Khilafah Islam, secara qath’i, pernah berdiri. Khilafah adalah satu-satunya bentuk negara dan sistem pemerintahan yang diwariskan oleh Nabi Muhammad saw. Nabilah yang mendirikan negara Islam yang pertama di Madinah, dengan bentuk dan sistemnya yang khas. Bentuk dan sistemnya yang khas ini pun kemudian diwariskan kepada para sahabat ridhwanullah ‘alaihim. Inilah Negara Khilafah.
Karena itu, mengingkari Khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam, dan menolak kewajiban untuk menegakkannya bukan hanya membawa dosa besar bagi pelakunya, tetapi bisa mengancam akidahnya. Karena jelas-jelas telah mengingkari apa yang secara mutawatir dipraktekkan oleh Nabi saw. Juga mengingkari apa yang secara mutawatir disepakati dan dipraktekkan oleh para sahabat Nabi saw. Ini seperti orang yang mengingkari kewajiban shalat, puasa, zakat, haji dan jihad.
Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan semesta alam. Di dalam sistem khilafah ini, Khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan Kitabullah dan sunah Rasul-Nya untuk memerintah (memutuskan perkara) sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Dalil-dalilnya banyak, diambil dari al-Kitab, as-Sunah dan Ijmak Sahabat.
Dalil Wajibnya Menegakkan Khilafah
Pertama, Dalil dari al-Qur’an, bahwa Allah SWT. telah menyeru Rasul saw:
﴿فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ﴾
“Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS. al-Maidah [5]: 48)
﴿وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ﴾
“Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.(QS. al-Maidah [5]: 49).
Seruan kepada Rasul saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah juga merupakan seruan bagi umat Beliau saw. Mafhum-nya adalah hendaknya umat Beliau mewujudkan seorang hakim setelah Rasulullah saw untuk memutuskan perkara di antara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Perintah dalam seruan ini bersifat tegas (jazim). Karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan jazm (tegas). Hakim yang memutuskan perkara di antara kaum muslim setelah wafatnya Rasulullah saw adalah Khalifah. Karena itu, sistem pemerintahan menurut aspek ini adalah sistem Khilafah.
Terlebih lagi, bahwa penegakan hudud (sanksi) dan seluruh ketentuan hukum syara’ merupakan sesuatu yang wajib. Kewajiban ini sendiri tidak akan terlaksana tanpa adanya penguasa. Sementara kewajiban yang tidak sempurna, kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib. Artinya, mewujudkan penguasa yang menegakkan syariat itu hukumnya wajib. Penguasa menurut aspek ini, tak lain adalah Khalifah, dan sistem pemerintahannya adalah sistem khilafah.
Kedua, adapun dalil dari as-Sunnah, telah diriwayatkan dari Nafi’, ia berkata, “Abdullah bin ‘Umar telah berkata kepadaku, “Aku mendengar Rasulullah saw. pernah bersabda:
«مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ وَ مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً»
“Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada hari kiamat kelak tanpa memiliki hujah, dan siapa saja yang mati sedang di pundaknya tidak terdapat baiat, maka ia mati seperti kematian jahiliyah.” (HR. Muslim)
Nabi saw telah mewajibkan kepada setiap Muslim agar di pundaknya terdapat baiat. Beliau juga menyifati orang yang mati, sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat, maka ia mati seperti mati jahiliyah. Baiat tidak akan terwujud setelah Rasulullah saw, kecuali kepada Khalifah, bukan yang lain. Hadits ini mewajibkan adanya baiat di atas pundak setiap Muslim, yang berarti mewajibkan adanya Khalifah yang dengan adanya Khalifah itu adanya baiat di atas pundak setiap Muslim bisa direalisir. Imam muslim meriwayatkan dari al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda:
«إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَ يُتَّقَى بِهِ»
“Seorang imam tidak lain laksana perisai, dimana orang-orang akan berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung.” (HR. Muslim)
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abi Hazim, ia berkata, “Aku mengikuti mejelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan aku mendengar ia menyampaikan hadits dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda:
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ»
“Dahulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi yang lain, dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para Khalifah, dan mereka banyak, para sahabat bertanya : “lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda : “penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama, berikanlah kepada mereka hak mereka, dan sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban mereka atas apa yang mereka diminta untuk mengatur dan memeliharanya.” (HR. Muslim)
Di dalam hadits-hadits ini terdapat sifat bagi Khalifah sebagai junnah (perisai). Sifat yang diberikan Rasul saw bahwa imam adalah perisai merupakan ikhbar (pemberitahuan) yang di dalamnya terdapat pujian atas keberadaan seorang imam. Ini merupakan tuntutan (thalab). Karena pemberitahuan dari Allah dan Rasul saw, jika mengandung celaan (dzamm) merupakan tuntutan untuk meninggalkan (thalab at-tark), yakni larangan (nahy). Jika mengandung pujian (madh), maka merupakan tuntutan untuk melakukan (thalab al-fi’l). Jika aktivitas yang dituntut pelaksanaannya memiliki konsekuensi tegaknya hukum syara’, atau jika diabaikan mempunyai konsekuensi terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan itu bersifat tegas (thalab jazim). Dalam hadits ini juga terdapat pemberitahuan bahwa orang yang mengurus kaum Muslim itu adalah para Khalifah. Karena itu, hadits ini sekaligus merupakan perintah mengangkat Khalifah. Terlebih lagi, Rasul saw memerintahkan untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang yang hendak merebut kekuasaan dalam jabatan khilafahnya. Ini artinya, perintah untuk mengangkat Khalifah dan menjaga eksistensi Khilafah dengan cara memerangi semua orang yang hendak merebutnya. Imam Muslim telah meriwayatkan bahwa Rasul saw pernah bersabda:
«وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ»
“Dan siapa saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang lain itu.” (HR. Muslim)
Perintah mentaati imam ini merupakan perintah untuk mengangkatnya. Perintah memerangi orang yang hendak merebut kekuasaannya merupakan qarinah (indikasi) yang tegas tentang wajibnya menjaga keberlangsungan Khalifah yang satu.
Ketiga, sedangkan dalil berupa Ijma’ Sahabat, maka para sahabat –ridhwanaLlâh ‘alayhim– telah sepakat atas kewajiban mengangkat Khalifah (pengganti) bagi Rasulullah saw setelah Beliau wafat. Mereka telah sepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah, lalu ‘Umar bin Khaththab sepeninggal Abu Bakar, dan sepeninggal ‘Umar, ‘Utsman bin ‘Affan. Telah nampak jelas penegasan Ijmak Sahabat terhadap wajibnya mengangkat Khalifah dari penundaan pemakaman jenazah Rasulullah saw, dimana mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah (pengganti) Beliau. Sementara mengebumikan jenazah setelah wafatnya Nabi adalah wajib. Para sahabat adalah pihak yang berkewajiban mengurus jenazah Rasul saw dan mengebumikannya, tetapi sebagian dari mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah, sementara sebagian yang lain diam saja atas hal itu dan mereka ikut dalam penundaan pemakaman jenazah Rasul saw sampai dua malam. Padahal mereka mampu mengingkarinya dan mengebumikan jenazah Rasul saw.
Rasul saw wafat pada waktu dhuha hari Senin, lalu disemayamkan dan belum dikebumikan pada malam Selasa, dan Selasa siang saat Abu Bakar dibaiat. Kemudian jenazah Rasul dikebumikan pada tengah malam, malam Rabu. Jadi pengebumian itu ditunda selama dua malam dan Abu Bakar dibaiat terlebih dahulu sebelum pengebumian jenazah Rasul saw. Maka fakta ini merupakan Ijmak Sahabat untuk lebih menyibukkkan diri mengangkat Khalifah dari pada mengebumikan jenazah. Hal itu tidak akan terjadi kecuali, bahwa mengangkat Khalifah lebih wajib daripada mengebumikan jenazah. Juga bahwa para sahabat seluruhnya telah berijmak sepanjang hidup mereka akan wajibnya mengangkat Khalifah. Meski mereka berbeda pendapat mengenai orang yang dipilih sebagai Khalifah, namuan mereka tidak berbeda pendapat sama sekali tentang wajibnya mengangkat Khalifah, baik ketika Rasul saw wafat, maupun ketika para Khulafaur Rasyidin wafat. Maka Ijmak Sahabat ini merupakan dalil yang jelas dan kuat atas wajibnya mengangkat Khalifah.
Pendapat Para Ulama’ tentang Wajibnya Khilafah
Para ulama’ dari berbagai mazhab, baik Sunni, Syi’i, Muktazilah, Khawarij maupun yang lain, telah menyepakati wajibnya Khilafah, serta mengangkat seorang Khalifah. Pendapat mereka, antara lain, sebagai berikut:
1- Al-Imam al-Mawardi (w. 450 H), dari mazhab Syafii, menyatakan:
وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُوْمُ بِهَا وَاجِبٌ بِالْإجْمَاعِ وَإِنْ شَذَّ عَنْهُمُ اَلْأَصَمُّ
“Melakukan akad Imamah (Khilafah) bagi orang yang [mampu] melakukannya, hukumnya wajib berdasarkan Ijma’, meskipun Al Asham menyalahi mereka (ulama) [dengan menolak wajibnya Khilafah].” (Lihat, al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniy-yah, hal. 5).
2- Ibn Hazm (w. 456 H), dari mazhab Dhahiri, berkata:
إتَّفَقَ جَمِيْعُ أهْلِ السُنَّةِ وَجَمِيْعُ الْمُرْجِئَةِ وَجَمِيْعُ الشِيْعَةِ وَجَمِيْعُ الْخَوَارِجِ عَلَى وُجُوْبِ اْلإمَامَةِ….
“Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syi’ah, dan semua Khawarij mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)…” (Lihat, al-Fashlu fi al-Milal wa Ahwa’ wa an-Nihal, Juz IV/87).
وَاتَّفَقُوْا أَنَّ الْإِمَامَةَ فَرْضٌ وَأَنَّهُ لاَ بُدَّ مِنْ إِمَامٍ حَاشَا النَّجْدَاتِ..
“Mereka (ulama) telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu fardhu dan bahwa tidak boleh tidak harus ada seorang Imam (Khalifah), kecuali an-Najadat…” (Lihat, Ibn Hazm, Maratib al-Ijma’, hal. 207).
3- Al-Imam Abu Ya’la al-Farra’ (458 H), mazhab Hambali, mengatakan:
نَصْبَةُ اْلإِمَامِ وَاجِبَةٌ وَقَدْ قَالَ أَحْمَدُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِيْ رِوَايَةِ مُحَمَّدِ ابْنِ عَوْفِ بْنِ سُفْيَانَ الْحِمْصِيِّ ” ألْفِتْنَةُ إذَا لَمْ يَكُنْ إمَامٌ يَقُوْمُ بِأَمْرِ النَّاسِ.
“Mengangkat seorang Imam (Khalifah) hukumnya wajib. Imam Ahmad RA dalam riwayat Muhammad bin ‘Auf bin Sufyan al-Himshi berkata, “Adalah suatu ujian, jika tak ada seorang Imam (Khalifah) yang menegakkan urusan manusia.” (Lihat, Abu Ya’la Al Farra’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 19).
4- Al-Qahir al-Baghdadi (w. 469 H), mazhab Ahlussunnah, mengatakan:
وَقَالُوْا فِي الرُّكْنِ الثَّانِيْ عَشَرَ الْمُضَافِ إِلىَ الْخِلاَفَةِ وَاْلإِمَامَةِ: إِنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ وَاجِبٌ عَلىَ اْلأُمَّةِ، لِأَجْلِ إِقَامَةِ اْلإِمَامِ يَنْصِبُ لَهُمُ الْقُضَاةَ وَاْلأُمَنَاءَ، وَيَضْبَطُ ثُغُوْرَهُمْ، وَيُغْزِيْ جُيُوْشَهُمْ، وَيَقْسِمُ اْلفَيْءَ بَيْنَهُمْ، وَيَنْتَصِفُ لِمَظْلُوْمِهِمْ مِنْ ظَالِمِهِمْ
“Mereka [ulama Ahlus Sunnah] berkata mengenai rukun ke-13 yang disandarkan kepada Khilafah atau Imamah, bahwa Imamah atau Khilafah itu fardhu atau wajib atas umat Islam, agar Imam dapat mengangkat para hakim dan orang-orang yang diberi amanah, menjaga perbatasan mereka, menyiapkan tentara mereka, membagikan fai’ mereka, dan melindungi orang yang didzalimi dari orang-orang yang dzalim.” (Lihat, Abdul Qahir al-Baghdadi, al-Farqu Baina al-Firaq, Juz I/340).
5- Al-Imam al-Ghazali (w. 505 H), mazhab Ahlussunnah-Syafii, mengatakan:
فَبَانَ أَنَّ السُّلْطَانَ ضَرُوْرِيٌّ فِيْ نِظَامِ الدِّيْنِ وَنِظَامِ الدُّنْيَا، وَنِظَامُ الدُّنْيَا ضَرُوْرِيٌّ فِيْ نِظَامِ الدِّيْنِ، وَنِظَامُ الدِّيْنِ ضَرُوْرِيٌّ فِيْ الْفَوْزِ بِسَعَادَةِ اْلآخِرَةِ ، وَهُوَ مَقْصُوْدُ الْأَنْبِيَاءِ قَطْعًا ، فَكَانَ وُجُوْبُ اْلإِمَامِ مِنْ ضَرُوْرِيَّاتِ الشَّرْعِ الَّذِيْ لاَ سَبِيْلَ إِلىَ تَرْكِهِ فَاعْلَمْ ذَلِكَ..
“Maka jelaslah, bahwa kekuasaan itu penting demi keteraturan agama dan keteraturan dunia. Keteraturan dunia penting demi keteraturan agama, sedang keteraturan agama penting demi keberhasilan mencapai kebahagiaan akhirat, dan itulah tujuan yang pasti dari para Nabi. Maka kewajiban adanya Imam (Khalifah) termasuk hal-hal yang penting dalam syariat yang tak ada jalan untuk meninggalkannya. Ketahuilah itu ! ”(Lihat, Imam Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hal. 99).
6- Al-Imam al-Quthubi (w. 671 H), mazhab Maliki, mengatakan:
وَلاَ خِلَافَ فِيْ وُجُوْبِ ذَلِكَ بَيْنَ الْأُمَّةِ وَلاَ بَيْنَ الْأَئِمَّةِ، إِلاَّ مَا رُوِيَ عَنِ الْأَصَمِّ، حَيْثُ كَانَ عَنِ الشَّرِيْعَةِ أَصَمُّ. وَكَذَلِكَ كُلُّ مَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ وَاتَّبَعَهُ عَلىَ رَأْيِهِ وَمَذْهَبِهِ ).
“Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya hal itu (mengangkat Khalifah) di antara umat dan para imam [mazhab], kecuali apa yang diriwayatkan dari Al Asham, yang dia itu memang ‘asham’ (tuli) dari Syariat. Demikian pula setiap orang yang berkata dengan perkataannya serta mengikutinya dalam pendapat dan mazhabnya.” (Lihat, al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkami al-Qur`an, Juz I/264).
7- Al-Imam an-Nawawi (w. 676 H), mazhab Syafii, mengatakan:
أَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّهُ يَجِبُ عَلىَ الْمُسْلِمِيْنَ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ
“Imam Nawawi (w. 676 H) berkata,”Mereka [para shahabat] telah sepakat bahwa wajib atas kaum muslimin mengangkat seorang Khalifah.” (Lihat, an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz XII/hal. 205).
8- Ibn Taimiyyah (w. 728 H), mazhab Hanbali, mengatakan:
يَجِبُ أَنْ يُعْرَفَ أَنَّ وِلاَيَةَ أَمْرِ النَّاسِ مِنْ أَعْظَمِ وَاجِبَاتِ الدِّيْنِ، بَلْ لاَ قِيَامَ لِلدِّيْنِ إِلاَّ بِهَا. فَإِنَّ بَنِيْ آدَمَ لاَ تَتِمُّ مَصْلَحَتُهُمْ إِلاَّ بِالْاِجْتِمَاعِ لِحَاجَةِ بَعْضِهِمْ إِلىَ بَعْضٍ، وَلاَ بُدَّ لَهُمْ عِنْدَ اْلاِجْتِمَاعِ مِنْ رَأْسٍ حَتىَّ قَالَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ” رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ سَعِيْدٍ وَأَبِيْ هُرَيْرَةَ … وَلِأَنَّ اللهَ تَعَالَى أَوْجَبَ اْلأَمْرَ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيَ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَلاَ يَتِمُّ ذَلِكَ إِلاَّ بِقُوَّةٍ وَإِمَارَةٍ
“Wajib diketahui bahwa kekuasaan atas manusia termasuk kewajiban agama terbesar. Bahkan agama tak akan tegak tanpa kekuasaan. Karena manusia tak akan sempurna kepentingan mereka kecuali dengan berinteraksi karena adanya hajat dari sebagian mereka dengan sebagian lainnya…Dan tak boleh tidak pada saat berinteraksi harus ada seorang pemimpin hingga Rasulullah saw. bersabda, “Jika keluar tiga orang dalam satu perjalanan maka hendaklah mereka mengangkat satu orang dari mereka untuk menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Dawud, dari Abu Said dan Abu Hurairah). Karena Allah telah mewajibkan amar ma’ruf nahi mungkar, dan kewajiban ini tak akan berjalan sempurna kecuali dengan adanya kekuatan dan kepemimpinan.” (Lihat, Ibn Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, Juz XXVIII/390).
9- Ibn Hajar (w. 852 H), mazhab Syafii, mengatakan:
وَأَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّهُ يَجِبُ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ وَعَلىَ أَنَّ وُجُوْبَهُ بِالشَّرْعِ لاَ بِالْعَقْلِ.
“Dan mereka [para ulama] telah sepakat bahwa wajib hukumnya mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syara’ bukan akal.” (Lihat, Ibn Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari, Juz XII/205).
10-Al-Imam ar-Ramli (w. 1004 H), mazhab Syafii, mengatakan:
يَجِبُ عَلىَ النَّاسِ نَصْبُ إِمَامٍ يَقُوْمُ بِمَصَالِحِهِمْ، كَتَنْفِيْذِ أَحْكَامِهِمْ وَإِقَامَةِ حُدُوْدِهِمْ… لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ بَعْدَ وَفَاتِهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَلىَ نَصْبِهِ حَتَّى جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ، وَقَدَّمُوْهُ عَلىَ دَفْنِهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ تَزَلِ النَّاسُ فِيْ كُلِّ عَصْرٍ عَلىَ ذَلِكَ
“Wajib atas manusia mengangkat seorang Imam (Khalifah) yang menegakkan kepentingan-kepentingan mereka, seperti menerapkan hukum-hukum mereka (hukum Islam), menegakkan hudud mereka… Hal itu berdasarkan Ijma’ Sahabat setelah wafatnya Nabi saw. mengenai pengangkatan imam hingga mereka menjadikannya sebagai kewajiban yang terpenting, dan mereka mendahulukan hal itu atas penguburan jenazah Nabi saw. Dan manusia senantiasa pada setiap masa selalu berpendapat demikian (wajib mengangkat Imam).” (Lihat, Syamsuddin ar-Ramli, Ghayatu al-Bayan, hal. ).
11- Al-Imam ‘Ali as-Syaukani (w. 1250 H), mazhab Zaidiyyah, mengatakan:
فَصْلٌ يَجِبُ عَلىَ اْلمُسْلِمِيْنَ نَصْبُ إِمَامٍ: أَقُوْلُ قَدْ أَطَالَ أَهْلُ اْلعِلْمِ اْلكَلاَمَ عَلىَ هَذِهِ اْلمَسْأَلَةِ فِي اْلأُصُوْلِ وَاْلفُرُوْعِ… وقال: وَقَدْ ذَهَبَ اْلأَكْثَرُ إِلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ وَاجِبَةٌ …فَعِنْدَ اْلعِتْرَةِ وَ أَكْثَرِ اْلمُعْتَزِلَةِ وَ اْلأَشْعَرِيَّةِ تَجِبُ شَرْعاً
“Pasal: Wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang Imam (Khalifah): Saya katakan sungguh para ulama telah membicarakan masalah ini dengan panjang lebar dalam perkara ushul dan furu’…” (Lihat,as-Syaukani, as-Sailu al-Jarar, Juz IV/hal. 503). Beliau juga mengatakan, “Mayorias ulama berpendapat Imamah itu wajib… maka menurut ‘Itrah (Ahlul Bait), mayoritas Mu’tazilah, dan Asy’ariyah, [Imamah/Khilafah] itu wajib menurut syara’.” (Lihat, as-Syaukani, Nailu al-Authar, Juz VIII/265).
12-As-Syaikh Dr. Wahbah Zuhaili mengatakan:
تَرَى اْلأَكْثَرِيَّةُالسَّاحِقَةُمِنْعُلَمَاءِاْلإِسْلاَمِوَهُمْأَهْلُالسُّنَةِوَالْمُرْجِئَةُوَالشِّيْعَةُوَاْلمُعْتَزِلَةُإِلاَّنَفَراً مِنْهُمْ، وَاْلخَوَارِجُمَا عَدَا النَّجْدَاتِ : ) أَنَّاْلإِمَامَةَأَمْرٌوَاجِبٌأَوْفَرْضٌمُحَتَّمٌ
“Mayoritas ulama Islam –yaitu ulama Ahlussunnah, Murji’ah, Syi’ah, dan Mu’tazilah kecuali segelintir dari mereka, dan Khawarij kecuali Sekte an-Najdat– berpendapat bahwa Imamah (Khilafah) adalah perkara yang wajib atau suatu kefardhuan yang pasti.” (Lihat, Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz VIII/272).
Inilah pendapat seluruh ulama’ kaum Muslim, dari berbagai mazhab, baik Sunni, Syi’ah, Mu’tazilah, Murji’ah, Khawarij, maupun Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali, Dhahiri dan Zaidi. Dari zaman dulu hingga sekarang. Semuanya sepakat, bahwa hukum menegakkan Khilafah dan mengangkat seorang Khalifah adalah wajib bagi kaum Muslim. Jika ada yang mengatakan tidak wajib, maka meminjam ungkapan Imam al-Qurthubi, itu adalah orang tuli, seperti al-Asham, dari Sekte Muktazilah, dan an-Najadat, dari Sekte Khawarij. Mereka ini merupakan kelompok sempalan.
Karena itu, hukum menegakkan Khilafah merupakan perkara Ma’lum[un] min ad-din bi ad-dharurah (yang sudah diketahui urgensinya dalam Islam). Maka, tidak boleh ada kaum Muslim tidak tahu, bahwa menegakkan Khilafah hukumnya wajib. Sebagaimana tidak boleh tidak tahu, bahwa hukum menegakkan shalat lima waktu hukumnya wajib.
Khilafah untuk Rahmatan li al-‘Alamin
Satu-satunya sistem pemerintahan yang sempurna, yang pernah diterapkan oleh umat manusia di muka bumi, tidak ada lain, adalah sistem Khilafah. Karena ini adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang digariskan oleh Allah SWT. dan diwariskan oleh Rasulullah saw. secara turun-temurun. Allah pun menjamin, bahwa Islam yang diemban oleh Nabi, dengan sistem pemerintahannya ini merupakan rahmat bagi alam semesta:
﴿وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ﴾
“Dan, Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. al-Anbiya’ [21]: 107)
Makna rahmat[an] li al-‘alamin dijelaskan oleh al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M) dengan, “Jalb al-mashalih wa daf’u al-mafasid” (Terwujudnya kemaslahatan dan tercegahnya kerusakan). Hanya saja, kerahmatan bagi seluruh alam ini bukan ‘illat syara’, tetapi hikmah. Karena ayat ini terkait dengan pengangkatan Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul, maka konteks ayat ini sebenarnya terkait dengan syariat Islam secara utuh, yang meliputi akidah dan hukum syara’. Dengan kata lain, Islam sebagai rahmat[an] li al-‘alamin ini bisa diwujudkan, jika akidah dan hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dalam sebuah negara. Rahmat[an] li al-‘alamin ini juga merupakan hasil dari penerapan Islam secara kaffah (Lihat, an-Nabhani, Muqaddimatu ad-Dustur, Juz I/58-59).
Adapun manifestasi dari rahmat[an] li al-‘alamin itu seringkali dirumuskan oleh ulama’ Ushul Fiqh, sebut saja al-Syathibi (w. 790 H), dalam empat bentuk kemaslahatan berikut:
1- Kemaslahatan vital (al-Mashlahah ad-Dharuriyyah);
2- Kemaslahatan pelengkap (al-Mashlahah at-Takmiliyyah);
3- Kemaslahatan yang dibutuhkan (al-Mashlahah al-Hajiyyah);
4- Kemaslahatan kesempurnaan (al-Mashlahah at-Tahsiniyyah)
(Lihat, al-Hafidz as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah, Juz II/7).
1- Kemaslahatan vital (al-Mashlahah ad-Dharuriyyah)
Yang dimaksud dengan kemaslatan vital ini kemaslahatan yang harus ada, jika tidak kemaslahatan dunia dan agama tidak akan terwujud (Lihat, al-Hafidz as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah, Juz II/7). Kemaslahatan vital yang dihasilkan dari penerapan syariat Islam, seperti:
1- Terjaganya agama (hifdh ad-din): Murtad dilarang dalam Islam. Bagi orang yang murtad diminta bertaubat, dan diberi waktu 3 hari. Setelah 3 hari tetap tidak mau kembali pada Islam, maka dikenai sanksi riddah (murtad), yaitu dibunuh. Dengan cara seperti itu, Islam akan terjaga. Nabi saw. bersabda:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
“Siapa saja yang murtad dari agamanya, maka bunuhlah.” (HR. Malik dari Ibn ‘Umar).
Bukan hanya orang yang murtad dikenai sanksi, tetapi orang yang menghina Islam, mengaku sebagai Nabi, atau mengemban dan menyebarkan paham yang bertentangan dengan Islam.
2- Terjaganya akal (hifdh al-‘aql): Minuman keras, narkoba, dan sejenisnya diharamkan. Bagi orang yang meminum atau mengkonsumsinya, maka dikenakan sanksi Syarib al-khamr (peminum khamer), yaitu dicambuk sebanyak 80 kali. Dengan cara seperti itu, akal setiap warga negara Khilafah akan terjaga, bersih dan sehat.
3- Terjaganya jiwa (hifdh an-nafs): Membunuh, melukai atau mencederai anggota badan orang yang darahnya haram (ma’shum ad-dam) hukumnya haram. Bagi yang melakukannya, maka dikenai sanksi, bisa dijatuhi qishash, atau diyat. Jika keluarga korban pembunuhan tidak menerima permohonan maaf pelaku, maka dia harus dibunuh. Tetapi, jika dimaafkan, maka dia diwajibkan membayar diyat. Begitu juga, ketika melukai atau mencederai anggota tubuh orang lain, maka dikenai diyat. Dengan cara seperti itu, maka jiwa tiap rakyat negara Khilafah terjaga, dan mahal harganya.
4- Terjaganya keturunan (hifdh an-nasl): Menikah, sebagai satu-satunya metode untuk melanjutkan keturunan, jelas wajib. Sebaliknya, zina dinyatakan sebagai metode yang salah dalam memenuhi kebutuhan biologis.
وَلاَ تَقْرَبُوْا الزِّنَا إِنَّهُ كاَنَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً
“Janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan keji, dan cara (metode) yang buruk..” (Q.s. al-Isra’ []: 32)
Karena itu, orang yang berzina dikenai sanksi. Bagi yang berzina, dengan status Muhshan (sudah menikah), dikenai sanksi rajam hingga mati. Sedangkan bagi yang berzina, dengan status Ghair Muhshan (belum menikah), dikenai sanksi jild 100 kali. Dengan cara seperti itu, maka keturunan umat manusia bisa terjaga.
5- Terjaganya kehormatan (hifdh al-karamah): Menuduh orang berzina diharamkan. Pelakunya pun dikenai sanksi qadzaf, yaitu dicambuk 80 kali, dan tidak diterima kesaksiannya. Dengan begitu, kehormatan orang yang baik akan terjaga.
6- Terjaganya harta (hifdh al-mal): Mencuri, merampok, ghashab dan korupsi diharamkan. Pelakunya pun dikenai sanksi yang tegas. Bagi orang yang mencuri, dengan nishab tertentu, dikenai sanksi potong tangan. Bagi perampok, bisa sampai dibunuh dengan disalib. Bagi orang ghashab dan korupsi, bisa dikenai ta’zir. Dengan cara seperti ini, maka harta akan terjaga.
7- Terjaganya negara (hifdh ad-daulah): Mentaati Khalifah yang menerapkan hukum Islam hukumnya wajib, memisahkan diri dari kekuasaannya, membangkang dan melakukan perlawanan pada negara haram. Pelakunya dinyatakan sebagia Bughat, yang dikenai sanksi diperangi hingga menyerah.
Inilah 7 bentuk kemaslahatan vital yang akan diraih oleh umat manusia, baik Muslim maupun non-Muslim, ketika syariat Islam diterapkan secara kaffah. Tujuh kemaslahatan vital ini sekaligus merupakan manifestasi dari rahmat[an] li al-‘alamin.
2- Kemaslahatan pelengkap (al-Mashlahah at-Takmiliyyah)
Islam bukan saja mewujudkan kemaslahatan vital bagi umat manusia, tetapi juga kemaslahatan pelengkap, yang dengannya kemaslahatan vital bisa diwujudkan dengan sempurna. Sebagai contoh, perintah menikah, dan larangan berzina. Perintah dan larangan ini tidak akan bisa diwujudkan, jika hukum-hukum syara’ lain, yang menjadi pelengkap perintah dan larangan tersebut tidak diterapkan.
Terkait dengan perintah menikah, maka Islam menetapkan sejumlah hukum pelengkap, sehingga perintah menikah tersebut bisa dilaksankan dengan mudah dan benar:
1- Islam memerintahkan pernikahan dini, khususnya bagi yang sudah mampu berkeluarga.
2- Bagi yang sudah sanggup berkeluarga, tetapi secara materi belum mencukupi, Islam memerintahkannya menikah, meski hanya dengan mahar berupa cincin besi. Bahkan, bisa membayar mahar dengan mengajarkan al-Qur’an kepada isterinya.
3- Bagi yang sudah sanggup berkeluarga, tetapi secara materi betul-betul tidak punya, maka negara bisa membantunya.
Sedangkan terkait dengan larangan berzina, Islam juga menetapkan sejumlah hukum pelengkap, sehingga larangan tersebut bisa dihindari dengan sempurna:
1- Baik pria maupun wanita, sama-sama diwajibkan menutup aurat di hadapan lawan jenisnya.
2- Wanita tidak boleh berpakaian yang menarik perhatian lawan jenisnya (tabarruj).
3- Mereka, masing-masing, juga diwajibkan menundukkan pandangannya terhadap lawan jenisnya.
4- Mereka, masing-masing, juga tidak boleh memandang lawan jenisnya dengan pandangan syahwat.
5- Mereka tidak boleh berkhalwat dengan lawan jenisnya, tanpa disertai mahram.
6- Mereka juga tidak boleh bercampur baur (ikhtilath), baik dalam kehidupan khusus maupun umum, kecuali yang dibenarkan oleh syara’.
7- Islam juga mengharamkan produk-produk yang bisa mendorong perzinaan, seperti film, gambar dan bacaan porno.
8- Kehidupan pria dan wanita juga wajib dipisahkan secara penuh.
9- Islam juga mengharamkan pria maupun wanita dieksploitasi seksualitasnya untuk menarik perhatian lawan jenisnya, seperti menjadi pramugari, dan sebagainya.
10- Islam melarang pria dan wanita bepergian selama sehari semalam, kecuali disertai mahram.
Semuanya ini membuktikan, bahwa kemaslahatan vital itu tidak bisa diwujudkan dengan sempurna, tanpa adanya hukum lain yang merupakan pelengkap. Sebagai contoh, perintah menikah sangat sulit diwujudkan, ketika mahar bagi kaum perempuan sangat mahal. Begitu juga, perzinaan sulit diberantas, jika rangsangan seks sangat marak di dalam kehidupan masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, jika sanksi rajam diberlakukan, tetap tidak akan menyelesaikan masalah perzinaan. Karena Islam tidak diterapkan dengan sempurna.
Beberapa ketentuan hukum Islam yang menjadi pelengkap, baik bagi perintah menikah maupun larangan berzina di atas bisa disebut sebagai bentuk kemaslahatan pelengkap (al-mashlahah at-takmiliyyah). Di sana, kita bisa menyaksikan betapa adilnya Islam, ketika sanksi zina diberlakukan di saat seluruh pintu perzinaah ditutup rapat, dan pintu pernikahan dibuka lebar-lebar.
3– Kemaslahatan yang Dibutuhkan (al-Mashlahah al-Hajiyah)
Manusia, sebagai makhluk, dengan segala keterbatasan, terkadang berada dalam situasi dan kondisi yang tidak normal. Dalam kondisi normal, hukum yang berlaku pun normal. Tetapi, dalam situasi dan kondisi yang tidak normal, Islam telah menetapkan hukum-hukum tertentu sebagai bentuk keringanan (rukhashah).
Sebagai contoh, bagi orang yang tidak bepergian, dan kondisinya normal, diperintahkan shalat Dhuhur dan Ashar sebanyak 4 rakaat. Tetapi, ketika bepergian, dalam kondisi yang tidak normal, dia boleh memendekkan shalatnya menjadi 2 rakaat, termasuk menggabungkannya dalam satu waktu, bisa di awal maupun di akhir. Hal yang sama berlaku bagi orang yang sakit, boleh shalat sambil duduk atau terbaring, sesuatu yang tidak boleh dalam kondisi normal.
Begitu juga orang yang berpuasa, ketika tidak bepergian, tidak boleh membatalkan puasanya. Tetapi, ketika bepergian, dia boleh membatalkan puasanya, kemudian wajib menggantinya di luar bulan suci Ramadhan. Bagi orang yang hamil, atau menyusui juga demikian, diberikan keringanan untuk tidak berpuasa, jika mengkhawatirkan diri dan bayinya. Dia pun boleh membayar fidyah sejumlah hari yang ditinggalkan.
Kemaslahatan yang dibutuhkan (al-Mashlahah al-Hajiyah) ini benar-benar dibutuhkan oleh manusia dalam situasi dan kondisi yang tidak normal. Jika tidak ada kemaslahatan seperti ini pasti akan menyulitkan, dan sangat mungkin hukum syara’ akan ditinggalkan.
4- Kemaslahatan Kesempurnaan (al-Mashlahah at-Tahsiniyyah)
Kemaslahatan ini semakin membuktikan kesempurnaan dan keindahan ajaran Islam. Islam, misalnya, memerintahkan khitan, baik bagi kaum prian maupun wanita. Dengannya, kebersihan kelamin masing-masing bisa dijaga, karena tempat bersemainya kotoran bekas kencing telah dihilangkan. Dengan begitu, mereka terhindar dari penyakit kelamin. Selain itu, disyariatkannya khitan ini juga untuk menyempurnakan perintah pernikahan yang bertujuan untuk melanjutkan keturunan.
Mandi, mandi junub, berwudhu, mencuci tangan, mulut, gigi dan mulut juga diperintahkan oleh Islam. Dengannya, tubuh kaum Muslim terjaga kebersihannya, sehingga terhindar dari penyakit kulit, jerawat, bisul, kutu dan mulut. Islam memerintahkan bersuci dengan air suci mensucikan, bukan sekedar suci tetapi tidak mensucikan, serta melarang bersuci dengan air najis, termasuk air yang terkena sinar matahari langsung. Dengan cara seperti itu, kesehatan kulit dan fisik kita akan terjaga.
Bahkan, kesehatan lingkungan juga diperhatian oleh Islam. Islam, misalnya, melarang kencing di lubang. Islam juga melarang buang air di air yang menggenang, tidak mengalir. Islam juga melarang merusak pepohonan, dan ekosistem. Semuanya ini terkait dengan pelestarian lingkungan hidup.
Seluruh bentuk kemaslahatan, baik kemaslahan vital, pelengkap, yang dibutuhkan maupun kemaslahatan kesempurnaan, ini merupakan manifestasi dari Islam sebagai rahmat[an] li al-‘alamin. Semuaya ini, sekali lagi, hanya bisa terwujud, dengan menerapkan Islam secara kaffah, baik dari aspek akidah maupun hukum syara’-nya di dalam naungan Negara Khilafah. Tanpanya, slogan rahmat[an] li al-‘alamin hanyalah isapan jempol semata.
Sebagai rakmat bagi alam, Islam bukan hanya rahmat bagi kaum Muslim, tetapi juga non-Muslim. Berikut ini adalah surat George II kepada Khalifah kaum Muslim:
Dari George II, Raja Inggeris, Swedia dan Norwegia,
Kepada Khalifah – penguasa kaum Muslimin –
di Kekhilafahan Andalusia,
Yang Mulia, Hisyam III,
Yang Mulia..
Setelah salam hormat dan takdzim, kami beritahukan kepada yang Mulia, bahwa kami telah mendengar tentang kemajuan yang luar biasa, dimana berbagai sekolah sains dan industri bisa menikmatinya di negeri yang Mulia, yang metropolit itu.
Kami mengharapkan anak-anak kami bisa menimba keagungan yang ideal ini agar kelak menjadi cikal bakal kebaikan untuk mewarisi peninggalan yang Mulia guna menebar cahaya ilmu di negeri kami, yang masih diliputi kebodohan dari berbagai penjuru.
Kami telah memutuskan puteri saudara kandung kami, Dubant, untuk memimpin delegasi dari puteri-puteri pemuka Inggeris agar bisa memetik kemuliaan … agar kelak beliau bisa ditempatkan bersama teman-teman puterinya dalam naungan kebesaran yang Mulia.
Puteri kecil kami, juga telah dibekali dengan hadiah kehormatan untuk menghormati kedudukan yang Mulia nan agung..
Hamba mengharapkan kemuliaan yang Mulia dengan berkenan menerimanya, dengan penuh hormat dan penuh cinta yang tulus.
Tertanda,
Pelayan yang Mulia nan taat,
George II
Begitulah, Islam sebagai rahmat[an] li al-‘alamin benar-benar nyata, dirasakan dan dinikmati bukan hanya oleh orang Islam, tetapi juga non-Muslim. Bahkan, juga bukan hanya dirasakan dan dinikmati oleh manusia, tetapi hewan dan lingkungan hidup pun merasakannya.[]