Oleh: Hafidz Abdurrahman
Fakta Khulu’
Khulu’ secara harfiah, diambil dari lafadz Khala’a-Yakhla’u-Khal’[an] yang berarti melepaskan. Khala’a (melepas) dalam bahasa Arab biasanya digunakan untuk konotasi melepas pakaian. Mengapa lafadz ini digunakan, karena al-Qur’an menyebut isteri adalah pakaian bagi suami. Begitu juga sebaliknya, sebagaimana firman Allah SWT:
﴿هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ﴾
“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kalian adalah pakaian bagi mereka.” (Q.s. al-Baqarah [02]: 187)
Disebut khulu’, karena seorang isteri melepaskan statusnya sebagai pakaian bagi suaminya. Dengan disertai membayar tebusan, yang digunakan untuk membebaskan dirinya dari ikatan nikah yang ada di tangan suaminya. Karena itu, al-Qur’an juga menggunakan istilah tebusan (ifitadat bih):
﴿فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا اِفْتَدَتْ بِهِ﴾
“Maka tidak mengapa bagi mereka berdua (suami-isteri melepaskan ikatan pernikahan) karena tebusan yang dibayarkan isteri.” (Q.s. al-Baqarah [02]: 229)
Khulu’ tidak butuh penguasa untuk memutuskan jatuh dan tidaknya. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad, “Khulu’ boleh dilakukan tanpa peranan penguasa.” Pandangan ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Umar dan ‘Utsman ra. Pendapat ini diikuti oleh Qadhi Syuraih, az-Zuhri, Malik, Syafii, Ishaq dan Ahli Ra’yi.
Tetapi, pendapat yang berbeda dinyatakan oleh al-Hasan dan Ibn Sirin. Dia menyatakan, bahwa khulu’ membutuhkan peranan penguasa. Namun, menurut Ibn Qudamah, “Kami menguatkan pendapat ‘Umar dan ‘Utsman, karena ini merupakan bentuk pertukaran kompensasi, sehingga tidak membutuhkan penguasa. Seperti jual beli, dan pernikahan. Disamping, karena ini merupakan pemutusan akad dengan suka rela, menyerupai iqalah (pembatalan akad).” (Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz X/267-268).
Khulu’ juga boleh dilakukan kapan saja, baik ketika suci atau sedang haid. Karena khulu’ ini esensinya menghilangkan mudarat yang menimpa perempuan, karena buruknya pergaulan suami dengannya, serta menghilangkan sesuatu yang tidak disukai dan dibencinya. Sementara mudarat akibat semuanya ini lebih panjang ketimbang mudarat karena lamanya masa ‘iddah, sebagaimana yang dilarang saat menjatuhkan talak. Karena itu, menjatuhkan talak saat haid tidak boleh, karena memperhatikan mudarat lamanya masa ‘iddah yang harus dipikul oleh perempuan.
Karenanya, Nabi saw. tidak pernah menanyakan kondisi wanita yang mengajukan khulu’, apakah sedang bersih atau haid. Selain itu, khulu’ ini terjadi atas permintaan perempuan. Jadi, ini berdasarkan kerelaannya. Dengan begitu, khulu’ ini dilakukan demi kemaslahatan pihak perempuan (isteri) (Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz X/268).
Dalam khulu’, seorang suamidisunahkan mengambil tidak lebih dari apa yang pernah dia berikan sebagai mahar kepada isterinya. Jika keduanya sama-sama sepakat melakukan khulu’, dengan kompensasi tertentu, maka khulu’-nya dianggap sah. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama’. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Utsman, Ibn ‘Umar, Ibn ‘Abbas, ‘Ikrimah, Mujahid, Qubaishah bin Dzu’aib, an-Nakha’i, Malik, as-Syafii, dan para pengikut Ahli Ra’yi. Bahkan, Ibn ‘Abbas berpendapat, jika seorang isteri mengajukan khulu’ dengan kompensasi bagian warisannya itu pun boleh. ‘Atha’, Thawus, ‘Amru bin Syu’aib dan az-Zuhri berpendapat, bahwa suami tidak boleh mengambil lebih dari mahar yang telah dia berikan. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib. Abu Bakar juga memilih penadapat ini, bahkan mengatakan, “Jika dia (suami) melakukannya (mengambil lebih dari mahar yang telah dia berikan), maka kelebihannya harus dia kembalikan.” Ini didasarkan pada keputusan Nabi kepada Jamilah binti Salul, ketika menggugat cerai (khulu’) dari Tsabit. Kebun yang diberikan Tsabit kepada Jamilah harus dikembalikan kepada Tsabit, setelah itu Tsabit pun mengambil kebun tersebut dari Jamilah, dan tidak lebih (Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz X/269).
Status kompensasi tadi merupakan pengganti (‘iwadh/badal), sebagai kompensasi pembatalan (Fasakh). Karena itu, tidak boleh melebihi kadar yang diberikan pada permulaan akad nikah. Status kompensasi ini seperti ‘iwadh dalam ‘iqalah, sebagaimana dalam Jual-beli ‘Arbun. Namun, ada juga yang membolehkan jumlah ‘iwadh lebih banyak ketimbang mahar yang pernah diberikan saat akad, meski hukumnya Makruh. Ini pendapat Sa’id bin al-Musayyab, al-Hasan, as-Sya’bi, al-Hakam, Hamad, Ishaq dan Abu ‘Ubaid. Namun, menurut Abu Hanifah, Malik dan as-Syafii boleh, tidak Makruh. Malik berkomentar, “Saya selalu mendengar pendapat yang menyatakan, bahwa tebusan (kompenasi) itu boleh melebihi mahar.” Lalu, bagaimana mengkompromikan antara Q.s. al-Baqarah [02]: 229 di atas dengan hadits Jamilah? Ibn Qudamah menyatakan, “Ayat tersebut menunjukkan kebolehannya (tebusan secara mutlak). Sedangkan hadits (Jamilah) menjelaskan larangan lebih (dari mahar yang telah diberikan) itu statusnya makruh.” (Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz X/270).
Alasan Khulu’
Jika perempuan mengajukan gugatan cerai (khulu’) bukan karena faktor kebencian, dan takut tidak bisa menjalankan hukum Allah, maka khulu’ seperti ini Makruh. Jika kondisi seperti ini, kemudian isteri tetap saja mengajukan khulu’, maka menurut pendapat mayoritas ulama’, khulu’-nya tetap sah. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah Abu Hanifah, at-Tsauri, Malik, al-Auza’i dan as-Syafii. Sedangkan Imam Ahmad menyatakan haram. Beliau menjelakan, “Khulu’ seperti hadits Sahlah, dimana dia membenci suaminya, lalu dia memberinya mahar (‘iwadh), maka seperti inilah khulu’. Ini membuktikan, bahwa khulu’ itu tidak sah, kecuali dalam kondisi seperti ini.” Ini juga menjadi pendapat Ibn al-Mundzir dan Dawud. Dasarnya Q.s. al-Baqarah [02]: 229 di atas, dimana tebusan itu diberikan, karena perempuan tersebut khawatir tidak bisa menjalankan hukum Allah. Disamping adanya larangan mengambil tebusan, kecuali jika khawatir tidak bisa menjalankan hukum Allah, yang diikuti dengan larangan dan ancaman. Diperkuat dengan hadits Nabi:
«أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرٍ مَا بَأْسٍ، فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ اْلجَنَّةِ»
“Siapa saja perempuan yang meminta dicerai oleh suaminya, tanpa alasan apapun, maka dia diharamkan untuk mencium aroma surga.” (H.r. Abu Dawud dari Tsauban).
Ini menunjukkan, haramnya mengajukan gugatan cerai (khulu’), bukan karena adanya kebutuhan untuk itu. Selain itu, khulu’ seperti ini membahayakan kaum perempuan itu sendiri, sekaligus membahayakan suaminya. Disamping menghilangkan kemaslahatan nikah, tanpa alasan. Karena itu, menurut Ibn Qudamah, khulu’ seperti ini diharamkan (Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz X/271).
Tetapi, jika isteri dianiaya, dipukul, ditekan atau tidak diberikan hak-haknya, seperti hak nafkah, giliran dan sebagainya, kemudian isteri membayar tebusan agar bisa membebaskan dirinya dari suaminya, lalu dia melakukanya, maka status khulu’ seperti ini adalah batal. Kompensasinya juga harus dikembalikan. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas, ‘Atha’, Mujahid, as-Sya’bi, an-Nakha’i, al-Qasim bin Muhammad, ‘Urwah, ‘Amru bin Syu’aib, Humaid bin ‘Abdirrahman, dan az-Zuhri. Pendapat serupa juga dinyatakan oleh Malik, at-Tsauri, as-Syafii, dan Qatadah. Tetapi, Abu Hanifah berpendapat, “Akadnya sah, kompensasinya mengikat, tetapi si suami berdosa dan melakukan maksiat.”
Namun, Ibn Qudamah berpendapat, bahwa ‘iwadh seperti ini terpaksa harus dibayarkan oleh perempuan, tanpa haq. Karena itu, suaminya tidak berhak mendapatkannya. Ini seperti harga dalam jual-beli, atau upah dalam akad ijarah.
Khulu’ tanpa ‘Iwadh
Jika status ‘iwadh-nya tidak sah, karena diberikan oleh pihak perempuan dengan terpaksa, maka suaminya tidak berhak memiliki ‘iwadh tersebut. Jika ‘iwadh tersebut dianggap tidak berhak dimiliki oleh suami, berarti ‘iwadh ini dianggap tidak ada. Jika khulu’ tersebut dilakukan tanpa ‘iwadh, maka statusnya bukan khulu’ lagi, tetapi talak. Dalam hal ini, menurut Ibn Qudamah, status khulu’ tersebut seperti talak. Talak bisa jatuh, tanpa ‘iwadh. Jika ini yang terjadi, maka statusnya mengikuti hukum talak, sehingga ada masa ‘iddah-nya.
Dengan begitu, suami berhak untuk rujuk kembali dengan isterinya, jika talaknya kurang dari tiga kali. Dalam hal ini, ‘iddah dan rujuknya, kembali kepada hukum talak. Ibn Qudamah beralasan, karena ‘iwadh-lah yang bisa menggugurkan hak rujuk. Jika ‘iwadh-nya dinyatakan gugur, atau tidak berlaku, dan harus dikembalikan, karena bukan hak baginya suami, maka hak rujuk suami dengan isterinya itu kembali lagi.
Dari sini, bisa dipahami konsekuensi khulu’ dan ‘iwadh tersebut, serta beda antara khulu’ dengan talak. Khulu’ atau gugatan cerai yang diajukan oleh isteri dinyatakan sah sebagai khulu’, jika disertai ‘iwadh. Jika tidak, maka status khulu’-nya berubah menjadi talak. Jika khulu’ tersebut memenuhi syarat, dianggap sah, dan berlaku, maka konsekuensinya, isteri tidak perlu menunggu masa ‘iddah, sebagaimana dalam kasus talak. Konsekuensi lainnya, suami juga tidak mempunyai hak untuk rujuk sebagaimana dalam kasus talak I dan II. Karena hak rujuknya telah digugurkan dengan ‘iwadh yang dibayar oleh isterinya.
‘Iwadh dan hak rujuk adalah dua hal yang bertolak belakang. Jika seseorang suami ingin mendapatkan hak rujuknya, maka tidak boleh menerima ‘iwadh dari isterinya. Karena itu, jika dia menerima ‘iwadh dari isterinya, maka dia telah kehilangan hak rujuknya, sebagaimana dalam talak I dan II. Jika suami menetapkan syarat ‘iwadh agar bisa mengabulkan gugatan isterinya, tetapi dengan syarat bisa rujuk lagi dengannya, maka syarat seperti ini tidak sah. Tetapi, khulu’-nya tetap berlaku. Dengan begitu, perempuan mantan isterinya itu dinyatakan sah khulu’-nya, dan tidak boleh memenuhi syarat yang diajukan mantan suaminya, meski itu mereka sepakati sebelumnya. Karena syarat ini batil. Kesepekatan terhadap syarat yang batil seperti ini tidak berlaku. Ini adalah pendapat Imam as-Syafii (Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz X/279).
Dalam riwayat lain, Imam Ahmad berpendapat, bahwa khulu’ tetap sah, meski tanpa ‘iwadh. Meski dalam riwayat lain, Imam Ahmad menyatakan, bahwa khulu’ tidak sah, kecuali dengan ‘iwadh. Jika seorang suami menerima gugatan isterinya, tanpa ‘iwadh, dengan niat talak, maka status gugatan tersebut dihukumi talak, bukan khulu’. Ini termasuk dalam kategori talak Kinayah (kiasan). Talak, dengan menggunakan lafadz khulu’, bukan lafadz “talak”. Namun, jika tidak ada niat mentalak, lalu ‘iwadh juga tidak ada, maka baik talak maupun khulu’-nya sama-sama dianggap tidak berlaku. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan as-Syafii (Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz X/288).
Khulu’ antara Fasakh dan Talak
Khulu’ itu pada dasarnya merupakan pembatalan akad nikah, yang disertai ‘iwadh (kompensasi). Karena itu, khulu’ ini sebenarnya merupakan Fasakh. Meski, tidak semua Fasakh (pembatalan akad nikah) berarti khulu’, jika tidak disertai ‘iwadh.
Mazhab Hanafi membedakan antara Fasakh dengan Thalak. Jika keputusan untuk melepaskan tali pernikahan itu berasal dari suami, maka disebut Thalak. Tetapi, jika keputusan untuk melepaskan tali pernikahan itu berasal dari isteri, maka disebut Fasakh (Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II/203).
Fasakh itu didefinisikan oleh al-‘Allamah Rawwas Qal’ah Jie, dalam Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, sebagai tindakan pembatalan akad oleh pihak yang mempunyai hak, disertai dengan hilangnya seluruh konsekuensi akad. Jika mengacu kepada definisi ini, maka jelas, Fasakh bisa membatalkan akad nikah dengan segala konsekuensinya, baik kewajiban nafkah, ‘iddah maupun yang lain.
Fasakh itu sendiri bisa terjadi karena dua sebab: Pertama, cacat yang terjadi pada akad. Kedua, faktor yang muncul di tengah jalan, sehingga akadnya tidak bisa dipertahankan.
Mengenai faktor pertama, yaitu cacat yang terjadi pada akad:
1- Ketika akad nikah sudah terjadi, ternyata isteri yang dinikahi itu merupakan wanita yang haram dinikahi (Muharramat Min an-Nikah), maka akad nikahnya otomatis batal, atau Fasakh otomatis.
2- Jika salah satu pasngan suami-isteri dinikahkan saat masih kecil, kemudian setelah baligh, masing-masing boleh memilih untuk meneruskan hubungan suami-isteri, atau mengakhiri hubungan. Ini disebut Khiyar al-bulugh. Jika pilihan yang dijatuhkan oleh pasangan tersebut ternyata berpisah, maka keputusan ini disebut Fasakh.
Faktor kedua, faktor yang muncul di tengah jalan, sehingga akadnya tidak bisa dipertahankan:
1- Jika salah satu pasangan murtad dari Islam, dan tidak kembali, maka akad nikahnya otomatis batal. Ini juga Fasakh otomatis, tanpa menunggu keputusan hakim.
2- Jika isteri masuk Islam, sedangkan sauminya masih Kafir, baik Ahli Kitab maupun Musyrik, maka akad nikahnya juga otomatis batal. Ini juga Fasakh otomatis, tanpa menunggu keputusan hakim. Tetapi, jika suaminya masuk Islam, sedangkan isterinya tetap Kafir, harus dilihat: Jika Kafirnya Ahli Kitab, maka akad nikahnya tetap sah. Tetapi, jika Kafirnya Musyrik, maka akadnya otomasi batal. Dalam hal ini, menurut Sayyid Sabiq, menunggu keputusan hakim, karena boleh jadi isterinya tidak mau berpisah.
Khulu’ bisa berkonotasi Fasakh, bukan talak, karena tidak disertai ‘iddah, dan hak rujuk sebagaimana dalam talak I dan II. Dengan kata lain, jika suami-isteri tersebut ingin kembali, setelah terjadinya khulu’ atau fasakh, maka harus dengan akad baru. Ini berlaku, jika khulu’ tersebut disertai ‘iwadh. Jika tidak, maka statusnya menjadi talak. Itu pun jika disertai niat talak dari suami. Jika tidak, maka dua-duanya, baik khulu’ maupun talaknya, sama-sama tidak berlaku.
Fasakh ada yang disertai konsekuensi haram ta’bid, yaitu haram selama-lamanya untuk kembali menjadi pasangan suami-isteri. Ini berlaku dalam kasus Fasakh karena li’an. Wallahu a’lam.[]