Rezim yang “Merakyat” Tapi Menyusahkan Rakyat

[Al-Islam edisi 730, 21 Muharram 1436 H-14 November 2014 M]

Pemerintahan Jokowi–JK tampaknya sudah berkeputusan bulat untuk segera menaikkan harga BBM. Presiden Jokowi kembali menegaskan hal itu dalam pertemuan APEC di Tiongkok pada 10 November lalu (Beritasatu.com, 10/11). Aba-aba menaikkan harga BBM bersubsidi pun sudah disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). “Pokoknya bulan ini,” kata JK di kantornya, Senin pekan lalu (Inilah.com, 11/11).

Ditolak Pendukung Sendiri

Koordinator Forum Relawan Pemenangan Jokowi-JK Indro Tjahyono menyatakan siap turun ke jalan jika BBM jadi dinaikkan (Beritasatu.com, 10/11). Menurut dia, kenaikan BBM merupakan agenda para mafia minyak. Teman sejawat Jokowi, Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo, yang juga Ketua DPC PDI-P Kota Solo, secara tegas siap menggelar aksi demonstrasi jika rencana tersebut jadi diwujudkan akhir November ini. Sebagian kepala daerah juga telah mengungkapkan penolakan atau ketidaksetujuan atas rencana kenaikan harga BBM itu.

Anggota DPR dari Fraksi PDI-P Effendi Simbolon juga meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak terburu-buru menaikkan harga BBM (Beritasatu.com, 10.11).

Tidak Konsisten

Kebijakan menaikkan harga BBM juga menunjukkan bahwa Jokowi dan PDI-P tidak konsisten. Tentu masyarakat masih ingat, PDI-P dan Jokowi keras menolak rencana kenaikan harga BBM pada 2012 lalu. Jokowi yang saat itu menjadi walikota Solo menolak rencana kenaikan harga BBM. Menurut dia, semua rakyat pasti menolak rencana kenaikan BBM (27/3/2012). Jokowi bahkan meminta agar menanyai satu-persatu masyarakat. Menurut dia, rakyat pasti menolak rencana itu. Namun, mengapa sekarang Jokowi ngotot ingin naikkan harga BBM, padahal dia sudah tahu rakyat pasti menolak?

Kala itu Sekjen DPP PDI-P Tjahjo Kumolo menginstruksikan ke seluruh struktur partainya se-Indonesia untuk menolak rencana pencabutan subsidi dan kenaikan harga BBM (Republika, 17/3/2012). PDI-P bahkan menginstruksikan kadernya untuk turun ke jalan. PDI-P juga membuat buku putih. Di dalamnya disebutkan bahwa banyak cara lain selain menaikkan harga BBM. Jika kini PDI-P mendesak bahkan menginstruksikan petugas partainya, Jokowi, untuk segera menaikkan harga BBM, sudah lupakah dengan semua itu?

Alasan Ngawur

Untuk membenarkan rencana kenaikan harga BBM, berbagai alasan diungkapkan Pemerintah. Sebagiannya terkesan ngaco dan ngawur. Pertama: dikatakan bahwa anggaran yang digelontorkan selama ini salah arah. Menurut Menteri ESDM Sudirman Said, subsidi BBM harus dialihkan untuk hal-hal produktif. “Selama lima tahun ini subsidi BBM sudah mencapai Rp 700 triliun lebih. Jadi, kalau kita lihat ke belakang, ternyata kita telah mengeluarkan uang hanya untuk dibakar saja,” katanya (InilahREVIEW, Edisi 12/IV). Bahkan ada ungkapan, “Masak Rp 400 triliun hanya dibakar jadi asap.” Ini sungguh ungkapan ngawur.

BBM itu seperti makanan untuk tubuh agar bisa melakukan berbagai aktivitas produktif. Jika ditotal, ribuan triliun habis untuk makan rakyat negeri ini. Tentu tidak ada yang berani mengatakan, “Ternyata selama ini ribuan triliun hanya dimakan dan jadi kotoran yang dibuang.” Faktanya, BBM digunakan untuk berbagai kegiatan ekonomi. Hasil dari “pembakaran” BBM itu sangat besar dan “menghidupkan” masyarakat.

Kedua: dinyatakan bahwa subsidi BBM itu konsumtif. Alasan ini tak kalah ngaco-nya. Harus diingat, kehidupan sehari-hari rakyat negeri ini banyak bergantung pada BBM. Ada jutaan nelayan yang mencari ikan; jutaan petani yang menggerakkan traktor mereka; jutaan mahasiswa, pelajar dan pegawai/pekerja pulang-pergi menggunakan kendaraan; jutaan pengusaha kecil dan menengah menggunakan BBM untuk menggerakkan usaha mereka. Semua itu tentu kegiatan produktif. Semuanya bisa berjalan karena adanya BBM yang dibakar itu. Jadi, ngawur yang bilang semua itu hanya konsumtif.

Ketiga: Dinyatakan bahwa subsidi BBM salah sasaran karena lebih banyak dinikmati orang kaya, artinya BBM subsidi lebih banyak diminum mobil mewah. Faktanya tidak begitu. Hasil Sensus Ekonomi Nasional (SUSENAS 2010) menunjukkan bahwa pengguna BBM 65%-nya adalah rakyat kelas bawah dan miskin, 27% menengah, 6% menengah ke atas, dan hanya 2% orang kaya.

Data Korp Lalu Lintas Kepolisian RI mencatat, jumlah kendaraan yang masih beroperasi di seluruh Indonesia pada 2013 mencapai 104,211 juta unit. Mayoritasnya, 86,253 juta unit adalah sepeda motor. Lalu mobil penumpang 10,54 juta unit; mobil barang (truk, pikap, dan lainnya) 5,156 juta unit; bus 1,962 juta unit dan kendaraan khusus 297.656 unit. Dari mobil penumpang yang 10,54 juta unit, hanya sebagian kecil yang berupa mobil mewah, kira-kira 5%-nya. Itu artinya, BBM subsidi yang dinikmati oleh orang kaya dan pemilik mobil mewah sangatlah kecil, apalagi tak sedikit mobil mewah yang memakai BBM non-subsidi.

Menyusahkan Rakyat

Alasan utama Pemerintah menaikkan harga BBM adalah untuk mengurangi beban subsidi yang dikatakan sudah sangat membebani APBN. Dalam APBN-P 2014 memang disebutkan subsidi ditetapkan sebesar Rp 403 triliun (subsidi BBM Rp 246,5 triliun, subsidi listrik Rp 103,8 triliun dan subsidi non-energi Rp 52,7 triliun). Subsidi ini dianggap beban sehingga harus dihilangkan. Caranya yang paling gampang tentu dengan mencabut subsidi tersebut.

Padahal ada beban yang jauh lebih besar dari sekadar subsidi, yakni beban utang. Akibat utang yang terus membesar (total utang Pemerintah per 30 September 2014 adalah Rp 2.601,72 triliun), APBN tiap tahun tersedot untuk bayar cicilan pokok dan bunga. Sampai September 2014, pembayaran bunga mencapai Rp 103,352 triliun dan cicilan pokok Rp 170,062 triliun, total Rp 273,412 triliun. Dalam pagu APBN 2014, cicilan pokok Rp 247,696 triliun dan cicilan bunga Rp 121,386 triliun, totalnya Rp 368,981 triliun. Dalam APBN-P 2014, cicilan bunga Rp 135,453 triliun. Sejak 2010 total cicilan pokok dan bunga utang selalu di atas 230 triliun pertahun. Mengapa ini tidak dianggap beban? Mengapa bukan beban utang dan bunganya ini yang dikurangi atau dihilangkan? Apalagi selama ini utang sering mengalami kebocoran. Belum lagi bunganya yang jelas-jelas haram karena merupakan riba, sementara riba termasuk dosa besar.

Jika Pemerintah kreatif dan mau kerja keras, sebenarnya potensi pemasukan APBN itu sangat besar. Sekadar contoh, produksi batu bara di negeri ini pada tahun 2013 mencapai 421 juta ton. Jika biaya produksi rata-rata perton sebesar US$ 20 dan harga pasar tahun 2014 US$ 74 perton maka potensi pendapatannya mencapai Rp 250 triliun. Contoh lain, tembaga. Menurut Data BPS, tahun 2012 produksi tembaga 2.385.121 metrik ton. Jika mengacu pada rata-rata biaya produksi dan harga jual tembaga PT Freeport tahun 2012 sebesar US$ 1,24 dan US$3.6 per-pound, maka potensi pemasukan dari tembaga Rp 124 triliun. Dari dua komoditas ini saja potensi pendapatannya sudah mencapai Rp 374 triliun. Sayangnya, pos pemasukan tambang non-migas pada RAPBN 2015 hanya Rp 30 triliun. Padahal komoditas tambang di negeri ini amat melimpah. Selain minyak dan gas, ada emas, nikel dll yang bernilai ribuan triliun rupiah. Jika Pemerintah mau kerja keras mengelola sendiri SDA tambang dan migas itu (tidak diserahkan kepada swasta/asing), maka ribuan triliun bisa didapat Pemerintah tiap tahun.

Begitu pula jika Pemerintah mau kerja keras mengalihkan gas Tangguh yang selama ini dijual ke Fujian Tiongkok, Korsel, Jepang dan AS dengan harga murah; lalu dialihkan untuk PLN meski dengan harga sama, tentu bisa dihemat puluhan triliun bahkan bisa mencapai Rp 100 triliun.

Sayangnya, Pemerintah maunya cari cara yang gampang, enggan kerja keras dan yang pasti ingin selalu menyenangkan pihak asing meski harus dengan menyusahkan rakyat sendiri.

Wahai Kaum Muslim:

Kebijakan menaikkan harga BBM tidak lain untuk menyukseskan liberalisasi sektor hilir (sektor niaga dan distribusi) setelah liberalisasi sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi) sempurna dilakukan. Liberalisasi migas hakikatnya adalah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada swasta (asing) seraya mengurangi peran negara. Kebijakan ini jelas akan sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat. Padahal rakyatlah pemilik sejati sumberdaya alam itu. Yang lebih menyakitkan, liberalisasi dilakukan sekadar untuk memenuhi tuntutan pihak asing (IMF, Bank Dunia, ADB, USAID, dll). Hanya demi menyenangkan pihak asing, Pemerintah tega mengabaikan keinginan mayoritas rakyatnya. Jika demikian, kebijakan menaikkan harga BBM itu pantas disebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap rakyat!

Andai saja Pemerintah bersikap amanah dan mau kerja keras, niscaya kisruh BBM tidak akan terjadi. Jika Pemerintah yang katanya mendapat mandat rakyat mau mendengarkan rakyat, niscaya juga tidak akan berpikir menaikkan harga BBM yang akan menyusahkan rakyat.

Hendaknya siapapun yang mengurusi rakyat, apalagi mereka Muslim, takut konsekuensi buruk kebijakan itu, baik di dunia maupun di akhirat. Apalagi Rasul saw. telah berdoa:

«اللَّهُمَّ مَن ْوَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِن أَمْرِأُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِم ْفَارْفُقْ بِهِ»

Ya Allah, siapa saja yang mengatur suatu urusan umatku, lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia; dan siapa saja yang mengatur suatu urusan umatku, lalu dia berlaku baik kepada mereka, maka perlakukan dia dengan baik (HR Ahmad dan Muslim).

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

 

Komentar al-Islam:

Presiden Jokowi mengemukakan kepada Obama untuk terus mencegah tindakan ekstremisme dan radikalisme di Tanah Air (Beritasatu.com, 10/11).

  1. Pada awal pemerintahannya, seolah penting bagi Presiden Jokowi untuk menegaskan tekadnya kepada para mister (tuan) barat dan Taoke (juragan) timur untuk membasmi ekstremisme dan radikalisme.
  2. Padahal dalam kamus AS dan Tiongkok, radikalisme dan ekstremisme (termasuk terorisme) itu adalah Islam dan kaum Muslim yang ingin menjalankan ajaran dan hukum-hukum agama mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*