Pemerintah memberikan insentif bagi badan hukum pendidikan atau BHP yang menginvestasikan penghasilan yang diperolehnya pada pengembangan dunia pendidikan. Langkah ini diberikan agar BHP bisa mandiri dan mengembangkan diri.
Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Riza Noor Karim mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, Kamis (22/1).
Menurut Riza, tidak semua tambahan penghasilan bisa dikenai Pajak Penghasilan (PPh). Sumbangan dari pihak ketiga yang langsung digunakan untuk investasi di bidang pendidikan, misalnya, tidak termasuk dalam tagihan PPh.
”Misalnya, Universitas Indonesia (UI) mendapatkan sumbangan untuk menambah bangunan kampus. Maka, tambahan penghasilan (sumbangan) itu tak akan dikenai PPh,” ujarnya.
Akan tetapi, semua BHP akan dikenai PPh jika mendapatkan penghasilan lain, termasuk laba usaha. Namun, sebagai insentif, laba tersebut tidak langsung dikenai PPh pada tahun pajak berikutnya, melainkan ditunggu sampai empat tahun kemudian.
Sebagai ilustrasi, jika sebuah BHP mencatatkan laba operasional sebesar Rp 10 miliar pada tahun 2008, Ditjen Pajak tidak akan langsung menagih PPh-nya pada tahun 2009. Ditjen Pajak hanya akan menanyakan keberadaan laba Rp 10 miliar itu pada akhir tahun keempat atau tahun 2012.
Jika pada akhir tahun 2012 laba tahun 2008 itu masih utuh berupa uang Rp 10 miliar, Ditjen Pajak akan mengenakan PPh Wajib Pajak (WP) Badan sebesar 25 persen atas laba tersebut. Akan tetapi, jika dana Rp 10 miliar itu sudah habis digunakan untuk investasi, misalnya menambah bangunan kelas atau menambah buku perpustakaan, Ditjen Pajak tidak akan menagih PPh. Artinya, BHP tersebut terbebas dari tagihan PPh.
”Namun, jika pada akhir tahun 2012 dananya tersisa Rp 5 miliar, kami tetap akan menagih PPh- nya senilai 25 persen kali Rp 5 miliar itu. Dana yang diperoleh dihimpun untuk penduduk lain yang memang membutuhkan karena itu adalah prinsip dasar dari pajak,” ujar Riza.
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh disebutkan bahwa tarif PPh bagi WP Badan, seperti BHP, diturunkan dari 30 persen menjadi 28 persen pada tahun 2009. Tarif tersebut akan diturunkan lagi menjadi 25 persen mulai tahun 2010 dan seterusnya.
Pajak Bumi dan Bangunan
Adapun terkait dengan penagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Riza menegaskan, prinsip penagihan pada PBB adalah pemanfaatan, bukan kepemilikan. Atas dasar itu, BHP yang dimiliki pemerintah pun harus membayar PBB.
Sebagai contoh, jika Universitas Gadjah Mada (UGM) menggunakan tanah negara yang tercatat di Departemen Keuangan, manajemen UGM tetap harus membayar PBB setiap tahunnya. Hal itu karena UGM adalah pihak pengguna, sedangkan pemilik tanahnya adalah negara, dalam hal ini dicatat oleh Departemen Keuangan.
”Jadi sama saja dengan rumah kontrakan. Pihak yang membayar PBB itu adalah orang yang menyewa rumah kontrakan itu, bukan pemilik rumah kontrakan tersebut,” tegas Riza.
Secara terpisah, Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Jalal mengatakan, pihaknya berharap adanya keringanan pajak sehingga BHP tidak disamakan dengan badan hukum lainnya.
Dia mengatakan, sebetulnya telah terdapat keringanan pajak yang diupayakan dengan berbagai cara dalam BHP tersebut. Salah satu keringanan itu berupa tidak dikenakan pajak bagi sisa hasil kegiatan berupa uang yang belum dimanfaatkan selama empat tahun. ”Padahal, seharusnya dalam aturan perpajakan itu kena pajak,” ujarnya.
Artikel Terkait: