negara sebesar Rp3,7 triliun.
Modus korupsi yang paling banyak dipakai selama 2014 yaitu penyalahgunaan anggaran, dengan 71 kasus (23,05 persen), penggelapan dengan 71 kasus (23,05 persen), dan laporan fiktif sekitar 66 kasus (21,42 persen).
Sementara itu, modus lainnya antara lain, mark up (penggelembungan) pendanaan, penyalahgunaan wewenang, pemotongan anggaran, kegiatan proyek fiktif, suap atau gratifikasi, pungutan liar dan anggaran ganda.
Selain soal modus korupsi, menurut Ketua Divisi Investigasi ICW, Tama S Langkun, Minggu 17 Agustus 2014, ICW menemukan 6 jabatan yang sering melakukan korupsi. Jabatan teratas yang tersangkut kasus korupsi yaitu pejabat negara kemudian diikuti kelompok swasta.
“Pertama, pejabat atau pegawai pemda/kementerian (42,6 persen). Kedua, direktur/komisaris/konsultan/pegawai swasta (18,9 persen), ketiga, kepala dinas (8,6 persen). Keempat, anggota DPR atau DPRD (7,5 persen), kelima, direktur/komisaris/pejabat pegawai BUMN atau BUMD (5,1 persen), dan terakhir kepala daerah (3,7 persen),” beber Tama ditemui wartawan di kantor ICW, Kalibata, Jakarta.
Penelitian ICW ini menggunakan metodologi penelitian kuantitatif, dengan teknik pengumpulan data sekunder dari berbagai sumber.
Teknik pengolahan data yakni editing, coding, entering, dan cleaning. Sementara itu, teknik analisis data menggunakan SPSS 20 dan Microsocf Excel, serta mendeskripsikan data-data pada satu variable menggunakan ukuran modus (data yang paling sering muncul).
Berikut daftar korupsi berdasarkan jabatan tersangka pada 2014 menurut ICW:
1. Pejabat atau pegawai pemda/kementerian (281 tersangka).
2. Direktur/komisaris/konsultan/pegawai swasta (125 tersangka).
3. Kepala dinas (57 tersangka).
4. Anggota DPR atau DPRD (50 tersangka).
5. Direktur/komisaris/pejabat pegawai BUMN atau BUMD (34 tersangka).
6. Kepala daerah (25 tersangka).
7. Rektor, dosen, akademis (22 tersangka).
8. Kelompok masyarakat (21 tersangka).
9. Aparat penegak hukum (8 tersangka).
10. Fasilitator PNPM (8 tersangka).
11. Ketua dan pengurus organisasi (8 tersangka).
12. Masyarakat (7 tersangka).
13. Ketua atau anggota KPU atau KPUD (5 tersangka).
14. Katua dan anggota koperasi (4 tersangka).
15. Pejabat atau pegawai bank (4 tersangka).
(viva.co.id, 17/8/2014)
Naudzublillah, sebuah negara kaya raya namun tak berdaya. Korupsi merajalela, sumber daya di obral ke mana-mana.
Komen saya karena aturan yang diterapkan ditengah-tengah masyarakat kita adalah aturan yang tidak memberi rasa takut apabila pejabat publik melakukan penyelewengan termasuk korupsi. Yaitu diterapkannya aturan sekularisme (pemisahan agama keranah sosial). Jadi orang merasa bahwa Allah adanya di masjid, musholla, tempat-tempat majlis dzikir dll. diluar itu tidak ada. Bahkan ada orang yang kita anggap “cendekiawan” menyatakan sekularisme itu ada didalam Islam. “Jangan bawa-bawa agama ke ranah sosial”, politik ya politik agama ya agama. Itu relitas yang berbeda. Katanya. Akhirnya ya seperti ini, korupsi dianggap biasa, mencuri hak rakyat tidak maslah dll. Seharusnya negeri ini yang mayoritas adalah kaum muslim ya seharusnya diatur dengan konsep Islam, karena faktanya didalam Islam ada konsep politik Islam, ekonomi Islam dll.