Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan 3 (tiga) hal. Pertama: kritik terhadap konsep nation-state (negara-bangsa). Kedua:perbedaan negara Khilafah dengan nation-state. Ketiga: keunggulan Khilafah dibandingkan dengan nation-state.
Untuk memperjelas posisi dan konteks hubungan antara nation-state dan Khilafah, akan diuraikan terlebih dulu bagaimana perjalanan sejarah konsep nation-state dan kaitannya dengan Khilafah.
Sejarah Nation-State dan Khilafah
Nation-state (negara-bangsa) adalah negara yang didasarkan pada konsep nasionalisme. Dalam nation-state, rakyat mengidentifikasi diri mereka sebagai sebuah “bangsa” (nation), yaitu suatu komunitas manusia yang menganggap dirinya satu kesatuan karena kesamaan etnis, sejarah, bahasa, budaya, atau faktor pemersatu lainnya. Identitas sebagai “bangsa” inilah yang menjadi dasar adanya hak untuk mendirikan sebuah negara. Ketika negara ini terwujud dalam realitas, ia disebut negara-bangsa atau nation state. Inilah konsep dasar dari nation-state.
Implikasi dari konsep nation-state ini, satu negara yang terdiri dari banyak bangsa (multibangsa) akan dianggap salah. Demikian pula satu bangsa yang bercerai-berai ke dalam banyak negara akan dianggap salah (Adams, 2004: 119 & 126).
Nation-state awalnya tumbuh di Eropa pasca Perjanjian Damai Westphalia (Peace of Westphalia) tahun 1648, sebagai perlawanan terhadap sistem feodal (monarki) di Eropa saat itu. Dalam sistem feodal yang bersifat tradisional dan disakralkan oleh Gereja Katolik ini, satu komunitas tidak didasarkan pada identitas sebagai “bangsa”, tetapi sebagai sebuah dinasti yang dipimpin oleh para pangeran (prince) yang menguasai satu wilayah tertentu yang telah mereka warisi. Misalnya, 300 tahun sebelum Revolusi Prancis (1789), wilayah yang disebut Belgia sekarang ini, secara terus menerus diperintah oleh Duke of Burgundy, Raja Spanyol dan Kaisar Austria (Adams, 2004: 120).
Setelah Revolusi Prancis (1789), juga dua revolusi lainnya di Barat, yaitu Revolusi Amerika (1776) dan “Gloriuous” Revolution di Inggris (1688), konsep nation-state turut menjadi penentu struktur geo-politik Eropa. Bersama-sama dengan ide-ide utama yang dihasilkan pada Abad Pencerahan (abad ke-17 s/d ke-19), seperti demokrasi, liberalisme, dan sekularisme, konsep nation-state akhirnya diekspor melampaui tempat kelahirannya di Eropa, terutama melalui jalan penjajahan. Dunia Islam di bawah kepemimpinan Khilafah Utsmaniyah saat itu sedang dalam kondisi lemah secara internal. Khilafah pun digelari “sick man of Europe”. Ditambah dengan faktor eksternal berupa imperialisme Barat di sebagian wilayahnya, kondisi Khilafah kian memburuk dan akhirnya runtuh pada tahun 1924 pasca kekalahannya dalam Perang Dunia I (1914-1918).
Dalam konteks sejarah Khilafah yang demikian itu, konsep nation-state bukan menjadi obat bagi “sick man of Europe” itu, tetapi justru menjadi racun yang mematikan. Betapa tidak, karena konsep nation-state telah menimbulkan disorientasi jatidiri, juga disintegrasi dan perpecahan kaum Muslim. Gara-gara ide nasionalisme yang terkandung dalam konsep nation-state, umat Islam mengalami disorientasi jatidiri sehingga tersesat dalam mengidentifikasikan dirinya.
Umat Islam dari berbagai bangsanya, seperti Turki dan Arab, yang awalnya mengidentifikasikan diri mereka sebagai “umat Islam” yang dipersatukan dengan akidah Islam, akhirnya mengidentifikasikan diri mereka sebagai “bangsa Turki” dan “bangsa Arab”. Inilah racun yang menjadi cikal-bakal disintegrasi dan perpecahan umat Islam. Selain itu adalah faktor eksternal berupa konspirasi kafir penjajah untuk memaksakan perpecahan umat Islam melalui Perjanjian Sykes-Picot pasca Perang Dunia I (1914-1918).
Kritik atas Nation-State
Nation-state dapat dikritik dengan dua cara. Pertama: dengan menjelaskan kelemahan konsep nation-state itu sendiri, baik secara teori ataupun praktik. Kedua: dengan menjelaskan pertentangannya dengan Islam.
Kelemahan konsep nation-state dapat dilihat dari berbagai segi. Pertama: nasionalisme—sebagai dasar nation-state—adalah ide yang paling lemah secara intelektual. Demikian kritik Ian Adams dalam bukunya, Political Ideology Today (1993). Artinya, nasionalisme lebih didasarkan pada aspek emosi atau sentimen, bukan didasarkan pada aspek intelektual yang mengajak manusia berpikir secara jernih dan rasional.
Karena alasan itulah, nasionalisme memerlukan banyak hal artifisial (rekayasa) berupa simbol-simbol untuk membentuk suatu “identitas nasional”. Misalnya, lagu kebangsaan, bendera nasional, bahasa nasional, lagu-lagu nasional, peringatan-peringatan hari nasional, tim nasional (olah raga dll), rekayasa sejarah perjuangan bangsa, mitos kebangkitan dan kelahiran bangsa, penyusunan sejarah perjuangan bangsa, pengangkatan pahlawan nasional, dan sebagainya (Adams, 2004: 143).
Kedua: pengertian nation (bangsa)—sebagai dasar konsep nation-state—tidak jelas. Konsep bangsa sebenarnya lebih sebagai mitos atau imajinasi, bukan sebagai realitas faktual.Ini dapat dibuktikan kalau kita bertanya, “Apa yang membentuk suatu komunitas menjadi suatu bangsa?” Jawabannya, tidak jelas. Mungkin akan dijawab, kesamaan etnis. Untuk sebagian negara-bangsa seperti Cina, Polandia, atau Mesir, kesamaan etnis mungkin menjadi jawabannya. Namun, untuk kasus AS, yang terdiri dari multienis dan dianggap sebagai negara-bangsa tersukses, jelas jawaban kesamaan etnis tidak memadai. Orang Malaysia dan Indonesia adalah satu etnis, yaitu Melayu, tetapi nyatanya mereka terpecah menjadi dua negara-bangsa. Orang suku Papua, di satu sisi menjadi satu negara (Indonesia) dengan orang Indonesia lainnya yang berbeda etnis, tetapi di sisi lain, dengan suku Aborigin di Australia yang masih satu etnis, terpisah menjadi dua negara berbeda.
Mungkin akan dijawab, kesamaan bahasalah yang mempersatukan. Jawaban ini juga tidak memuaskan. Swiss, misalnya, satu negara-bangsa, tetapi mengakui empat bahasa resmi, yaitu Prancis, Jerman, Italia dan Romawi. India memiliki ratusan bahasa, tetapi menjadi satu negara-bangsa. Di Timur Tengah, bahasanya hanya satu, yaitu bahasa Arab, tetapi mereka justru terpecah-belah menjadi banyak negara. Kemusykilan mendefinisikan “bangsa” inilah yang membuat Ben Anderson menyebut nasionalisme sebagai ide imajiner (khayalan) (Adams, 2004: 144).
Ketiga: nasionalisme adalah ide kosong yang tidak berbicara apa-apa mengenai bagaimana sebuah masyarakat diatur. Artinya, ditinjau dari pengalaman di berbagai waktu dan tempat, nasionalisme ternyata bisa dikawinkan dengan banyak ide seperti liberalisme, konservatisme, berbagai ragam sosialisme, bahkan Marxisme. Yang menjadi penyebab semua perkawinan haram ini, karena substansi ide nasionalisme memang tidak mengatakan apa-apa mengenai bagaimana suatu masyarakat diatur. Kata Ian Adams, “Ide nasionalisme telah gagal menjawab persoalan yang biasanya diharapkan dari sebuah ideologi.” (Adams, 2004: 146).
Kritik di atas adalah kritik secara teori untuk nation-state.
Secara praktik, nation-state bagi umat Islam ibarat racun yang melumpuhkan dan mematikan. Pasalnya, dengan banyaknya nation-state seperti sekarang ini, yaitu sekitar 50-an negara-bangsa di Dunia Islam, berarti umat Islam telah terpecah-belah dan menjadi lemah. Dampaknya, hegemoni Barat di bawah AS dewasa ini terus berlangsung tanpa ada perlawanan berarti dari umat Islam.
Adapun pertentangan nation-state dengan Islam, jelas sekali tampak dalam ikatan pemersatu sebuah komunitas dalam sebuah negara. Dalam nation-state, ikatan pemersatunya adalah ikatan kebangsaan. Dalam Islam, ikatan pemersatunya adalah akidah Islam, bukan kebangsaan. Hal itu karena dalam al-Quran ditegaskan bahwa orang-orang yang beriman adalah bersaudara (QS al-Hujurat [49]: 10). Rasulullah saw. dalam hadis-hadis sahih juga menegaskan bahwa seorang Muslim adalah saudara bagi sesama Muslim (HR Bukhari no. 6551). Beliau juga menegaskan bahwa orang-orang Muslim itu adalah ibarat tubuh yang satu (HR Musim no. 2586).
Sejalan dengan ikatan akidah Islam tersebut, Islam juga menegaskan ketunggalan negara Khilafah. Artinya, umat Islam seluruh dunia, apa pun suku dan bangsanya, hanya boleh memiliki satu negara yang menaungi mereka, yaitu satu negara Khilafah saja, di bawah kepemimpinan satu orang khalifah. Rasulullah saw. telah bersabda, “Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim no. 1853).
Terkait dengan ketunggalan Khilafah ini, Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menjelaskan bahwa para imam mazhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii dan Ahmad) telah sepakat bahwa tak boleh kaum Muslim pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam (Khalifah), baik keduanya sepakat maupun bertentangan. (Abdurrahman Al Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, V/416).
Perbedaan Negara Khilafah dan Nation-State
Terdapat perbedaan tajam antara negara Khilafah dengan nation-state dalam banyak segi. Beberapa perbedaan pokok di antara keduanya disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 1. Perbandingan Nation-State dengan Negara Khilafah
No | Segi yang Dibandingkan | Nation-State | Khilafah |
1 | Dasar Negara | Sekularisme dll Akidah | Islam |
2 | Ikatan | Kebangsaan | Akidah Islam |
3 | Kepentingan Tertinggi | Bangsa | Umat |
4 | Batas Wilayah | Tetap Tidak | Tetap |
5 | Sistem Hukum Hukum | Nasional | Syariah Islam |
6 | Bendera | Bendera Nasional | Bendera Islam (Liwa’ dan Rayah) |
7 | Bahasa | Bahasa Nasional | Bahasa Islam (Bahasa Arab) |
Tabel di atas menunjukkan sejumlah perbedaan tajam negara-bangsa dengan negara Khilafah. Dari segi dasar negara, dasar negara nation-state bisa berupa sekularisme, bisa juga yang lainnya, seperti Sosialisme atau Marxisme. Ini karena nasionalisme adalah ide kosong yang bisa dikawinkan dengan ide apa pun dari sumber manapun, seperti penjelasan sebelumnya. Sebaliknya, dasar negara Khilafah adalah akidah Islam saja.
Dari segi ikatan, juga ada perbedaan. Dalam nation-state, ikatannya adalah ikatan kebangsaan. Dalam Khilafah, ikatannya adalah akidah Islam.
Dari segi kepentingan tertinggi, nation-state mengenal apa yang disebut “kepentingan nasional” yang dirumuskan oleh elit politiknya, baik kepentingan dalam negeri maupun kepentingan luar negeri. Dalam Khilafah, kepentingan tertinggi adalah kepentingan umat (mashalih al-ummah), yang tunduk kepada syariah Islam. Secara garis besar kepentingan umat tercermin dalam dua hal. Pertama: penerapan syariah Islam dalam segala bidang kehidupan (politik dalam negeri). Kedua: penyebaran dakwah Islam ke luar negeri dengan jihad fi sabilillah (politik luar negeri).
Dari segi batas wilayah, nation-state akan memiliki batas teritori yang tetap. Adapun batas wilayah Khilafah tidak tetap, melainkan akan terus meluas seiring dengan politik luar negerinya, yaitu penyebaran dakwah Islam dengan jalan jihad fi sabilillah (M. Husain Abdullah, Mafahim Islamiyyah, II/42-44).
Dari segi sistem hukum, nation-state juga berbeda dengan Khilafah. Dalam nation-state, sistem hukumnya adalah hukum nasional, yang bisa jadi berupa macam-macam sistem hukum yang dicampur-aduk menjadi satu. Kalaupun ada satu sistem hukum, tidak pernah menjadikan hukum Islam (syariah) sebagai sistem hukum tunggal. Di Indonesia, misalkan, berlaku tiga sistem hukum: hukum Barat, hukum adat dan hukum Islam. Dalam Khilafah, sistem hukumnya hanyalah syariah Islam, tidak ada yang lain.
Dari segi bendera dan bahasa, nation-state akan mempunyai bendera dan bahasa nasional masing-masing. Dalam Khilafah, bendera dan bahasa resminya hanya satu, yaitu bendera dan bahasa yang telah ditetapkan syariah dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. Benderanya berupa Bendera Islam yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu Liwa’ dan Rayah. Liwa‘ adalah bendera berwarna putih dengan tulisan hitam yang berbunyi: “La ilaha illalLah Muhammadur RasululLah”. Rayah adalah bendera berwarna hitam dengan tulisan putih yang berbunyi: “La ilaha illalLah Muhammadur Rasulullah”. (Lihat: Abdul Hayyi al-Kattani, At-Taratib al-Idariyah).
Bahasa resmi negara Khilafah juga hanya satu, yaitu bahasa Arab, yang diberlakukan dalam bidang pemerintahan, pendidikan dan urusan negara lainnya, seperti diplomasi dan dakwah ke luar negeri. Namun, ini bukan berarti haram hukumnya menggunakan bahasa lokal antar individu rakyat (Lihat: Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur).
Keunggulan Konsep Khilafah atas Nation-State
Keunggulan konsep Khilafah dapat dirumuskan dengan kata al-quwwah wat tha’ah (kekuatan dan ketaatan). Artinya, Khilafah akan mempunyai kekuatan yang tidak dimiliki oleh sebuah nation-state. Pasalnya, dengan Khilafah, umat Islam di seluruh dunia akan menjadi satu kesatuan yang bersatu. Persatuan ini dengan sendirinya akan menyatukan pula segala sumberdaya yang dimiliki oleh umat Islam, seperti sumberdaya manusia (tentara, ahli, pekerja, dll) dan sumberdaya alam dalam berbagai jenisnya (minyak, gas, emas, dll).
Jelas persatuan ini akan menjadi satu kekuatan dahsyat yang dapat memberikan maslahat yang besar bagi umat Islam. Persatuan tersebut juga akan menjadi satu kekuatan besar untuk melawan hegemoni Kapitalisme global yang kejam dan rakus di bawah kepemimpinan AS saat ini.
Adapun terkait ketaatan, artinya Khilafah jika diperjuangkan dan diamalkan oleh umat Islam, akan menjadi ketaatan kepada Allah SWT. Karena Khilafah itu diwajibkan oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. Khulafaur Rasyidin. Adapun nation-state, sebaliknya, yaitu akan menjadi kemaksiatan kepada Alah SWT. Pasalnya, nation-state tidak lahir dari ajaran dan sejarah Islam, melainkan lahir dari konteks sosio-historis Eropa, yang dipraktikkan oleh kaum kafir penjajah. Karena itu menerapkan nation-state artinya adalah membuang contoh Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin, dan sebaliknya mengikuti gaya hidup kaum kafir penjajah. Na’uzhu bilLah min dzalik. [KH. M. Shiddiq Al-Jawi; (Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI)]