Subsidi Salah Sasaran ?

spbu-bbm-non-subsidiOleh: Dr. Arim Nasim *

Salah satu alasan Jokowi dan para intelektual ekonom lainnya yang mendukung kenaikan BBM karena Subsidi BBM dianggap tidak tepat sasaran. Salah satu data yang dijadikan rujukan adalah data statistik yang dikeluarkan oleh Korp Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia tahun 2013 Yaitu di seluruh Indonesia tahun 2013 ada 104, 211 juta unit kendaraan terdiri dari 86,253 juta unit (82,7 %) , mobil penumpang 10,54 juta unit (10, 1 %) , mobil barang (truk, pick up dan lainnya) 5,156 juta unit (5 %) dan mobil bus 1,962 juta (1,9 %) dan sisanya kendaraan khusus (otomotif.kompas.com,14/04/2014). Tapi data ini juga dijadikan dasar oleh baik yang kontra terhadap kenaikan harga BBM,lalu pendapat mana yang benar ? Tulisan ini akan menjelaskan tentang data tersebut supaya kita bisa memahami letak perbedaannya. Walaupun penulis bukan   bukan ahli statistik tapi berdasarkan pengalaman membimbing ratusan skripsi mahasiswa, minimal ada 3 hal yang harus diperhatikan ketika memahami data statistik, yaitu : Validitas Data, Tafsir data ,Hubungannya dengan data yang lain. 

Dari sisi validitas data tersebut mungkin cukup bisa dipercaya karena dikeluarkan oleh lembaga yang memang mengurusi jumlah kendaraan. Karena itu dari sisi validitas data tersebut tidak diragukan oleh kedua belah pihak baik yang pro maupun kontra kenaikan BBM tapi perbedaan muncul dari tafsir atas data tersebut misalnya orang yang menyatakan subsidi salah sasaran selalu mengatakan : betul memang sepeda motor lebih banyak daripada mobil tapi konsumsi sepeda motor bisa 1 berbanding 10 artinya orang yang punya kendaraan mobil mengkonsumsi 10 liter dan yang punya sepeda motor 1 liter. Kesimpulan itu benar kalau frekuensi penggunaan mobil dan motor sama, tapi akan salah kalau frekuensi penggunaan berbeda. Misalnya tetangga saya seorang dosen punya kendaraan mobil jarak dari rumah ke kampus Cuma 5 KM waktunya banyak dihabiskan di kantor maka dia sehari hanya menghabiskan maksimal 3 liter, sementara tetangga saya yang lain tukang ojek dengan menggunakan sepeda motor karena mobilitasnya tinggi maka sehari bisa menghabiskan 3 liter.

Maka kalau hanya berdasarkan data tersebut masing-masing bisa dipercaya dan logis, karena itu kita butuh data lain bukan hanya jumlah kendaraan tapi penggunaan BBM dari kendaraan itu dan berdasarkan data BPH Migas tahun 2013 pengguna BBM bersubsidi adalah 1 % transportasi Laut, 2 % untuk keperluan Rumah Tangga, 5 % untuk Perikanan dan sisanya 92 % untuk transportasi darat. Sedangkan 92 % transportasi darat penggunanya   terdiri dari : 40 % sepeda motor , 53 % mobil pribadi, 4 % mobil barang dan 3 % BUS (kata dan data.co.id, 6/06/14). Mungkin dianggap tidak tepat sasaran karena 53 % pengguna BBM Subsidi itu   mobil pribadi, padahal faktanya tidak semua mobil pribadi itu mobil mewah karena banyak mobil pribadi itu adalah mobil-mobil yang sudah tua yang digunakan oleh orang menengah ke bawah untuk mencari nafkah baik sebagai angkutan orang maupun sebagai alat distribusi produk hasil industri kecil dan menengah. Sementara Data Susenas tahun 2010 mungkin bisa menjadi pembanding dimana pengguna BBM terdiri dari kelompok menengah bawah dan miskin 65 %, menengah 27 %, menengah ke atas 6 % dan kaya 2 %.

Kemudian data lain ketiga, dalam hubungannya dengan kenaikan BBM tentu kita juga perlu mempertimbangkan dampak kenaikan BBM atau dalam bahasa ekonomi Multiplier effect karena BBM pengaruhnya terhadap rakyat bukan hanya pengaruh langsung tapi juga tidak langsung. Mungkin benar (??) dari sisi konsumsi rakyat miskin lebih sedikit mengkonsumsi BBM dibandingkan dengan orang kaya tapi ketika harga BBM dinaikkan yang akan terkena dampaknya bukan hanya orang kaya tapi juga orang miskin. Berdasarkan data dan Fakta lain menunjukkan ketika BBM naik maka jumlah orang miskin bertambah, misalnya berdasarkan data BPS tahun 2013 setelah terjadi kenaikan BBM Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2013 mencapai 28,55 juta orang (11,47 persen), bertambah 0,48 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2013 yang sebanyak 28,07 juta orang (11,37 persen). Hal Serupa terjadi ketika harga BBM naik pada tahun 2005 mengakibatkan kenaikan penduduk miskin dari 35,10 juta menjadi 39,10 juta orang pada tahun 2006. Berdasarkan data tersebut menunjukkan ketika BBM dinaikkan maka masyarakat yang paling menderita adalah masyarakat miskin. Jadi ketika dikatakan subsidi tidak tepat sasaran padahal ketika BBM dinaikkan yang paling merasakan dampaknya adalah masyarakat miskin, apakah “subsidi itu salah sasaran ? “

Wallahu’alam.

(Sumber : HU Pikiran Rakyat; Sabtu ,22 November 2014)

  • Dosen Pasca Sarjana – Universitas Pendidikan Indonesia
  • Direktur Pusat Kajian dan Pengembangan Ekonomi Islam – FPEB Universitas Pendidikan Indonesia.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*