Keberadaan Perdana Menteri Mesir, Ir. Ibrahim Mahlab dan Menteri Dalam Negeri, Mayor Jenderal Mohammad Ibrahim yang tengah melaksanakan shalat Idul Adha mendampingi Presiden Abdel Fattah al-Sisi, telah memicu kontroversi luas di Mesir, sebab keduanya sedang melakukan ibadah Haji. Pada hari Jum’at malam (3/10), keduanya meninggalkan tanah suci, dan melaksanakan shalat Idhul Adha mendampingi Sisi pada pagi hari Sabtu (4/10). Sehingga hal tersebut membuat semua orang bertanya-tanya tentang keabsahan ibadah Haji keduanya, karena keduanya telah meninggalkan sejumlah kewajiban ibadah Haji, seperti melempar jumrah dan mabit (bermalam) di Muzdalifah, serta thawaf ifaadah dan thawaf wada’.
Sumber di Kabinet menjelaskan pada “Alarabiya Net” bahwa Mahlab telah menyelesaikan rangkaian ibadah Haji, dan ia kembali ke Kairo setelah melaksanakan rukun haji terbesar, yaitu wuquf di Arafa, kemudian thawaf ifaadah, dan masing-masing bersama-sama melaksanakan kewajiban melempar jumra.
Adapun Kepala Universitas Al-Azhar, Dr. Abdul Hayyi Azab, menegaskan bahwa jumhur fuqaha’ membatasi keabsahan ibadah haji dengan wuquf di Arafa, sementara rangkaian kewajiban haji yang lain boleh diwakilkan bagi orang-orang yang memiliki uzur (alasan). Namun mereka tidak menjelaskan batasan kuat dan lemahnya uzur.
Sementara Guru Besar Fiqih Perbandingan di Universitas Al-Azhar, Syaikh Ahmad Karimah menegaskan bahwa ibadah hajinya Perdana Menteri dan Menteri Dalam Negeri Mesir itu batal. Ia mengatakan bahwa Mahlab dan Ibrahim tidak memenuhi rukun haji yang utama dari rukun-rukun haji, yaitu thawaf ifaadah yang telah disepakati oleh semua ulama, dimana pelaksanaan thawaf ifaadah harus setelah melempar jumrah dan menyembelih binatang korban. Dikatakan bahwa tidak boleh pelaksanaan thawaf ifaadah diwakilkan pada orang lain. Ia menambahkan bahwa para pejabat yang berwenang berkewajiban untuk mengeluarkan fatwa atas masalah penting yang akan menghancurkan agama (alarabiya.net, 6/10/2014).