Mesir menutup perbatasan itu lebih dari sebulan yang lalu, sehingga menjebak ribuan warga Palestina di Jalur Gaza yang terkepung
Razan al-Halaqawi terlalu lemah untuk menghabiskan berminggu-minggu menunggu Mesir untuk membuka perlintasan utama Jalur Gaza di Rafah.
Perbatasan itu telah ditutup bagi warga Palestina yang ingin keluar Gaza sejak tanggal 25 Oktober; pada hari-hari terjadinya intervensi Israel, Mesir telah membuka penyeberangan hanya sekali untuk satu arah selama dua hari saja, sehingga memungkinkan warga Palestina di wilayahnya untuk kembali ke rumah mereka di Gaza.
Razan, 11 tahun, meninggal pekan lalu, dan terlantar di sisi Jalur Gaza. Karena menderita leukemia, dia membutuhkan transplantasi sumsum tulang, suatu prosedur yang tidak tersedia di Gaza atau Tepi Barat.
“Tidak ada cara untuk menyeberangi Rafah,” kata ayah Razan, 41 tahun Mohammed Salah, kepada Al Jazeera.
Dengan masih ditutupnya Rafah, Razan menjadi koma dan para dokter berusaha melakukan upaya untuk memindahkannya ke sebuah rumah sakit Israel, suatu proses rumit karena masalah politik dan keamanan. Dalam waktu 20 hari, dokumen yang diperlukan sudah siap, tapi gadis itu sudah terlanjur meninggal dunia.
Lebih dari 10.000 pasien medis dengan kondisi kesehatan yang mengerikan saat ini berada di Jalur Gaza, dan tidak dapat mencari perawatan yang memadai karena penutupan yang terus menerus perbatasan Rafah dan kesulitan untuk melakukan perjalanan melalui pos pemeriksaan Israel Erez, juru bicara kementerian kesehatan Gaza, Ashraf Qidra, mengatakan.
“Nasib para pasien Palestina tergantung pada keputusan Mesir untuk segera membuka pintu perbatasan,” kata Qidra Al Jazeera.
Israel dan Mesir telah memberlakukan blokade terhadap Gaza – yang disebut oleh warga sebagai “penjara terbuka” – sejak tahun 2007, dimana Rafah sering ditutup. Sebagai pintu gerbang Gaza ke dunia luar, Rafah ditutup lagi pada tanggal 25 Oktober oleh otoritas Mesir setelah 33 anggota tentara Mesir tewas di Sinai. Media Mesir menuduh Hamas, yang mengatur lalu lintas Jalur Gaza, bertanggung jawab atas serangan itu, meskipun Kairo belum secara resmi menuduhnya.
“Sudah sebulan hingga sekarang, saya merasa telah dikunci dengan tidak ada jalan keluar,” kata Wafa Abdel Rahman, seorang warga Palestina yang terjebak di Gaza.
Tentara Mesir kemudian melancarkan operasi militer di Sinai, sehingga meratakan rumah-rumah di sana untuk membuat zona penyangga yang lebarnya satu kilometer yang berbatasan dengan Jalur Gaza, sehingga menutup perbatasan Rafah, yang bertujuan untuk menghancurkan terowongan Gaza.
Pekan lalu, puluhan mahasiswa yang terlantar menggelar protes di depan Kementerian Urusan Sipil di Kota Gaza, yang menuntut dibukanya Rafah sehingga mereka dapat ikut kuliah di universitas mereka.
Mohammed Abu Hajl, 19 tahun, mendapat beasiswa untuk belajar kedokteran di Sudan setelah lulus dari SMA tahun lalu. Ini adalah tahun kedua dalam usahanya yang mati-matian untuk melakukan perjalanan untuk memulai studinya. “Kami hanya para mahasiswa … Kami bukan ancaman bagi siapa pun,” kata Abu Hajl Al Jazeera.
Maher Abu Sabha, direktur perlintasan Rafah di Jalur Gaza, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa perbatsan itu dipandang sebagai satu-satunya penyelamat bagi warga Gaza, dan penutupan itu mempersulit pengepungan yang sedang berlangsung. Dia meminta Mesir untuk membukanya dari dua arah, dan mencatat tidak hanya para pasien medis yang merasa putus asa untuk meninggalkan wilayah itu, tapi juga para mahasiswa dan orang-orang yang mempunyai izin tinggal di negara-negara lain.
Wafa Abdel Rahman, yang tinggal di Tepi Barat, berencana untuk tinggal di Gaza selama dua bulan untuk melihat keluarganya dan bekerja sama dengan kantornya di Gaza, tetapi penutupan perbatasan itu mengganggu rencananya, sehingga dia terjebak di Gaza hingga pemberitahuan lebih lanjut.
“Jika hal ini terus berlanjut, kami akan mengalami musim dingin dengan tidak ada kemajuan untuk membangun kembali rumah-rumah yang masih banyak pengungsi, termasuk mereka yang masih berada di sekolah-sekolah UNRWA,” kata Krähenbühl.
Sementara itu, rakyat Gaza berjuang untuk menemukan harapan.
“Perbatasan adalah hak kami sebagai warga Gaza … oleh karena itu, perbatasan harus dibuka sepanjang waktu dengan dua arah,” kata Abu Sabha. (Al Jazeera, 2/12/2014)