Meski sudah dinaikkan dua ribu rupiah untuk Premium dan Solar, Menkeu Bambang Brojonegoro mengatakan bahwa bensin premium dan solar masih disubsidi. Untuk premium, pemerintah masih memberikan subsidi Rp 1.500 per liter. “Kenaikan Rp 2.000 sisakan subsidi Rp Rp 1.500. Kalau solar lebih mahal dari itu,” kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro (Detikfinance, 17/11).
Tentang besarnya subsidi sendiri tidak transparan. Asumsi makro APBN-P 2014 mengatakan subsidi BBM ditetapkan sebesar Rp 246,5 triliun untuk kuota BBM bersubsidi 46 juta kilo liter. Itu artinya subsidi rata-rata per liter BBM secara umum adalah Rp 246,5 triliun dibagi 46 juta kilo liter kuota volume BBM bersubsidi yaitu Rp 5.358 per liter dibulatkan menjadi Rp 5.360 per liter, meski jika dihitung masing-masing bisa saja berbeda. Jika harga eceran yang dijadikan acuan dalam APBN 2014 itu adalah Premium Rp 6.500 per liter, maka artinya harga keekonomian Premium adalah harga subsidi ditamba besarnya subsidi, yaitu Rp 6.500 + Rp 5.360 sama dengan Rp 11.860. Jelas ini tidak masuk akal, sebab bagaimana mungkin Premium RON 88 harganya jauh lebih mahal dari Pertamax RON 92 atau bahkan lebih mahal dari Pertamax Plus RON 95?
Dasar besaran subsidi itu adalah harga keekonomian BBM. Namun banyak pihak bertanya-tanya berapa sebenarnya harga keekonomian riil, yakni berapa sebenarnya biaya pokok produksi premium dan solar? Sayangnya selama ini tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Pemerintah atau Pertamina tidak transparan berapa besaran harga pokok produksi itu. Padahal, harga keekonomian itu dijadikan dasar klaim besarnya subsidi.
Tidak transparannya pemerintah itu bisa diindikasikan dari banyak hal. Misalnya, jika Menkeu mengklaim subsidi premium masih 1.500 per liter, lain lagi dengan Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya. Menurutnya, setelah kenaikan harga pemerintah tetap masih memberikan subsidi BBM. Besaran subsidi yang masih diberikan sekitar Rp 700 per liter untuk premium dan Rp 1.700-Rp 1.800 per liter untuk solar (katadata.co.id, 18/11). Menurutnya, denga harga MoPS US$ 95 dan kurs 12.100 maka harga keekonomian Premium 9.200 dan solar 9.700 per liter.
Pertanyaannya, lantas dari pernyataan Menkeu dan Direktur Niaga Pertamina itu, mana yang benar? Ini hanya mengindikasikan tidak adanya transparansi dalam hal harga keekonomian apalagi harga pokok produksi BBM.
Biasanya kenaikan harga BBM terjadi ketika harga minyak dunia naik. Namun sekarang, harga BBM dinaikkan justru ketika harga minyak dunia turun sejak Agustus lalu. Bahkan rata-rata ICP (Indonesia Crude Price) pada Oktober turun menjadi US$ 83,72 per barel. Harga ini turun US$ 11,25 per barel dari bulan sebelumnya sebesar US$ 94,97 per barel. Sementara UU APBN memberi alasan untuk kenaikan harga BBM jika ICP selama tiga bulan diatas US$ 105 dan kurs rupiah melemah drastis.
Turunnya harga minyak dunia yang cukup dalam menjadi US$ 80 per barel, tentu membuat harga keekonomian atau harga tanpa subsidi premium juga turun berada di bawah Rp 10 ribu per liter. Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Ali Mundakir menghitung dengan harga minyak dunia US$ 80 per barel maka harga keekonomian premium yang dijual di Indonesia seharusnya Rp 8.600 per liter (CNN Indonesia, 17/11). Dengan dinaikkannya harga premium menjadi Rp 8.500 per liter, maka itu sudah mendekati harga keekonomian. Dengan kata lain menurut Ali, Pemerintah sudah hampir menghapus subsidi BBM.
Harga pasar BBM bisa dibandingkan dengan harga BBM di AS. Harga di AS tanpa subsidi, diatas harga pasar internasional dan dikenai pajak rendah. Pada 17 November, seperti dilaporkan olehg situs GlobalPetrolPrice.com harga bensin di AS US$ 0,83 atau Rp 9.960 per liter (kurs 1 US$ = Rp 12.000). Namun harus diketahui di level harga itu untuk BBM dengan kualitas jauh lebih baik dari BBM di Indonesia. Menurut Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) KPBB Ahmad Safrudin (migasreview.com, 12/8), BBM di AS itu berkualitas kategori 4, yaitu untuk kendaraan berstandar Euro 5 berdasarkan World Wide Fuels Charter (WWFC), kualitas BBM yang ditetapkan oleh Asosiasi Industri Mobil dan Industri Minyak sedunia. Sementara, di Indonesia, BBM-nya tidak memenuhi syarat kualitas kategori 1. Menurutnya, Premium di Indonesia kualitasnya tidak masuk kategori 1 standard WWFC sementara Pertamax dan Pertamax Plus serta Pertamax Dex hanya masuk kategori 2.
Harga Bensin dan Diesel di Amerika itu terdiri dari empat komponen penyusun harga. Di Amerika komponen penyusun harga Bensin adalah minyak mentah 64%, refining (pengilangan) 14%, distribusi dan pemasaran 10% dan pajak 13%. Sementara komponen penyusun harga diesel (solar) terdiri dari minyak mentah 58%, pengilangan 12%, distribusi dan pemasaran 17% dan pajak 13 % (http://www.eia.gov/petroleum/gasdiesel/Gasoline and Diesel Fuel Update).
Sementara di Indonesia, komponen penyusun harga BBM baik Bensin, Solar dan Minyak Tanah (Kerosen) tidak ada informasi yang jelas apa saja komponen penyusunnya dan berapa porsi masing-masing komponen itu pada harga akhir BBM.
Formula resmi dirumuskan di dalam Peraturan Presiden No. 71/2005 yang ditegaskan lagi dalam Peraturan Menteri Keuangan No.65/PMK.02/2012. Dalam kedua peraturan ini dirumuskan bahwa besarnya subsidi adalah selisih antara harga jual eceran BBM dikurangi 15% pajak (PPN 10% + PBBKB 5%) dengan harga patokan BBM. Harga patokan BBM ditetapkan sebesar harga MOPS ditambah biaya Alpha. Biaya Alpha untuk tahun 2014 ditetapkan dalam Keputusan Menteri ESDM Republik Indonesia No. 2187 K/ 12/MEM/2014 yang diantaranya mengatur biaya Alpha, yaitu biaya distribusi dan margin untuk Pertamina, bagi masing-masing produk BBM bersubsidi. Biaya Alpha (distribusi dan margin) untuk Bensin Premium dan Biopremium (3,32% x MOPS) + 484/liter; untuk Solar dan Bio Solar (2,49% x MOPS) + 263/liter; dan untuk minyak tanah (2,17% x MOPS) + 521/liter. Sementara kompnen pajak sebesar 15 % terdiri dari PPN 10 % dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) sebesar 5%. Sementara harga patokan (yakni harga keekonomian) adalah harga MOPS (Mean of Platts Singapore) ditambah Alpha (biaya distribusi dan margin keuntungan). MOPS sendiri adalah penilaian produk untuk trading minyak di kawasan Asia yang dibuat oleh Platts -anak perusahaan McGraw Hill-. Sementara MOPS sendiri mencerminkan harga produk BBM di bursa Singapura yang termasuk salah satu pusat perdagangan produk BBM terutama di kawasan Asia Pasifik.
MOPS untuk tahun 2014 belum diketahui. Namun di dalam APBN 2014 sudah ditetapkan MOPS yang dijadikan asumsi patokan, yaitu US$ 99,6/barel. Dengan kurs 1 US$ sama dengan Rp 12.000 dan satu barel sama dengan 159 liter maka harga MOPS per liter adalah [(99,6 x 12.000) / 159] sama dengan Rp 7.517 per liter. Sementara biaya Alpha Bensin adalah [(3,32 % x 7.517) + 484] sama dengan Rp 733,56 dibulatkan menjadi Rp 734 per liter. Maka dari situ, harga patokan (harga keekonomian Bensin Premium) menurut formula Perpres No. 71/2005 dan Permenkeu No.65/PMK.02/2012 serta Keputusan Menteri ESDM Republik Indonesia No. 2187 K/ 12/MEM/2014 adalah MOPS ditambah Alpha yaitu Rp 7.517 ditambah Rp 734 sama dengan Rp 8.251 per liter atau dibulatkan menjadi Rp 8.250 per liter.
Harga jual eceran Bensin yang dijadikan acuan di APBN-P 2014 yaitu Rp 6.500, adalah hasil dari harga subsidi ditambah 15% pajak. Jadi harga eceran BBM Premium subsidi setelah Rp 6.500 dikurangi pajak 15% yaitu Rp 5.525 per liter. Dari sini, perhitungan menurut formula Perpes No. 71/2005, Permenkeu No.65/PMK.02/2012 dan Kepmen ESDM No. 2187 K/ 12/MEM/2014, subsidi untuk Bensin Premium adalah harga keekonomian dikurangi harga eceran bersubsidi yaitu Rp 8.250 dikurangi Rp 5.525 sama dengan Rp 2.725 per liter. Jika saat ini harga BBM dinaikkan dua ribu per liter, maka subsidinya tinggal Rp 725 per liter.
Sementara di sisi lain jika menggunakan perhitungan menurut asumsi makro APBN-P 2014 maka didapatkan, subsidi per liter BBM adalah Rp 5.360 per liter. Dengan harga jual Rp 6.500 yang merupakan harga subsidi ditambah pajak 15%, maka harga eceran bersubsidi Bensin Premium seperti telah dihitung diatas adalah Rp 5.525 per liter. Dari sini, harga keekonomian menurut asumsi APBN-P 2014 adalah harga jual bersubsidi itu ditambah subsidi yaitu Rp 5.525 ditambah Rp 5.360 yaitu Rp 10.885 atau dibulatkan menjadi Rp 10.900 per liter. Harga keekonomian Bensin Premium menurut asumsi APBN-P 2014 ini jika dibandingkan dengan hasil perhitungan menurut formula Perpres, Permenkeu dan Kepmen ESDM diatas ada selisih Rp 2.650 per liter. Selisih ini jika dikalikan dengan kuota volume BBM bersubsidi 46 juta kilo liter maka didapat angka Rp 121,9 triliun. Angka ini bisa dianggap sebagai selisih subsidi antara perhitungan menurut asumsi APBN-P 2014 dengan subsidi yang dibutuhkan menurut formula Perpres, Permenkeu dan Kepmen ESDM itu. Itu artinya jika menurut perhitungan formula sesuai Perpres, Permenkeu dan Kepmen ESDM itu maka subsidi yang diperlukan adalah Rp 246,5 triliun dikurangi Rp 121,9 triliun yaitu Rp 124,6 triliun.
Selisih ini bukan angka yang kecil. Angka itu hampir sama dengan penghematan untuk satu tahun hasil dari menaikkan harga BBM rata-rata sebesar Rp 2 ribu per liter yang telah diambil oleh Pemerintahan Jokowi-JK. Selisih angka subsidi yang besar ini sangat mungkin mencerminkan angka subsidi di dalam APBN yang tidak mencerminkan biaya sesungguhnya, atau besarnya subsidi yang tidak berdasarkan biaya pokok produksi yang sesungguhnya.
Hitung-hitungan ini bisa saja keliru. Namun setidaknya bisa memberikan angka perkiraan yang mendekati menurut formula resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Selain itu juga mengindikasikan bahwa hitung-hitungan yang selama ini terus dijejalkan ke publik yang didasarkan pada asumsi APBN sebenarnya tidak bisa dipercayai sepenuhnya. Angka riil yang sesungguhnya bisa saja berbeda lagi. Semua itu yang pasti menunjukkan tidak transparannya Pemerintah dan juga Pertamina sebagai operator PSO penyediaan BBM bersubsidi dalam hal harga keekonomian dan berikutnya tentang besarnya subsidi.
Dari deskripsi itu tampak jelas pemerintah tidak transparan dan tidak fair dalam hal harga pokok produksi dan harga keekonomian BBM. Maka apa saja yang berkaitan dengan harga keekonomian dan harga pokok produksi itu termasuk besaran subsidi di dalamnya juga ada unsur tidak transparan dan tidak fair. Disinilah kebijakan menaikkan harga BBM juga bisa dinilai sebagai kebijakan yang berangkat dari awal yang tidak transparan dan tidak fair. [Yahya Abdurrahman