Ibu negara Afganistan yang baru, mendukung larangan kontroversial pemakaian niqab yang kontroversial di Perancis, dengn membandingkan penutup jilbab penuh itu seperti “kaca mata kuda ” saat dia mempersiapkan kampanyekan untuk lebih menghormati kaum wanita di negaranya yang konservatif itu.
Rula Gani membuat terkejut para pengamat Afghanistan pada awal tahun ini ketika dia muncul bersama suaminya selama masa kampanye presiden di negara itu, suatu contoh yang langka dari seorang istri politisi.
Sekarang, wanita keturunan Lebanon-Amerika yang beragama Kristen itu mulai mengukir peran bagi dirinya sebagai seorang ibu negara di negara yang sangat berakar pada Islam itu.
Dalam sebuah wawancara di Istana Kepresidenan, Gani, yang bisa berbicara dalam lima bahasa, mengenang saat dia menjadi mahasiswa di universitas bergengsi Sciences Po di Paris, pada akhir tahun 1960-an.
Dengan mengenakan syal Hermes di rambutnya, dia teringat perkataan dengan bahasa Perancis yang lancar bahwa “semua wanita muda di Sciences Po memiliki jilbab yang akan mereka pakai saat keluar dari sekolah.”
“Ketika masalah-masalah mulai muncul di sekitar kerudung dan jilbab di Perancis, saya sedikit terkejut, orang tampaknya tidak memiliki daya ingat yang panjang.”
Mengenakan jilbab penuh di depan umum adalah hal terlarang oleh hukum Perancis pada tahun 2011, dan memicu perdebatan sengit mengenai nilai kebebasan beragama yang berlawanan dengan kohesi sosial.
Gani mengatakan dia mendukung larangan tersebut.
“Mengenai hukum Perancis terhadap niqab dan burqa yang mencegah kaum wanita untuk dapat bergerak bebas dan melihat, karena niqab sedikit seperti kaca mata kuda, saya setuju sepenuhnya dengan pemerintah Perancis,” kata Gani.
Ini adalah pandangan yang blak-blakan dari seorang wanita dengan opini yang kuat yang telah mengambil peran yang jauh lebih menonjol daripada pendahulunya, Zeenat Karzai, yang tidak pernah terlihat selama pemerintahan suaminya selama 13 tahun, Hamid Karzai.
Karzai berkuasa setelah koalisi pimpinan AS menggulingkan pemerintah garis keras Taliban yang melarang kaum wanita meninggalkan rumah tanpa disertai wali laki-laki.
Gani mengakui bahwa dia masih berusaha untuk menentukan perannya, tetapi berharap bahwa pada akhir masa jabatan lima tahun suaminya, “kaum laki-laki di Afghanistan akan lebih cenderung mengakui apapun peran yang diambil oleh para istri mereka”.
“Dengan satu kata, lebih menghormati,” katanya.
Suaminya sudah memberikan contoh, dengan memuji pekerjaan istrinya bersama para pengungsi di dalam negeri, kaum wanita dan anak-anak selama pidato pada upacara pelantikannya tanggal 29 September.
Mengingat permusuhan dari para lawan politiknya selama kampanye, para pengamat percaya Gani akan dipaksa atas keseimbangan dalam peran barunya – suatu fakta yang tampaknya sangat dia sadari.
“Saya sepertinya menemukan jalan saya sendiri,” katanya. “Mendengarkan dan mencoba memahami apa yang terjadi di Afghanistan.”
Berpendidikan tinggi, dan mendapat gelar dari universitas terkemuka di Perancis, di Lebanon – di mana dia bertemu dengan calon suaminya – dan di Amerika Serikat, dimana Gani menghabiskan tiga tahun di Kabul bersama mertuanya selama tahun 1970 sementara suaminya bekerja sebagai dosen.
Mereka pergi ke Amerika Serikat, di mana dia mendapat gelar PhD di Universitas Columbia, dan hanya bisa menyaksikan ketika negara mereka diserang oleh Uni Soviet.
Gani mengatakan dia mengambil banyak keuntungan dari latar belakangnya yang beragam, meskipun diserang oleh para rival politiknya selama masa kampanyenya karena dia adalah seorang Kristen.
“Ada dua cara untuk menghadapi hal ini – cara pertama adalah berpegang pada satu identitas saja dan cara kedua adalah untuk merangkul mereka orang, mencoba untuk mengambil manfaat dari semua itu,” katanya.
Gani kembali ke Kabul pada tahun 2002 ketika suaminya, yang kemudian menjadi ekonom yang sukses di Bank Dunia, kembali ke negaranya sebagai menteri keuangan negara itu.
Meskipun tenggelam dalam urusan negaranya, dia adalah Francophile (seorang pengagum negara Perancis) yang mengaku mengingat dengan jelas saat ketika dia ada di Paris selama masa pemberontakan mahasiswa tahun 1968.
“Saya merasa sangat segar melihat orang-orang memutuskan bahwa ada hal-hal tertentu yang mereka inginkan dan beberapa hal yang mereka tidak mereka inginkan. Ini menunjukkan kebebasan berpikir,” katanya.
Selama masa ketika berada di universitas, bersama-sama dengan masa dua tahun bekerja sebagai wartawan Agence France-Presse di Beirut, melatihnya untuk bisa “berpikir dengan cara yang sangat logis” katanya.
Di AFP, perannya adalah memantau radio dan pers Arab setiap pagi atas berita-berita yang terkait dengan gejolak politik dari awal tahun 1970-an.
“Itu adalah pelatihan yang hebat untuk seorang wartawan, karena mengajarkan Anda untuk menjadi cepat tanggap tetapi pada saat yang sama Anda harus akurat,” katanya.
Kini berusia 66 tahun, Gani memuji karya para aktivis pemberani dan para politisi wanita untuk membuat suatu landasan baru bagi kaum wanita di Afghanistan meskipun terdapat diskriminasi dan tindak kekerasan. (alarabiya.net, 1/11/2014)