Laporan telah menyebutkan bahwa yang menjadi korban akibat serangan udara pimpinan AS di Suriah adalah penduduk sipil dan kelompok-kelompok yang tidak terkait dengan ISIS. Kami benar-benar mengutuk kampanye pengeboman oleh Pemerintah Amerika Serikat dan sekutu mereka yang berasal dari beberapa rezim boneka mereka di dunia Muslim serta negara-negara kolonialis lainnya. Kami tidak memberi laporan singkat untuk ISIS. Namun, jelas bahwa ISIS adalah dalih bagi intervensi, bukan alasan sesungguhnya.
Mengenai peristiwa ini, kami memberikan komentar berikut:
1. Alasan intervensi yang dibuat-buat.
Banyak negara kolonial Inggris dan Amerika Serikat yang menghadapi masalah sepanjang terjadinya perang di Afganistan (2001) dan Irak (2003). Akibatnya, penduduk negara itu semakin skeptis karena telah menghabiskan miliaran dolar untuk perang karena tingkat ancaman yang dilebihkan-lebihkan dan bahkan kebohongan yang terlihat langsung di masa lalu untuk membenarkan kebijakan luar negeri dan dalam negeri. Tidak masuk akal bahwa Obama telah menyatakan bahwa situasi ini menimbulkan ancaman global sehingga membutuhkan koalisi 40 negara dan keterlibatan 10 tahun dalam perang!
Kekhawatiran berlebihan yang diungkapkan oleh Barat tentang ISIS yang dianggap mendestabilisasi wilayah tersebut dapat dilihat ketika melihat skala kekerasan yang dilakukan oleh rezim Bashar al-Assad terhadap rakyat Suriah—yang menyebabkan kematian lebih dari 150, 000 orang dan memaksa jutaan orang lebih untuk mengungsi—sementara Barat berperan sebagai pengamat.
2. AS ingin untuk mencapai tujuan lamanya.
Tujuan-tujuan itu adalah:
a) Keinginan untuk memadamkan seruan untuk tegaknya Khilafah Rasyidah dan mendirikan sebuah rezim sekular di Suriah. Dinamika revolusi Suriah telah membuat alternatif sekular yang layak sebagai pengganti Assad sangat sulit untuk ditemukan. Awalnya, Barat bahkan tidak menentang Assad meskipun terjadi pembantaian itu. Kemudian, ada upaya untuk membangun oposisi yang didukung Barat, tetapi oposisi ini tidak memiliki kredibilitas dari rakyat, karena sentimen Islam sudah sangat jelas. Selain itu, Iran terus-menerus telah menjadi sekutu strategis Assad. Oleh karena itu ISIS telah menjadi alat tawar-menawar untuk membawa semua pihak yang terlibat untuk mengeluarkan beberapa gerakan yang semuanya dari mereka untuk menemukan sebuah rezim boneka sekuler baru di Suriah yang dapat ditolerir oleh semua pihak dan melayani kepentingan Barat.
Memang, meskipun dengan retorika, kolaborasi dengan rezim Assad kini lebih terbuka sehingga Amerika AS memberi tahu kepada utusan Suriah untuk PBB mengenai serangan udara yang direncanakan di Raqqa dan Wakil Menlu Suriah, Faisal Mekdad, mengatakan kepada NBC pada tanggal 11 September bahwa Assad “tidak memiliki pemesanan apapun” atas serangan udara AS di Raqqa, dan mengatakan mereka memerangi “musuh bersama”.
Hal ini lebih dibuktikan oleh laporan atas serangan di beberapa bagian Suriah bahwa ISIS tidak ada di wilayah itu, sementara serangan-serangan juga dilakukan terhadap brigade yang tidak ada hubungannya dengan ISIS.
b) Rencana lama AS untuk memecah-belah Irak. Kombinasi antara sektarianisme yang terinspirasi oleh Konstitusi Brenner tahun 2003 dan perilaku tidak tahu malu dari rezim Maliki selama bertahun-tahun telah menciptakan lingkungan di mana suku-suku Sunni (yang mengusir organisasi pendahulunya ISIS di wilayah tersebut) sekarang lebih memilih untuk mentoleransi ISIS sebagai alternatif pemerintah di Baghdad. Hasilnya adalah bahwa Irak lebih dekat pada perpecahan menjadi negara Kurdi, negara Syiah dan negara Sunni. Baghdad menjadi tempat kedutaan besar AS yang besar—sebuah kota di dalam kota.
Penjajah Barat sangat menentang langkah apapun menuju kebangkitan Islam. Mereka menyaksikan dengan diam saat sekutu mereka Sisi secara brutal menghancurkan pemerintah Morsi di Mesir. Mereka secara sistematis melakukan monsterisasi sentimen Islam dari banyak brigade yang tulus di Suriah yang membela rakyat dari Bashar. Sekarang ISIS menawarkan mereka alasan yang sempurna untuk menjelek-jelekkan Islam lebih jauh dan melakukan campur tangan langsung di wilayah tersebut.
c) Kolonialisme adalah masalahnya. Khilafah Rasyidah adalah solusinya.
ISIS merupakan gejala dari masalah yang sebenarnya yang telah menggoyahkan kawasan itu. Alasan untuk destabilisasi adalah campur tangan kolonial Barat, baik secara langsung maupun melalui kuasanya dalam bentuk para ‘penguasa’ despotik di Timur Tengah. Intervensi militer dan politik Barat di dunia Muslim selalu dilakukan untuk motif tersembunyi selain dari retorika keamanan, stabilitas atau intervensi. Kami harus mencoba untuk memahami rencana AS saat ini untuk wilayah itu, dan melihat fenomena ISIS dan rencana untuk melakukan campur tangan dalam konteks itu.
Solusi atas destabilisasi yang terjadi selama beberapa dekade adalah berdirinya kembali Khilafah Rasyidah yang akan menyatukan umat. Khilafah yang nyata ini akan disambut oleh rakyat dari semua wilayah dan dari semua agama—tanpa memandang agama, sekte atau ras—karena akan melaksanakan syariah Allah untuk membawa solusi bagi masalah sosial dan menjaga urusan rakyat.
Khilafah juga akan mengusir kepentingan kolonialis di wilayah tersebut. Bukan ‘terorisme’ yang membuat ketakutan Barat, melainkan pembebasan dunia Muslim dari hegemoni mereka!
[Dr. Abdul Wahid]