Akad Nikah
Akad nikah adalah akad untuk istibahatu al-manafi’ (mendapatkan izin menggunakan jasa/manfaat). Akad nikah bukanlah akad ijarah, yang bukan hanya akad untuk mendapatkan jasa (manfaat) dengan kompensasi (‘aqd[un] ‘ala al-manfa’ah bi ‘iwadh[in]), tetapi juga akad untuk memiliki dan memindahkan hak milik atas manfaat tersebut (tamlik al-manafi’) kepada orang lain.
Karena itu, meski sama-sama dilakukan terhadap jasa, tetapi berbeda. Dalam akad nikah, jasa, yang berupa layanan luar dalam suami-istri hanya boleh dinikmati oleh pasangan, tidak boleh dipindahkan, atau diberikan kepada yang lain. Berbeda dengan akad ijarah. Jasa yang menjadi hak musta’jir dari ajir, bisa digunakan sendiri, atau diberikan kepada yang lain. Karena itu, masing-masing akad mu’amalah ini mempunyai hukum yang berbeda.
Jika dalam akad ijarah, seorang Muslim bisa melakukan akad dengan siapapun untuk mendapatkan jasa, tanpa memandang agamanya, tetapi tidak dengan akad nikah. Sedangkan jasa yang diperoleh oleh seseorang dari pasangannya dalam akad nikah diatur sedemikian, termasuk dari siapa jasa tersebut halal? Termasuk, apakah caranya sah atau tidak? Karena itu, mengapa “jasa” pelacur haram? Karena, jasa yang diberikannya tidak termasuk akad ijarah, tetapi perzinaan yang diharamkan.
Begitu juga, pernikahan yang dilakukan dengan orang yang haram dinikahi (Muharramat), “jasa” nya juga haram dinikmati, karena ini juga bukan akad ijarah, tetapi akad nikah yang dilakukan dengan pihak yang haram dinikahi. Karena itu, status pernikahannya batil, dan dihukumi zina.
Status Nikah Beda Agama
Islam memilah orang kafir menjadi dua, yaitu musyrik dan ahli kitab (QS al-Bayyinah: 1). Ahli kitab adalah penganut Yahudi dan Nasrani, karena baik penganut Yahudi maupun Nasrani, sama-sama diberi kitab suci. Sedangkan musyrik adalah para penganut agama, selain Yahudi dan Nasrani. Mereka adalah orang Hindu, Budha, Konghuchu, penganut aliran kepercayaan, dan lain-lain. Karena itu, istilah musyrik dan ahli kitab merupakan istilah syar’i, yang digunakan dengan lafadz dan konotasinya yang khas.
Meski musyrik dan ahli kitab sama-sama kafir, tetapi hukum terhadap keduanya berbeda. Allah menegaskan, “Wa la tankihu al-Musyrikati hatta yu’minna.. wa la tunkihu al-Musyrikina hatta yu’minu..” (Janganlah kalian menikahi wanita musyrikah, hingga mereka beriman.. dan janganlah kalian menikahi lelaki musyrik, hingga mereka beriman) (QS al-Baqarah: 221). Dengan tegas, ayat ini melarang kaum Muslim menikahi wanita musyrik, begitu juga wanita Muslimah menikahi lelaki musyrik.
Jika melihat ayat ini, seolah keharaman menikahi orang musyrik meliputi seluruh orang kafir. Karena itu, ada yang berpendapat, bahwa seorang Muslim haram menikah dengan orang kafir, baik ahli kitab maupun musyrik. Namun, jika ayat ini disandingkan dengan QS al-Maidah: 5, “Al-Yauma uhilla lakum at-thayyibatu, wa tha’amu al-ladzina utu al-Kitaba hill[un] lakum, wa tha’amukum hill[un] lahum. Wa al-Muhshanatu min al-Mu’minati wa al-Muhshanatu min al-ladzina utu al-Kitab min qablikum idza ataitumuhunna ujurahunna muhshinina ghaira musafihina wa muttakhidzi akhdan.” (Hari ini telah dihalalkan untuk kalian yang baik-baik. Makanan orang yang ahli kitab halal kamu makan. Makanan kamu juga halal untuk mereka makan. Juga wanita Mukmin yang menjaga kesuciannya, serta wanita ahli kitab yang juga menjaga kesuciannya, tidak berbuat zina, dan menjadi wanita simpanan). Maka jelas, bahwa larangan dalam QS 2: 221 itu hanya khusus untuk orang kafir musyrik, bukan ahli kitab.
Sebab, dengan tegas, QS al-Maidah: 5 ini membolehkan wanita ahli kitab dinikahi lelaki Muslim, tetapi tidak sebaliknya. Meski, ayat ini menetapkan tiga syarat, yaitu Muhshanat (menjaga kesucian), Ghaira Musafihat (tidak berbuat zina), dan Muttakhidzati akhdan (menjadi simpanan). Kedua ayat ini juga termasuk surat Madaniyyah, yang diturunkan setelah Nabi hijrah ke Madinah. Karena, ketentuan di dalam kedua ayat ini sekaligus menghapus praktik yang sebelumnya dipandang boleh.
Selain kebolehan dengan syarat yang diatur di atas, Islam juga menetapkan, bahwa agama anak yang belum baligh dinisbatkan kepada agama bapaknya, bukan agama ibunya, sebagaimana lazimnya nasab. Karena itu, ketentuan ini sekaligus memberikan jaminan, bahwa kebolehan Muslim menikahi wanita ahli kitab, tidak akan membahayakan agama anaknya. Tentu, dengan catatan, jika istrinya taat. Meski demikian, sangat sulit dibayangkan, jika suami-istri yang berbeda agama itu bisa mewujudkan filosofi pernikahan, yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
Pelanggaran dan Dampak
Jika ketentuan ini dilanggar, baik Muslim menikah dengan wanita musyrik, maupun Muslimah menikah dengan lelaki ahli kitab atau musyrik, maka pernikahannya dinyatakan batal. Pelakunya bukan hanya dianggap melanggar hukum pernikahan, tetapi juga dinyatakan telah melakukan zina. Karenanya, jika tidak dibatalkan, pelakunya bisa dijerat dengan pasal zina, dan dikenai sanksi perzinaan.
Sanksi perzinaannya pun bergantung kepada masing-masing pasangan. Jika sebelumnya mereka belum pernah menikah, maka bisa dijatuhi sanksi Jild (cambuk) 100 kali. Tidak hanya itu, mereka pun harus dipisahkan. Karena, pernikahannya dianggap tidak ada. Jika mereka sebelumnya sudah pernah menikah, maka bisa dijatuhi sanksi Rajm (dilempari batu) hingga mati.
Jika pernikahan (perzinaan) ini sampai berlanjut, bahkan sampai melahirkan anak, maka karena status pernikahannya tidak sah, status nasab anaknya pun tidak bisa dinisbatkan kepada bapak bilogisnya. Dengan demikian, bapak biologisnya tidak bisa menjadi wali anak tersebut. Demikian juga dengan konsekuensi waris bagi masing-masing, baik bapak mewarisi anaknya maupun anak mewarisi bapaknya, sama-sama tidak bisa diberlakukan.
Jika kondisi seperti ini terjadi, maka negara khilafah harus mempunyai data yang akurat terkait dengan mereka dan anak-anaknya, sehingga hukum Islam bisa diterapkan dengan tepat dan akurat. Misalnya, ketika anak tersebut hendak menikah, dan membutuhkan wali, maka bapak biologisnya tidak bisa menjadi walinya. Ini penting untuk menghindari terjadinya ketidakabsahan akad berikutnya, sehingga bisa menimbulkan terjadinya zina turunan. Dalam hal ini, penguasa negara khilafah-lah yang akan bertindak menjadi wali bagi anak-anak seperti ini.
Selain aspek perzinaan, pernikahan seperti ini juga bisa menjadi sarana pemurtadan. Dalam hal ini, Allah SWT sudah mengingatkan, “Ula’ika yad’una ila an-nar, wa-Llahu yad’u ila al-jannah wa al-maghfirah bi idznih.” (Mereka [orang kafir] itu mengajak ke neraka [termasuk murtad], sementara Allah mengajak ke surga dan ampunan-Nya dengan izin-Nya) (QS 2: 221). Karena itu, selain sanksi perzinaan, yang diberlakukan terhadap pernikahan ilegal ini, maka hadd riddah juga bisa diberlakukan terhadap pasangan yang murtad.
Kesimpulan
Inilah ketentuan Islam yang terkait dengan pernikahan beda agama. Ketentuan inilah yang akan diterapkan oleh negara khilafah. Dengan cara seperti ini, Islam tidak hanya menjaga kehormatan dan kesucian kaum Muslim dan Muslimah, tetapi Islam juga mewujudkan hikmah pernikahan yang menjadi dambaan tiap pasangan. Terwujudnya sakinah (ketenangan jiwa), mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang) di antara mereka.
Dengan cara yang sama, Islam juga menjaga jiwa mereka, dari ancaman sanksi rajm, yang bisa mengantarkan mereka pada kematian. Sekaligus menyelamatkan mereka dari ancaman pemurtadan, yang berujung pada sanksi pembunuhan.[]