Pembentukan Tentara Di Era ‘Abbasiyyah Awal

jihadOleh: Hafidz Abdurrahman

Transisi kekuasaan khilafah, dari Bani Umayyah ke Bani ‘Abbasiyyah juga membawa perubahan kebijakan. Karena transisi ini tidak mulus, tetapi melalui peperangan, yang dikenal dengan Ma’rakatuz Zab, maka ketika khilafah ini jatuh ke tangan Bani ‘Abbasiyyah, restrukturisasi tentara pun dilakukan. Mengingat, tentara merupakan penopang kekuasaan yang vital dan strategis.

Di era Khilafah Bani Umayyah, tentara bisa dikatakan terdiri dari unsur Arab, mulai dari para pemimpinnya hingga prajurit biasa. Namun, setelah khilafah ini pindah ke tangan Bani ‘Abbasiyyah, dominasi unsur Arab pun diubah. Jasa penduduk Khurasan, Persia, terhadap Khilafah ‘Abbasiyyah, karena kontribusi dan pertahanan mereka terhadap negara, maka Khilafah ‘Abbasiyyah memasukkan mereka dalam unsur ketentaraan. Selain unsur Arab, juga unsur Persia. Kedua unsur ini kemudian dimasukkan dalam Diwan al-Jaisy Khilafah ‘Abbasiyyah.

Dengan adanya dua unsur ini, maka dominasi kepemimpinan unsur Arab di dalam militer tidak ada lagi. Sebaliknya, mulai dari atas hingga ke bawah, mengalami pembagian, yaitu Arab dan Persia. Di satu sisi, kebijakan ini diambil oleh pendiri Khilafah ‘Abbasiyyah untuk menghindari dominasi satu unsur, yaitu Arab, yang memang sebelumnya sangat loyal kepada Bani Umayyah. Jika unsur ini dominan, dikhawatirkan akan mengancam kekuasaannya. Dengan kebijakan ini, Khilafah ‘Abbasiyyah memang berhasil meredam ancaman tersebut.

Namun, di sisi lain, dengan masuknya unsur lain, di luar Arab, yaitu Persia, ternyata membawa dampak terhadap keutuhan militer di dalam tubuh Khilafah. Ini terjadi, karena faktor ashabiyyah (etnis dan kesukuan). Kebanyakan mereka yang direkrut dari unsur Persia ini adalah bekas budak, yang dikenal dengan istilah Mawali. Pemimpin besar militer yang sangat terkenal adalah Abu Muslim al-Khurasani, yang membawahi tentara di wilayah Masyriq (Timur) Khurasan. Selain Abu Muslim, ada juga ‘Abdullah bin ‘Ali, yang membawahi tentara di wilayah Maghrib (Barat), yang mayoritas Arab, dari Jazirah dan Syam.

Ujian pertama yang dihadapi Khilafah ‘Abbasiyyah saat itu adalah pembangkangan yang dilakukan oleh ‘Abdullah bin ‘Ali terhadap Khalifah Abu Ja’far al-Manshur. Abu Ja’far al-Manshur akhirnya mengutus Abu Muslim al-Khurasani untuk menumpas pembangkangan ‘Abdullah bin ‘Ali. Pasukan ‘Abdullah bin ‘Ali berhasil ditundukkan. Kemenangan ini menguatkan dominasi unsur Persia, khususnya Khurasan. Kepercayaan kepada mereka pun semakin meningkat.

Namun, semuanya itu tidak menghalangi Khalifah Abu Ja’far al-Mansur untuk menundukkan Abu Muslim al-Khurasani, yang dipandang oleh Khalifah bisa mengancam kekuasaan, jika dibiarkan dominan. Khalifah Abu Ja’far tidak melihat kepentingannya atau kepentingan keluarganya sendiri, tetapi juga kepentingan penduduk Khurasan dan tentu kepentingan negara.

Dia akhirnya melakukan banyak hal, termasuk banyak kesatria Arab yang diangkat menjadi pemimpin militer. Di satu sisi, dia juga mengangkat keluarganya untuk tugas ini. Panglima militer yang paling menonjol adalah Isa bin Musa yang ditugaskan oleh Khalifah Abu Ja’fah untuk memerangi Muhammad bin ‘Abdillah dan saudaranya, Ibrahim bin ‘Abdillah.

Adapun pemimpin militer dari unsur Arab yang paling populer adalah Ma’in bin Zaidah as-Syabani. Panglima yang sangat pemberani. Ma’in bin Zaidah as-Syabani ini awalnya adalah merupakan pendukung Yazid bin ‘Umar bin Hubairah al-Fazari, Amir Irak, di era Khilafah Umayyah. Ketika Yazid ini kalah, Ma’an menghilang sampai akhirnya ditemukan oleh tentara Khalifah, dan diserahkan kepada Khalifah.

Dia berkata kepada Khalifah, “Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, hamba telah datang menghadap Tuan, sementara hati hamba terenyuh. Ketika hamba menyaksikan sikap Tuan yang memandang hina mereka, dan keinginan kuat Tuan untuk mengalahkan mereka, maka belum pernah hamba melihat peperangan dari makhluk seperti itu. Semuanya itu menarik kuat hati hamba, dan membawa hamba untuk menghadap Tuan, sebagaimana yang Tuan lihat dari diri hamba.” Inilah yang membuat sang Khalifah memberikan jaminan keamanan kepada Ma’an.

Dia diberi bekal oleh Khalifah 10,000 dirham, dan diangkat sebagai pemimpin di Yaman untuk beberapa waktu. Dia telah berhasil mengembalikan penduduk Yaman untuk taat dan bersatu kembali ke pangkuan Khilafah. Karena kebaikan dan rekam jejaknya yang luar biasa. [HAR dari Syaikh Muhammad al-Khudhari Bek, ad-Daulah al-‘Abbasiyyah]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*