Pendidikan di Indonesia lagi-lagi tercoreng. Sebuah video yang menayangkan sejumlah murid SD di Bukit Tinggi Sumatra Barat mem-bully temannya beredar di dunia maya. Dalam video tersebut, seroang siswi tanpa perlawanan diam di pojok ruangan, sementara beberapa temannya memukuli dan menendanginya.
Tentu saja, fakta miris ini membuat banyak pihak merasa prihatin. Psikolog Seto Mulyadi akhirnya angkat bicara terkait dengan kasus ini. Pria yang akrab dipanggil Kak Seto itu mengatakan salah satu penyebab terjadinya kekerasan yang dilakukan anak adalah karena banyak yang memosisikan anak sebagai yang bersalah.
“(Institusi pendidikan) tidak mengerti suara anak, ini yang harus dibayar.” Kata Kak Seto sebagaimana dilansir oleh republika.co.id (13/10).
Juru bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) Iffah Ainur Rochmah menyatakan dalam rilis presnya (14/10), bahwa persoalan bullying ini harus dipandang penting untuk menegaskan akar masalah kekerasan yang melanda generasi umat ini adalah persoalan sistemik. Stidaknya, ada empat hal yang melandasi terjadinya kasus ini.
Pertama, kasus bullying, serupa dengan kekerasan lainnya adalah penyimpangan perilaku yang lahir dari paham kebebasan. Kebebasan adalah nilai utama dalam sistem demokrasi yang juga memfasilitasi prinsip survival of the fittest, hanya yang kuat yang akan bertahan. Maraknya bullying di sekolah-sekolah—termasuk sekolah dasar—adalah gambaran dari berlakunya prinsip tersebut.
Kedua, lemahnya fungsi keluarga. Keluarga hanya menjadi terminal. Kondisi keluarga dalam tatanan masyarakat kapitalistik sebagaimana saat ini, dihimpit kesulitan ekonomi. Orang tua tersibukkan mencari nafkah ketimbang mencurahkan waktu, perhatian dan kasih sayang untuk anak-anak mereka. Dalam keluarga yang memiliki ekonomi mapan hal ini pun terjadi ketika banyak ibu yang menghabiskan waktunya untuk kegiatan di sektor publik baik di dunia kerja atau sosialita.
Ketiga, rendahnya pengawasan sekolah dan kepedulian masyarakat. Deteksi dini terhadap perilaku negatif seharusnya bisa dilakukan oleh sekolah maupun lingkungan sekitar. Ketika muncul gejala perilaku negatif seperti kata-kata kasar, mencemooh, apalagi tindak kekerasan, sekolah maupun lingkungan sekitar selayaknya memberi perhatian untuk mengingatkan dan menghentikan.
Keempat, abainya pemerintah. Budaya kekerasan masuk ke dunia anak melalui tontonan televisi, film, komik dan video games. Pemerintah tidak tegas dalam menyetop segala jenis tontonan merusak tadi karena lemahnya pengawasan, minimnya keberpihakan maupun adanya keuntungan materi. Pemerintah lalai dalam melindungi anak dari media yang membahayakan, tidak indonesia mendukung tugas orang tua dan sekolah dalam mendidik generasi yang berkepribadian mulia.
Senada dengan apa yang diungkapkan Iffah, Kak Seto juga menambahkan bahwa kekerasan anak ini muncul akibat kesalahan sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia, “apa yang salah dengan sistem pendidikan. Jangan hanya anak yang disalahkan.”
“(Kekerasan) ini sudah menjadi kejadian biasa bukan luar biasa. Banyak juga yang tidak direkam,” kata Kak Seto.
Oleh Karena itu, demokrasi dan kebebasan yang menjadi akar permasalahan pendidikan di negeri ini harus diganti. Sistem pengganti tersebut adalah Islam sebagai ideologi dan khilafah Islamiyah sebagai model negaranya.
Negara Islam (Khilafah Islamiyah) akan mengarahkan orang tua dan menanamkan melalui kurikulum pendidikan agar anak-anak dididik perilaku dan budi pekerti yang benar sesuai dengan ajaran Islam. Mereka diajarkan untuk memilih kalimat-kalimat yang baik, sikap sopan-santun, kasih-sayang terhadap saudara dan orang lain. Mereka juga diajarkan untuk memilih cara yang benar ketika memenuhi kebutuhan hidup dan memilih barang halal yang akan mereka gunakan. Dengan begitu, kelak terbentuk pribadi anak yang shalih dan terikat dengan aturan Islam.
Orang tua memiliki waktu dan perhatian yang cukup bagi keluarga karena sistem ekonomi Islam akan menghasilkan masyarakat yang sejahtera berkeadilan. Masyarakat yang peduli juga akan lahir dari budaya amar makruf nahi munkar.
Negara Khilafah juga menghapus seluruh fasilitas-fasilitas yang bisa mengakibatkan perilaku menyimpang generasi semacam tayangan dan permainan kekerasan dan merusak lainnya. Negara juga akan memberikan hukuman yang tegas terhadap perilaku menyimpang, karena Islam juga memiliki sistem sanksi yang jelas dan adil.
Sudah selayaknya sistem kapitalisme demokrasi yang penuh dengan kerusakan ini diganti dengan sistem Islam yang penuh dengan keharmonisan dan kemaslahatan.(mediaumat.com, 15/10/2014)