Selain soal Pilpres, berita yang cukup menyita perhatian publik di sepanjang bulan Ramadhan lalu hingga saat ini adalah perihal sepak terjang Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan deklarasi Khilafahnya. Apalagi setelah muncul rekaman video di situs Youtube yang berisi seruan untuk bergabung dengan ISIS. Seruan itu dilakukan oleh sejumlah anak muda dari Indonesia. Setelah seruan itu, pemberitaan soal ISIS makin gencar di media cetak, elektronik dan online. Seminar, diskusi dan bincang-bincang kecil muncul di mana-mana.
Muncul pro dan kontra, terutama di kalangan aktivis pergerakan Islam. Ada yang menganggap deklarasi Khilafah itu absah sehingga umat wajib berbaiat ke sana. Tak sedikit yang menolak, bahkan menuding bahwa itu semua tak lebih dari rekayasa Barat untuk mengacaukan kawasan Timur Tengah.
Sikap Hizbut Tahrir sendiri dalam soal ini sangatlah jelas, sebagaimana termuat di situs HTI. Intinya, HT menolak keabsahan Kekhalifahan yang dideklarasikan oleh ISIS yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi. Pasalnya, Khilafah alasa ISIS tidak memenuhi 4 syarat sekaligus: Pertama: Khilafah semestinya menguasai satu wilayah otonom, bukan berada di bawah sebuah negara. Kenyataannya, wilayah Khilafah ala ISIS sebagian ada di Irak dan sebagian ada di Suriah. Secara faktual Khilafah itu tidak memiliki kekuasaan yang nyata (sulthan dzatiyan). Kedua: semestinya Khilafah mengontrol penuh keamanan dan rasa aman di wilayah itu. Kenyataannya, karena wilayah Kekhilafahan ala ISIS di dalam Irak dan Suriah, tentu keamanan wilayah itu sebagian berada di tangan pemerintahan Irak dan sebagian lagi ada di Suriah. Ketiga: Khilafah semestinya mampu menerapkan syariah Islam secara adil dan menyeluruh (kaffah). Kenyataannya, hingga sekarang tidak jelas Khilafah seperti apa yang dimaksud ISIS; bagaimana sistem politik pemerintahannya, bagaimana sistem ekonominya dan sebagainya. Keempat: pengangkatan khalifah semestinya memenuhi seluruh syarat-syarat pengangkatan (surutul in’iqadz), yaitu Muslim, laki-laki, balig, berakal, merdeka, adil dan mampu, serta dibaiat dengan prinsip ridha wal ikhtiyar (kerelaan dan pilihan) oleh umat Islam di wilayah itu setelah opini tentang Khilafah berkembang dan menjadi kesadaran umum di tengah masyarakat. Kenyataannya, ia hanya dibaiat oleh para milisi pengikutnya saja.
Lagi pula, metode perjuangan yang digunakan ISIS tidaklah sesuai dengan metode Rasulullah saw. dalam mendirikan negara (dawlah). Rasulullah saw. tidak menempuh jalan kekerasan, apalagi menghancurkan tempat ibadah, melakukan pembunuhan dan sebagainya. Jadi, pasca deklarasi, ISIS sesungguhnya tetaplah sebagai milisi bersenjata, bukan Khilafah. Haruslah diingat, bahwa Khilafah adalah negara yang punya bobot; semestinya proklamasinya akan menjadi peristiwa yang hebat dan mengguncang dunia; bukan seperti sekarang, justru menjadi bahan cemoohan di mana-mana.
++++
Selain memantik kontroversi hebat di tengah masyarakat, harus diakui, ISIS dan deklarasi Khilafahnya yang baru lalu telah melambungkan satu istilah kunci dalam Islam, yaitu khilafah. Siapapun yang menyimak berita cetak atau elektronik dan online pada minggu-minggu terakhir ini pasti akan mendapati istilah ini disebut atau diberitakan berulang-ulang.
Hal ini tak pelak berimbas pada Hizbut Tahrir. Sangat wajar bila kemudian orang-orang lantas menoleh pada HTI yang memang dikenal sebagai kelompok yang dikenal konsisten menyerukan penegakan Khilafah. Tak terhitung pertanyaan soal ISIS dan Khilafah ditujukan kepada saya, termasuk dari para wartawan. Bahkan wartawan koran Republika, TVOne dan ANTV, karena ingin segera mendapat penjelasan soal ini, rela memburu saya di mana saat itu saya berada. Sejumlah radio juga melakukan live interview.
Ketika ziarah syawal kepada sejumlah tokoh, soal ini juga pasti ditanyakan. Pertanyaan serupa juga dari datang dari banyak tokoh dan ulama yang kebetulan hadir dalam acara Rakernas MUI di Jakarta baru lalu. Bahkan dalam acara diskusi bakda shalat subuh di arena Rakernas, soal ini menjadi topik kajian hangat, dan saya serta-merta diminta untuk memberikan penjelasan. Mungkin dirasa masih kurang, TVOne akhirnya juga mengundang saya dalam acara ‘Gesture’, yang disiarkan secara langsung pada 14 Agustus petang. Meski waktu yang disediakan oleh sutradara sangat singkat, rasanya poin-poin penting soal ISIS dan Khilafah bisa disampaikan dengan baik. Seingat saya, baru kali ini saya mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan ide Khilafah di televisi yang cukup terkemuka secara langsung. Mudah-mudahan penjelasan singkat kemarin bisa dicerna oleh pemirsa.
Namun, selain memberikan berkah, isu ISIS juga berpotensi mengundang ancaman, yakni kemungkinan pemberitaan soal ISIS ini dimanfaatkan untuk menciptakan stigmatisasi negatif, terorisasi dan kriminalisasi terhadap simbol dan istilah-istilah Islam seperti syariah dan khilafah. Tanda-tanda tanda-tanda ke arah sana sudah ada. Di Sukabumi, misalnya, awal Agustus lalu ada seorang petani—entah bagaimana awal ceritanya—ditangkap oleh polisi setelah didapati mengibarkan bendera al-Liwa (bendera putih bertuliskan hitam) di ladangnya. Untung saja setelah diperiksa sebentar ia kemudian segera dibebaskan. Bukan tidak mungkin, terorisasi semacam ini meluas di tempat-tempat lain sehingga membuat umat takut untuk mengibarkan benderanya sendiri. Lebih tragis lagi bila sampai umat takut pada tulisan kalimat tauhid: La ilaha illalLah.
Oleh karena itu, kita harus waspada jangan sampai isu ISIS dijadikan alat untuk menjauhkan Islam dari umat Islam. Juga jangan sampai penolakan terhadap ISIS berkembang menjadi penolakan terhadap ide khilafah. Harus dibedakan tindak kekerasan ISIS dengan khilafah sebagai gagasan yang berasal dari Islam. Khilafah disampaikan oleh Rasulullah Muhammad saw. dalam tidak kurang dari 39 hadis.
Bukan hanya kita, soal pentingnya menjaga agar isu ISIS tidak dijadikan sebagai alat monsterisasi syariah dan Khilafah juga disuarakan oleh Prof. Din Syamsuddin (Ketua Umum MUI) dan Fahmi Salim, MA (Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI). Dalam pertemuan ormas-ormas Islam dengan MUI Pusat pada 7 Agustus lalu, ia menyatakan, “Kita harus hati-hati dalam menyikapi isu ISIS agar tidak kontra produktif. Jangan sampai isu ISIS ini digunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk memojokkan gerakan Islam yang mengusung dakwah Islam dan gagasan Islam yang umum seperti syariah Islam dan Khilafah.”
Senada dengan itu, KH Ahmad Satori (Ketua Umum IKADI) juga menegaskan pentingnya kehati-hatian. Jangan sampai penolakan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh ISIS berkembang menjadi penolakan atas ide-ide Islam yang sudah ma’lumun min ad-din bi adh-dharurah. Di antaranya adalah masalah kepemimpinan dalam Islam (Khilafah).
++++
Demikianlah, heboh soal ISIS telah memberikan berkah dan ancaman sekaligus. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memanfaatkan momentum yang berharga ini dengan sebaik-baiknya guna menjelaskan kepada umat tentang Khilafah, kewajiban menegakkanya, substansinya dan jalan perjuangannya sekaligus menepis berbagai opini negatif yang sempat berkembang terkait dengan ide itu. Dengan begitu umat menjadi paham bahwa Khilafah yang diperjuangkan Hizbut Tahrir tidaklah seperti yang terlihat saat ini di Irak dan Suriah. Dari sana kita bisa berharap umat bukan menjadi takut, tetapi malah memberikan dukungan untuk perjuangan yang mulia ini. Insya Allah. [H.M. Ismail Yusanto]
Nashrun minallaah wa fathunqoriib.