Pilkada langsung sejak 2005 ditujukan agar rakyat dapat memilih kepala daerahnya secara langsung, transparan dan bebas. Hal ini dipandang sesuai dengan konsep demokrasi dan koridor hukum. Pilkada langsung diharapkan menghasilkan pasangan kepala daerah yang mempunyai kemampuan serta dapat dipercaya dan diterima sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Setelah berjalan hampir 10 tahun, nyatanya apa yang diharapkan itu tidak kunjung bisa dirasakan rakyat. Memang dari sebagian Pilkada langsung diperoleh beberapa kepala daerah yang bagus. Namun, sebagian besarnya belum sesuai harapan. Buktinya, menurut Mendagri Gamawan Fauzi (Gatra.com, 10/9), saat ini sudah ada 321 kepala daerah yang menghadapi proses hukum.
Pilkada langsung juga menimbulkan ekses berupa konflik dan kerusuhan seperti di Tuban, Manggarai dan daerah lainnya kala itu. Konflik Pilkada di Mojokerto pada tahun 2010 mengakibatkan 22 mobil hancur, 10 mobil di antaranya dibakar massa. Bahkan konflik Pilkada di Puncak Ilaga Papua pada 2012 sampai menelan 47 korban jiwa dan ratusan orang terluka. Selain itu masih tercatat sejumlah bentrokan massa dengan aparat keamanan dan rusaknya sejumlah fasilitas umum yang dibangun dengan uang rakyat.
Parahnya, Pilkada yang banyak buruknya itu harus menghabiskan banyak uang rakyat. Ada beberapa propinsi yang biaya Pilkadanya mencapai ratusan miliar bahkan Rp 1 triliun. Rata-rata biaya Pilkada bupati/walikota mencapai Rp 25 miliar dan Pilkada gubernur mencapai 500 miliar. Dalam lima tahun, uang negara yang habis untuk penyelenggaraan Pilkada minimal Rp 36 triliun.
Di sisi lain, usulan Pilkada oleh DPRD dicap sebagai kemunduran demokrasi, mementingkan elit, memasung aspirasi rakyat, membajak hak konstitusional rakyat, mementingkan nafsu kuasa elit, dan berbagai cap buruk lainnya.
Sayang, perdebatan itu semuanya hanya berkutat dalam kungkungan sistem kapitalisme sekular yang jadi sumber masalah. Tidak ada yang menyinggung bagaimana menurut Islam. Selama begitu, problem yang ada tak akan pernah tuntas terselesaikan.
Sistem Islam
Dari sunnah Rasul saw. dan Ijmak Sahabat dapat diketahui bahwa wali (gubernur) dan ‘amil (setingkat bupati/walikota) ditunjuk dan diangkat oleh Khalifah/Imam. Wali dan ‘amil tidak dipilih baik langsung oleh rakyat atau oleh wakil mereka.
Rasul saw. mengangkat para wali dan amil. Para wali dan ‘amil Rasul saw. itu di antaranya diuraikan oleh Ibn Hazm dalam Jawâmi’ as-Sirah pada topik Umarâ’uhu saw. (hlm. 23-24) dan oleh Muhammad bin Habib al-Baghdadi dalam Al-Mukhbir pada topik Umarâ’ Rasulillah saw. (hlm. 125-128).
Di antara wali dan ‘amil Rasul saw. itu: ‘Uttab bin Usayd, Wali Makkah; Badzan bin Sasan, Wali Yaman dan Shana’a; Utsman bin Abil al-’Ash, Wali Thaif; ‘Ala’ bin al-Hadhrami, Wali Bahrain, ‘Amr bin al-Ash, Wali Oman; Abu Sufyan bin Harb, Wali Najran; ‘Amr bin Sa’id bin al-Ash, Wali Wadi al-Qura; Yazid bin Abiy Sufyan, Wali Tayma’; Tsumamah bin ‘Atsal, Wali Yamamah; Farwah bin Musayk, Wali Murad; Zabid dan Madhij, Abi Rabi’ah al-Makhzumi, Wali Yaman; Syahr al-Hamdani ‘Amil sebagian daerah Yaman; Abu Musa al-‘Asy’ari, ‘Amil Zabid dan ‘And, Yaman; Al-Harits bin ‘Abd al-Muthallib, ‘Amil sebagian Makkah; Abi Syaibah ‘Amil Thaif; ‘Amr bin Hazm al-Anshari, ‘Amil Najran; Qays bin Malik al-Arhabi, ‘Amil Bani Hamdan; Ibn Mandah, ‘Amil Hajar; Sawad bin al-Ghaziyah, ‘Amil Khaibar; Ziyad bin Labib, ‘Amil Hadhramaut; Muadz bin Jabal, ‘Amil Janad; dan yang lainnya (Al-Kattani, At-Taratib al-Idâriyah, 1/240).
Pada masa Khulafaur Rasyidin, wali dan ‘amil juga hanya ditunjuk dan diangkat oleh Khalifah. Hal itu diketahui oleh seluruh Sahabat dan tidak diingkar oleh seorang pun dar mereka. Dengan demikian hal itu menjadi Ijmak Sahabat.
Pemberhentian para wali dan ‘amil itu juga dilakukan oleh Khalifah; bisa karena semata-mata keputusan Khalifah atau karena mayoritas penduduk wilayah (propinsi) atau ‘umalah (kabupaten/kota) ataupun mayoritas wakil mereka menampakkan ketidakridhaan dan ketidaksukaan terhadap para wali atau ‘amil itu.
Pada masa Rasulullah saw. pemberhentian wali dan ‘amil menjadi wewenang beliau sebagai kepala negara. Setelah beliau, wewenangnya ada pada Khulafaur Rasyidin. Para wali bisa diberhentikan baik karena ada sebab pelanggaran, penyimpangan, kezaliman, tidak mampu dan lainnya. Bisa juga wali dan ‘amil diberhentikan tanpa sebab dan kesalahan tertentu. Rasul saw. memberhentikan Muadz bin Jabal dari jabatan wali Yaman tanpa sebab. Umar memberhentikan Ziyad bin Abi Sufyan juga tanpa sebab tertentu.
Dengan itu masyarakat dan pejabat akan paham bahwa jabatan wali atau ‘amil adalah jabatan biasa, bisa diberhentikan kapan saja. Dengan begitu jabatan wali dan ‘amil tidak akan diagungkan. Orang pun tidak akan terdorong untuk mengejar jabatan itu seperti sekarang.
Penduduk wilayah (propinsi) atau ‘umalah (kabupaten/kota) atau wakil-wakil mereka di Majelis Wilayah atau Majelis Umat boleh menampakkan ketidakridhaan atau mengajukan syakwa (pengaduan) atas wali atau ‘amil. Semata-mata karena adanya ketidakridhaan atau syakwa itu, Khalifah harus memberhentikan wali atau ‘amil itu. Khalifah Umar bin Khathab pernah memberhentikan Saad bin Abi Waqash semata-mata karena ia diadukan oleh masyarakat. Khalifah Umar berkata, “Saya tidak memberhentikan dia karena tidak mampu atau pengkhianatan.”
Ibn Saad di dalam ath-Thabaqât al-Kubrâ (IV/360-361) menuturkan riwayat dari Muhammad bin Umar, “Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada al-‘Ala’ bin al-Hadhrami agar menghadap bersama 20 orang dari Abdul Qays. Ia pun menghadap bersama 20 orang dari mereka yang dipimpin oleh Abdullah bin ‘Auf al-Asyaj. ‘Ala’ menunjuk pelaksana atas Bahrain al-Mundzir bin Sawa. Delegasi itu menngadukan ‘Ala’ bin al-Hadhrami. Lalu Rasulullah saw. memberhentikan dia dan mengangkat Aban bin Said bin al-‘Ash. Beliau berkata kepada Aban bin Said, “Mintalah nasihat kebaikan kepada Abdul Qays dan hormati para tokoh mereka.”
Dari sini diambil ketentuan, jika kebanyakan rakyat atau wakil mereka di Majelis Wilayah atau Majelis Umat menampakkan ketidakridhaan mereka atas wali atau ‘amil, Khalifah wajib memberhentikan dia dan mengangkat yang baru.
Sistem Islam: Sistem Unggul
Ketentuan Islam itu bisa mengatasi berbagai persoalan yang tidak bisa diatasi oleh Pilkada langsung atau pemilihan oleh DPRD. Pertama: biaya sangat murah bahkan nyaris tanpa biaya. Problem biaya politik tinggi, risywah siyasiyah (suap politis), money politic dan semacamnya tidak akan terjadi. Suap kepada anggota Majelis Wilayah tidak ada karena mereka tidak mengangkat wali atau ‘amil. Ketika biaya politik tinggi hilang maka hilang pula satu sebab mendasar korupsi para kepala daerah selama ini. Kasus korupsi wali atau ‘amil pun bisa dicegah.
Tak ada pula uang rakyat yang tersedot untuk Pilkada yang hasilnya jauh dari harapan layaknya sekarang ini. Artinya, Rp 36 triliun uang rakyat yang habis untuk biaya Pilkada selama lima tahun bisa digunakan untuk membangun 36 ribu sekolah/puskesmas dengan biaya masing-masing 1 miliar.
Kedua: pertanggungjawaban wali atau ‘amil akan lebih terjamin. Wali atau ‘amil itu bisa diberhentikan segera jika melakukan pelanggaran atau kezaliman. Karena lamban atau bahkan tanpa kesalahan sekalipun mereka bisa diberhentikan oleh Khalifah. Program pemerintah akan berjalan efektif. Keterpaduan dan keharmonisan pemerintah dari pusat hingga struktur aparatur paling bawah terwujud.
Ketiga: partisipasi rakyat akan tinggi dan kontrol terhadap wali atau ‘amil akan mudah. Pada proses awal, rakyat dan wakil mereka bisa memberikan masukan sosok wali atau ‘amil yang mereka kehendaki. Khalifah akan sangat terdorong memenuhi aspirasi itu. Sebab, jika rakyat atau wakil mereka menampakkan ketidakridhaan atas wali atau ‘amil itu, Khalifah harus memberhentikan dia. Aspirasi mereka terkait wali atau ‘amil harus didengar dan diperhatikan oleh Khalifah. Di situlah, rakyat akan memiliki peran besar. Pasalnya, rakyat bisa mengakhiri kekuasan wali atau ‘amil (kepala daerah) yang buruk, zalim dan tidak mereka kehendaki. Sebaliknya, dalam sistem Pilkada langsung atau melalui DPRD seperti sekarang, rakyat hanya “berdaulat” secara semu. Pasalnya, meski rakyat memilih langsung kepala daerah, mereka hanya memilih orang yang sudah ditentukan oleh parpol, bukan sepenuhnya aspirasi rakyat. Setelah terpilih, rakyat tidak bisa berbuat apa-apa saat kepala daerah terpilih ternyata buruk, berkinerja rendah, tidak mengabdi pada kepentingan rakyat, tidak sesuai dengan harapan, dsb. Sebaliknya, rakyat harus menerima dan baru bisa mengganti mereka pada Pilkada berikutnya. Padahal, hal yang sama pun bisa terulang lagi.
Dengan demikian, wali dan ‘amil akan menjadi sosok penguasa daerah yang benar-benar me-ri’ayah (mengurus/melayani kemaslahatan dan kepentingan) rakyat. Namun harus diingat, hal itu hanya akan terwujud jika syariah Islam diterapkan secara kaffah, tentu hanya dalam sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah ar-Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian.
Karena itulah, penerapan syariah daalam institusi Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj nubuwwah itu harus diperjuangkan sungguh-sungguh sehingga bisa segera diwujudkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
Harga BBM subsidi bisa dipastikan bakal dinaikkan oleh pemerintah baru Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK). Namun, besaran dan waktunya belum diketahui. (Detikfinance, 23/9).
- Jika benar-benar demi rakyat, hentikan “subsidi” penjualan gas ke Fujian Cina, Korea Selatan, Jepang dan AS dengan harga murah, kurang dari setengah harga internasional. Beranikah demi rakyat Pemerintah melakukan hal itu?
- Jika benar membela rakyat, kembalikan migas dan tambang menjadi benar-benar milik rakyat; hentikan kontrak karya dan production sharing contract dengan swasta apalagi asing.
- Jika tulus demi rakyat, kelola migas dan tambang oleh negara sesuai syariah dan kembalikan seluruh hasilnya untuk rakyat.