oleh: UU Hamidy (Budayawan Melayu)
Nabi Muhammad SAW, suri teladan umat manusia, banyak yang tak memahaminya dengan jernih. Beliau tidak mendapat tempat yang semestinya dalam kehidupan umat manusia. Beliau malah dipandang sinis oleh orang yang memandang Islam sebagai ancaman. Padahal Nabi SAW dengan para sahabatnya yang diridai Allah telah menampilkan suatu negara dengan masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Beliau dengan para sahabatnya memakai Alquran menjadi undang-undang kehidupan, sehingga mengubah wajah dunia jahiliyah menjadi terang dengan cahaya iman. Ini hendaklah dipandang dengan jujur. Kejujuran batin itu adalah wadah untuk menerima hidayah iman dari Allah Yang Maha Pemurah.
Redupnya cahaya Islam dalam kehidupan dunia telah mendatangkan bencana kepada umat manusia. Sebab dunia ini sebenarnya terpelihara oleh orang mukmin yang berbuat makruf serta mencegah yang mungkar. Karena berbuat yang makruf dan mencegah yang mungkar itulah, mereka mendapat panggilan umat yang terbaik. Ternyata inilah yang dilalaikan oleh umat Islam. Akibatnya jadi terbalik, dari umat yang terbaik menjadi umat yang dipandang hina. Dari umat yang pernah memegang teraju dunia hampir 1.500 tahun, menjadi umat yang lemah terombang-ambing di panggung dunia.
Punca masalah ini dapat disederhanakan kepada dua perkara. Pertama, umat Islam tidak lagi memakai Syariah Islam secara penuh (kaffah) dalam kehidupannya, sebagaimana berlaku pada masa Nabi dan para sahabatnya. Allah dan Rasul-Nya tidak lagi ditaati dengan sungguh-sungguh. Mereka lebih taat kepada perintah pemimpinnya yang zalim yang tidak mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya. Karena Allah tidak lagi dipandang sebagai Yang Maha Pengatur, maka mereka mengatur kehidupannya dengan aturannya sendiri tanpa bersandar kepada Alquran dan Assunnah. Mana mungkin manusia mengandalkan aturan buatan dirinya sendiri, sedangkan dia hanya diberi ilmu sedikit oleh Allah Yang Maha Mengetahui.
Manusia yang hidup dengan aturan (hukum) buatannya sendiri tidaklah berpikir logis. Sebab ada Allah Yang Maha Bijaksana memberikan hukum atau aturan kehidupan agar manusia selamat sejahtera serta memahami makna penciptaannya oleh Allah SWT. Aturan buatan manusia itu tidaklah logis, karena niscaya bersifat subyektif dibuat untuk kepentingan dirinya sendiri. Ini berbeda dengan hukum yang datang dari sisi Allah Yang Maha Benar yang bukan untuk kepentingan diri-Nya, melainkan untuk kepentingan manusia itu sendiri, karena Allah begitu Maha Penyayang kepada hamba-Nya.
Perkara kedua ialah setan dan orang kafir telah berbuat dengan sungguh-sungguh melakukan maksiat menghalangi umat Islam menjadi umat yang terbaik. Dengan tipu daya yang licik, buhul Syariah Islam putus satu demi satu dalam kehidupan. Mula-mula tatanan negara yang dipandu oleh Alquran sebagaimana dilakukan oleh Nabi SAW dengan para sahabatnya digedor siang dan malam oleh orang kafir, sehingga Syariah Islam yang berlaku dalam sistem khilafah Islamiyah jadi redup. Keruntuhan khilafah dan redupnya syariah Islam disusul lagi oleh munculnya negara bangsa akibat penjajahan negara-negara kafir terhadap negeri-negeri Islam. Negara bangsa yang memuja nasionalisme telah memutus rantai kesatuan umat Islam.
Sungguhpun begitu, dunia sebenarnya dapat diselamatkan jika manusia menyadari pesan Nabi SAW yang mengingatkan bahwa kekuasaan akan jadi penyesalan dan harta akan jadi beban di akhirat. Kalaulah para pemimpin negeri Islam menghayati pesan ini sepenuh hati, niscaya kekuasaan tidak akan mereka cari dengan jalan curang. Alquran —kitab yang tidak dapat ditandingi— telah mencatat 37 kata sultan dan 37 pula kata nifaq, memberi tanda bahwa para penguasa itu kebanyakan munafik. Tapi sayangnya, demokrasi sekuler membuka pintu yang lebar untuk merebut kekuasaan dengan tipu daya yang licik. Padahal kekuasan itu kelak akan jadi penyesalan karena akan sulit dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Yang Maha Adil.
Begitu pula harta, akan jadi beban, sebab akan terbukti banyak yang telah diambil dengan jalan batil. Harta akan ditanya dari mana didapat serta digunakan di jalan apa. Namun kenyataannya, demokrasi sekuler yang dipakai dalam sistem negara bangsa telah membuat simbiose antara kekuasaan dengan harta. Untuk merebut kekuasaan diperlukan harta, karena harta dapat mendatangkan kekuatan dan kemudahan. Kemudian dengan kekuasaan, harta akan didapat dengan mudah. Sebaliknya dengan harta yang banyak, kekuasaan juga dapat dikendalikan. Hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara kekuasaan dengan harta mendapat jalan yang lapang dari hukum buatan manusia yang menentang hukum Allah serta sistem ribawi yang serakah. Akibatnya, manusia yang memandang dirinya sukses, maju dan punya martabat itu diperbudak oleh harta dan kekuasaan, sehingga hatinya lebih keras daripada batu.***