Dari sekian banyak alasan yang dinyatakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM, alasan liberalisasi yang disampaikan Purnomo Yusgiantoro ketika menjadi Menteri ESDM-lah yang lebih dapat dipegang.
“Jadi bukan tuduhan Hizbut Tahrir, inilah yang dikatakan sendiri oleh Menteri ESDM waktu itu,” ungkap Juru Bicara HTI Muhammad Ismail Yusanto dalam Halqah Islam dan Peradaban (HIP): Menaikkan Harga BBM, Rezim ‘Merakyat’ Mencekik Rakyat? Kamis (20/11) di Gedung Joang ’45, Mentang, Jakarta Pusat.
“Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi Pemerintah. Sebab, kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk,” ujarnya mengutip Purnomo yang dimuat Kompas 14 Mei 2003.
Ismail juga menyatakan beberapa waktu lalu dirinya berbincang dengan salah satu karyawan dari perusahaan migas asing dan mempertanyakan mengapa meskipun sepi pembeli tetap membangun pom bensin terus.
“Dia dengan polosnya menjawab, kami menantikan saat subsidi BBM dicabut, jadi conform, antara yang dikatakan Purnomo dengan temuan lapangan,” beber Ismail.
Selain mengutip Purnomo, Ismail juga mengutip pernyataan Direktur Jenderal Migas Departemen ESDM saat itu, Iin Arifin Takhyan.
“Saat ini, ada 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU), diantaranya British Petrolium (Inggris), Shell (Belanda), Petro-China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika),” ujarnya mengutip Iin yang dikutip Trust, Nopember 2004.
Ini merupakan kebijakan yang ironi. “Kita membeli minyak di halaman rumah kita, kepada perusahaan asing, dengan harga yang ditentukan asing untuk kepentingan asing, inilah yang disebut dengan liberalisasi sektor hilir, menyempurnakan sektor hulu yang sudah diliberalkan sebelumnya,” pungkasnya.
Selain Ismail, dalam acara yang dihadiri sekitar 150 peserta hadir pula pembicara lainnya, antara lain, Ichsanuddin Noorsy (Pengamat Kebijakan Publik); Marwan Batubara (Direktur Eksekutif IRESS); dan Kardaya Warnika (Ketua Komisi VII DPR RI).[] Joko Prasetyo