oleh: Raghib Siddiquee
“Selalu pada malam hari. Penangkapan itu selalu terjadi di malam hari. Tiba-tiba dibangunkan ketika sedang tidur. Tangan-tangan kasar menggoyangkan dengan keras bahu Anda. Lampu-lampuyang menyoroti mata Anda. Wajah-wajahyang keras mengelilingi tempat tidur Anda.”
Ketika Orwell menceritakan gambaran yang menusuk di buku Nineteen Eighty-Four, pada satu tingkat ini, seperti tindakan dalam cerita fiksi ilmiah; suatu prediksi novel tentang dunia totaliter yang mungkin terjadi. Namun, seperti semua cerita fiksi ilmiah yang baik, tidak begitu banyak tentang ‘bagaimana jika’karena ‘apakah itu’ –menjadi suatu pengingat atas kapasitas negara modern yang telah melanggar hak-hak rakyatnya.
Karena ‘pelanggaran’ justru menjadi kata yang paling tepat untuk menggambarkan hubungan negara-rakyat di Australia selama beberapa bulan terakhir. Pelanggaran tersebut terjadi secara terbuka dan terbangun dalam bentuk Islamophobia: undang-undang anti-teror yang kejam; pembunuhan karakter kaum Muslim seperti terhadap Utsman Badar yang menjadi target; pengumuman intervensi militer lain di Irak; dan serangan nasional di malam hari pada pria-pria Muslim yang dicurigai, kaum Muslimah dan anak-anak yang menjadi memar dan dipermalukan oleh 800 polisi bersenjata lengkap.
Selama berminggu-minggu, ‘rata-rata’ warga negara Australia telah dituntut untuk percaya oleh media bahwa masalah terbesar negara mereka adalah teroris ISIS yang secara acak akan memancung kepala mereka ketika berjalan ke suatu sudut toko. Bukan anggaran, bukan serangan terhadap pendidikan dan kesehatan serta bukan pengumuman baru bahwa pasukan Australia sekali lagi akan dikerahkan ke Timur Tengah, melainkan ‘hantu’ Muslimlah yang menjadi ancaman yang menghasilkan ketakutan publik yang diperlukan untuk memvalidasi baik undang-undang anti-teror yang tidak adil maupun perang salib yang lain. Lupakan fakta bahwa tidak tidak ada seorang pun warga Australia yang telah tewas dalam serangan teror di negeri sendiri. Tidak pernah pula ada keberatan atas setengah juta orang yang tewas oleh Barat dalam perang intervensionis di Irak satu dekade sebelumnya.
Kenyataannya, pada saat ini ketakutan ini dilakukan di Australia, sementara bom-bom dijatuhkan di Irak. Penciptaan rasa takut ini bukanlah strategi baru yang menyatakan sesuatu untuk mendorong kebijakan yang telah ditentukan. Bahkan demokrasi liberal hanya dapat melakukan hal yang sedikit tetapi menyebabkan ketakutan ini untuk meyakinkan para pemilih atas perannya sebagai penyelamat umat manusia.
Saya mengerti logika ini. Kebijakan luar negeri Australia selalu mengandalkan aliansi dengan suatu kekuatan eksternal yang homogen untuk meyakinkan tingkat keamanan dirinya. Dengan pikiran seperti itu, konvergensi ideologi kaum Liberal dan pasca-Reagan AS adalah suatu hal yang paralel dengan doktrin kebijakan luar negeri Australia. Saya mengerti hal ini. Kami akan meniru retorika AS ketika memimpin kekuatan global.
Namun, kaum minoritas seperti kami, masyarakat Muslim, bisa berpotensi memainkan hal yang berharga dalam membangun kohesi dan pemahaman pada saat terjadi ketegangan dan ketakutan. Jadi, ketika dibuka sesi tanya-jawab dengan Utsman Badar dan Sheikh Wesam Charkawi—satu-satunya tujuannya adalah untuk terlibat dengan komunitas yang lebih luas, membersihkan kesalahpahaman tentang Islam dan menanggapi retorika islamophobia—yang kemudian dipaksa untuk dibatalkan karena tekanan media baik terhadap Asosiasi Mahasiswa Muslim Universitas Sydney maupun Wakil Rektor, kami harus melihat hal itu tidak kurang dari hal ini: suatu tragedi yang murni dan disuarakan.
Jika kami menerima bahwa fungsi media mainstream sebagian besar merupakan perpanjangan dari arsitektur negara, maka perguruan tinggi kami mungkin menjadi salah satu ruang terbuka yang tersisa, tempat diskusi kritis dan non-dogmatis. Para pemimpin lembaga-lembaga ini, para dosen, para peneliti, para administrator, senat mahasiswa dan perkumpulan pelajar semuanya adalah bagian dari sebuah jaringan yang membentuk barisan pertahanan terakhir bagi ruang ini.
Jika ruang ini menuntut perlindungan kami, maka itu harus menjadi perlawanan di mana kami siap ikut serta. (honisoit.com, 23/9/2014)