Akhirnya Presiden Joko Widodo bersama Wapres Jusuf Kalla pada Ahad (26/10) mengumumkan susunan kabinetnya. Kabinet yang terdiri dari 34 menteri itu dinamakan “Kabinet Kerja”. Esoknya, Senin (27/10), kabinet tersebut dilantik, dilanjutkan dengan sidang kabinet pertama yang langsung dipimpin Presiden Jokowi. Presiden mengawali sidang dengan meminta seluruh menteri untuk langsung bekerja. “Kita harapkan para menteri bisa langsung kerja dan tancap gas” (Republika, 28/10).
Selama lima tahun ke depan Kabinet Kerja menghadapi tantangan besar. Pasalnya, kondisi negeri ini terpuruk di berbagai lini. Karena itu cukup berat mewujudkan janji-janji Jokowi-JK—setidaknya ada 60 janji—yang pernah mereka sampaikan sebelumnya selama masa kampanye Pilpres.
Sebagian besar janji itu akan diwujudkan selama lima tahun. Beberapa janji akan diwujudkan segera sejak keduanya terpilih dan dilantik. Membangun e-government, e-budgeting, e-procurement, e-catalog dan e-audit, misalnya, dijanjikan terwujud kurang dari dua minggu (http://news.detik.com).
Namun, masyarakat tampaknya harus siap kecewa jika janji-janji itu tak terwujud. Pasalnya, pada awal pembentukan kabinet saja, beberapa janji tidak terpenuhi. Jokowi, misalnya, pernah berjanji tidak akan bagi-bagi kursi menteri ke partai pendukungnya (http://m.merdeka.com); juga tidak akan berada di bawah bayang-bayang Megawati (http://www.solopos.com, 22/7). Faktanya, dari 34 menteri dalam Kabinet Kerja, 14 menteri berasal dari orang-orang berlatar belakang parpol (PDIP 4 menteri, PKB 4 menteri, Nasdem 3 menteri, Hanura 2 menteri dan PPP 1 menteri). Alokasi menteri untuk parpol pendukung sebenarnya selalu terjadi. Dalam sistem demokrasi, itu adalah wajar, bahkan merupakan keniscayaan. Karena itu sejak awal janji koalisi tanpa syarat dianggap tak mungkin atau sekadar pencitraan.
Dalam sistem demokrasi, penguasa juga tidak mungkin lepas dari pengaruh parpol. Pasalnya, sejak awal parpollah yang menentukan mereka menjadi calon penguasa. Suara, kepentingan dan pengaruh parpol tentu tidak bisa diabaikan. Ketua umum adalah pihak yang sangat menentukan dalam sebuah parpol. Itu artinya, dalam sistem demokrasi, penguasa pasti banyak dipengaruhi oleh parpol, khususnya ketua umumnya. Apalagi jika penguasa itu bukan termasuk orang kunci di dalam parpol pengusungnya. Karena itu janji untuk lepas dari pengaruh parpol atau ketum parpol sulit bahkan mustahil terwujud.
Faktanya, Presiden Jokowi dan Wapres JK meminta pertimbangan para ketua umum partai politik, termasuk Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dalam menyusun kabinetnya. JK mengatakan, masukan dari pimpinan partai politik penting. “Karena di ujungnya nanti kalau ada apa-apa, yang dukung, yang bela itu parpol juga, maka konsul dengan pimpinan parpol penting itu, apalagi parpol usulkan calon bagian koalisi partai itu,” kata Kalla dalam wawancaranya dengan Najwa Shihab pada acara Mata Najwa yang disiarkan Metro TV, Selasa (22/10) malam (Kompas.com, 23/10).
Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan Bambang Wuryanto mengatakan, empat nama kader PDI Perjuangan yang ditunjuk sebagai menteri di Kabinet Jokowi semuanya berasal dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. “Kalau PDI Perjuangan, itu keluar dari Ibu Ketum,” kata Bambang (Inilah.com, 28/10).
Jokowi pun pernah berjanji membentuk kabinet ramping (slim cabinet). Bahkan ketika Tim Transisi dibentuk, santer diberitakan kabinet nanti akan dirampingkan maksimal hanya 30 menteri. Alasannya, kementerian yang ada terlalu gemuk. Negara dengan jumlah penduduk lebih banyak dan skala ekonomi lebih besar saja jumlah menterinya sedikit (AS 15 menteri dan Tiongkok 25 menteri). Kenyataannya, Jokowi-JK mengambil jatah maksimal yang dibolehkan oleh pasal 15 UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara, yaitu 34 kementerian.
Kabinet Kerja justru tampak lebih gemuk. Ada tambahan kementerian koordinator baru, yaitu Kementerian Koordinator Kemaritiman, dan satu kementerian, yaitu Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Agar bisa ditambah, kementerian yang ada dipecah dan digabungkan. Kementerian Kehutanan digabung dengan Kementerian Lingkungan Hidup menjadi Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Ditjen Dikti dipisahkan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, lalu digabungkan ke Kementerian Ristek menjadi Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi. Ditjen Tata Ruang dipisahkan dari Kementerian PU dan digabung dengan BPPN menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Kementerian Perumahan Rakyat digabungkan ke Kementerian PU menjadi Kementerian PU dan Perumahan Rakyat. Urusan Transmigrasi dipisahkan dari Kementerian Tenaga Kerja dan digabungkan ke Kementerian PDT menjadi Kementerian PDT dan Transmigrasi. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dikurangi bidang ekonomi kreatif menjadi Kementerian Pariwisata. Adapun untuk urusan ekonomi kreatif akan dibentuk badan sendiri.
Selain itu ada tiga lembaga yang akan dibentuk Presiden Jokowi, yaitu kepala staf kepresidenan dengan beberapa direkturnya yang—menurut Andi Widjojanto, mantan Deputi Tim Transisi Jokowi—akan dibentuk pada Februari 2015 (Inilah.com, 27/10). Selain itu, menurut Menteri PPN/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago, juga akan dibentuk dua lembaga ekonomi, yaitu badan ekonomi kreatif dan badan promosi ekspor nasional (Liputan6.com, 28/10). Padahal selama ini sudah ada puluhan badan dan lembaga yang oleh banyak pihak dianggap jadi salah satu biang pemborosan anggaran dan sering tumpang-tindih. Tentu Kabinet Kerja menjadi lebih gemuk, apalagi dengan adanya pembentukan badan baru.
Konsekuensinya, Presiden Jokowi dan Wapres JK akan dihadapkan pada masalah baru yang muncul dari lahirnya delapan kementerian baru. Lima di antaranya hasil penggabungan sejumlah kementerian itu. Pengamat kebijakan publik Universitas Airlangga Surabaya, Gitadi Tegas Supramudyo, meramalkan bahwa masalah akan muncul karena tidak mudah menggabungkan urusan di dua kementerian terpisah ke kementerian yang baru. Menurut dia, “Memindahkan kewenangan ini rumit, namun harus diselesaikan pada awal pemerintahan. Kalau tidak, tumpang-tindih urusan antar-kementerian seperti yang terjadi selama ini kembali terulang.”
Menurut Ketua Tim Pengkaji Arsitektur Kementerian Lembaga Administrasi Negara Anwar Sanusi, “Ini persoalan serius yang harus diselesaikan pada awal pemerintahan Jokowi-JK. Jika tidak, Pemerintah tidak bisa maksimal dalam menjalankan tugasnya.” (Kompas, 28/10).
Yang jelas, dengan lahirnya kementerian baru serta adanya pemisahan dan penggabungan kementerian itu, sebagian kabinet tidak bisa langsung kerja dan tancap gas seperti yang dijanjikan oleh Presiden. Dalam sistem yang ada, kementerian baru itu belum memiliki anggaran, lantas dari mana bisa jalan? Apalagi agar bisa jalan normal, untuk delapan kementerian baru itu harus terlebih dulu dilakukan restrukturisasi, re-manajemen, re-budgetting, reorientasi dan reformulasi kerja. Dari pengalaman yang ada selama ini, semua itu perlu waktu bahkan hingga setahun atau lebih.
Selain itu Kabinet Kerja diisi oleh banyak menteri pebisnis, baik berlatar belakang pengusaha atau direktur/komisaris perusahaan. Setidaknya sembilan menteri seperti itu. Mungkin hal itu tidak aneh karena Presiden dan Wapres sendiri juga berlatar belakang pengusaha. Apalagi banyak diungkap bahwa di belakang keduanya juga banyak pengusaha, taipan dan pemilik modal. Tentu tidak berlebihan jika ada kekhawatiran bahwa “kabinet pengusaha” seperti itu nantinya akan lebih pro bisnis dan pragmatis; kepentingan penguasa dan pemilik modal akan lebih banyak diutamakan daripada kepentingan rakyat.
Apalagi Kabinet Kerja nanti tetap tidak bisa lepas dari karakter neo-liberal karena dua sebab. Pertama: kerangka sistem yang dibentuk oleh berbagai UU yang ada adalah kerangka neo-liberal. Kedua: rekam jejak Presiden dan Wapres serta sebagian besar menteri—terutama menteri ekonomi dan menteri teknis—diwarnai corak neo-liberal. Salah satu ciri neo-liberal adalah doktrin bahwa peran negara harus seminimal mungkin dalam perekonomian dan pelayanan publik, sementara peran swasta harus sebesar-besarnya.
Peringatan
Dalam hal ini semua pihak perlu mengingat pesan Rasulullah saw., bahwa kepemimpinan dan jabatan itu adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban, sebagaimana sabdanya:
«وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا»
Sesungguhnya jabatan itu adalah amanah. Sesungguhnya jabatan itu pada Hari Kiamat akan menjadi kerugian dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil jabatan itu dengan benar dan menunaikan kewajiban di dalamnya (HR Muslim, Ibn Khuzaimah dan al-Hakim).
Dalam konteks ini, baik pejabat dan pihak yang mengangkat dia tentu akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT, apakah amanah itu ditunaikan atau tidak. Amanah kekuasaan atas pemimpin dan penguasa bukan hanya datang dari rakyat, namun juga dari Allah. Amanah kekuasaan dari Allah itu harus digunakan untuk memelihara kemaslahatan rakyat. Amanah kekuasaan itu juga harus digunakan untuk memutuskan segala perkara menurut wahyu yang telah Allah turunkan, yakni syariah Islam. Rakyat yang mengangkat penguasa juga harus menjaga amanah dengan terus mengontrol penguasanya. Tujuannya adalah agar penguasa senantiasa berjalan di atas kebenaran dan mengurusi rakyat menurut petunjuk yang diturunkan oleh Allah SWT dan dibawa oleh Rasul saw.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar Al-Islam:
Wacana kenaikan harga bahar bakar minyak (BBM) pada 1 November memicu keresahan di sejumlah daerah. Kekhawatiran terlihat dari pedagang yang mulai menaikkan harga bahan pokok sampai penimbunan bahan bakar. (Republika, 28/10).
- Belum dinaikkan saja sudah berdampak negatif. Saat benar-benar dinaikkan, pasti dampak negatifnya brkali-kali lipat. Akibat kenaikan harga BBM, rakyat buntung, sementara asing dan kapitalis untung.
- Wacana dan kebijakan tidak peduli rakyat seperti itu akan terus ada selama doktrin yang dipegang Pemerintah adalah neo-liberal dan ideologinya adalah kapitalisme demokrasi.