Menakar Kadar Ketakwaan

Ramadhan telah berlalu. Puasanya pun telah usai. Takwa, sebagai buah dari puasa Ramadhan, sejatinya bisa mewujud dalam diri orang-orang Mukmin yang berpuasa. Bukankah agar bertakwa orang-orang Mukmin diperintahkan untuk berpuasa? (QS al-Baqarah [2]: 183).

Tentang takwa, Ibn Abbas ra. pernah berkata, “Orang yang bertakwa adalah orang yang takut terhadap kesyirikan, dosa-dosa besar (kaba’ir) dan ragam kekejian (fawahisy).”

Secara bahasa, takwa makna asalnya adalah “penghalang” atau “pemisah” di antara dua perkara. Karena itu orang bertakwa seolah-olah telah menjadikan upayanya mengikuti perintah Allah SWT dan meninggalkan larangan-Nya sebagai “penghalang” atau “pemisah” antara dirinya dengan azab-Nya.

Umar bin al-Khaththab ra. pernah berkata kepada Ubay bin Kaab, “Aku pernah ditanya tentang takwa.” Kaab bertanya, “Pernahkah engkau berjalan di jalanan penuh duri?”

“Tentu saja,” jawab Umar ra.

“Apa yang engkau lakukan di jalanan penuh duri?”

“Tentu aku akan berhati-hati dan waspada,” jawab Umar lagi.

Kaab berkata, “Yang demikian itulah takwa.”

Tentang takwa pula, Syahr bin Husyaib berkata, “Orang bertakwa itu adalah orang yang meninggalkan banyak perkara yang halal (tetapi tidak bermanfaat, pen.) karena khawatir terjerumus pada perkara yang haram.”

Tentang takwa, Umar bin Abdul Aziz juga berkomentar, “Takwa adalah meninggalkan apa saja yang telah Allah haramkan dan menunaikan apa saja yang telah Allah wajibkan.”

Dinyatakan pula bahwa takwa adalah meneladani Nabi Muhammad SAW. Di dalam sebuah hadits dinyatakan, “Takwa terhimpun dalam sebuah ungkapan firman Allah SWT: Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk berlaku adil; berbuat baik (ihsan); memberi kepada kerabat dekat; serta mencegah kekejian, kemungkaran dan kelaliman (QS an-Nahl [16]: 90).”

Pengertian lain dari takwa dinyatakan oleh Ibn Umar ra., “Takwa itu adalah kamu tidak melihat dirimu lebih baik daripada orang lain.” (Al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, I/60).

Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa menurut Ibn Abbas, orang bertakwa adalah orang yang waspada terhadap azab Allah saat meninggalkan petunjuk-Nya yang mereka ketahui dan mereka selalu mengharapkan rahmat-Nya saat membenarkan apa saja yang datang dari Allah SWT.

Ibn Hatim menuturkan riwayat dari Muadz bin Jabal ra bahwa ia pernah ditanya, “Siapa orang yang bertakwa?” Ia menjawab, “Suatu kaum yang takut terhadap kesyirikan dan penyembahan terhadap berhala serta senantiasa memurnikan ibadah hanya kepada Allah SWT.”

Dalam riwayat lain pula dinyatakan bahwa Abu Hurairah ra, sebagaimana dituturkan oleh Ibn Abi ad-Dunya’, pernah ditanya oleh seseorang, “Apakah takwa itu?” Abu Hurairah ra balik bertanya, “Pernahkah kamu mendapati jalan yang penuh duri?” Orang itu menjawab, “Tentu saja.” Abu Hurairah ra bertanya lagi, “Lalu apa yang kamu lakukan?” Orang itu menjawab, “Jika saya melihat ada duri di jalanan yang saya lalui, saya akan berusaha menghindari duri itu.” Abu Hurairah ra lalu berkata, “Itulah takwa.”

Di dalam Kitab az-Zuhd, Imam Ahmad menuturkan riwayat dari Abu ad-Darda’. Dinyatakan, “Kesempurnaan takwa adalah saat seorang hamba takut kepada Allah SWT hingga dalam perkara terkecil sekalipun, yakni saat dia meninggalkan sebagian perkara yang dia pandang halal semata-mata karena takut terjatuh pada keharaman. Sikap demikian menjadi penghalang dirinya dengan perkara-perkara haram.”

Apa yang diyatakan oleh Abu ad-Darda’ juga dinyatakan oleh sekelompok orang dari kalangan tabi’in.

Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Seorang hamba tidak akan bisa mencapai derajat orang yang bertakwa hinga dia meninggalkan banyak perkara halal semata-mata karena khawatir terjatuh pada perkara haram.” (Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Abdun bin Humaid dan Imam al-Bukhari di dalam Tarikh-nya; oleh at-Tirmidzi yang sekaligus menilai hadits ini hasan; oleh Ibn Majah, Ibn Abi Hatim dan al-Hakim yang sekaligus menilai hadits ini sahih; juga oleh Al-Baihaqi dalam Sya’b al-Iman, dari ‘Athiyah as-Sa’di).

Dengan demikian mengamalkan makna hadits ini adalah wajib. Menurut Iman asy-Syaukani, makna takwa ini merupakan makna syar’i yang lebih spesifik dibandingkan dengan pengertian takwa yang dikemukakan oleh pengarang Kitab al-Kasyaf (Az-Zamakhsyari) (Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, I/24).

Dari definisi di atas, kita sesungguhnya dapat menakar sejauh mana atau seberat apa kadar ketakwaan kita. Tolok-ukurnya bukanlah sekadar sejauh mana kita meninggalkan perkara-perkara haram, tetapi lebih dari itu adalah sejauh mana kita meninggalkan banyak perkara halal (yang tidak bermanfaat) semata-mata karena kita khawatir terjatuh pada perkara-perkara yang haram.

Jika perkara-perkara haram saja masih sering kita lakukan, bagaimana mungkin kita bisa meninggalkan perkara-perkara syubhat apalagi perkara-perkara halal yang tidak bermanfaat? Jika demikian kondisi kita, selayaknya kita khawatir: jangan-jangan kadar ketakwaan kita belumlah seberapa.

Wa ma tawfiqi illa bilLah wa ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi unib. [] abi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*