Larangan Penetapan Harga, Berlaku Untuk Kepemilikan Umum?

harga bbmKeputusan pemerintah Jokowi untuk menaikan harga BBM, sontak menuai gelombang penolakan masyarakat dari berbagai kalangan. Dua minggu sejak keputusan itu ditetapkan, gelombang penolakan masih terjadi di berbagai daerah. Seperti biasa, kenaikan harga BBM senantiasa diikuti kenaikan harga barang-barang lain. Kenaikannya sangat tidak sebanding dengan kompensasi yang diberikan pemerintah. Di sisi lain, alasan pemerintah sangat tidak logis dan sekedar untuk menutupi alasan sesungguhnya, yakni demi menjaga kepentingan asing. Oleh sebab itu, wajar bila kebijakan ini dinilai sebagai kebijakan yang zhalim, bohong, dan khianat.

Penolakan terhadap sebuah kebijakan yang menyengsarakan rakyat bahkan bertentangan dengan syari’at merupakan suatu kewajiban. Sebab, ia adalah bagian dari aktivitas muhasabatul hukkâm (mengorekasi penguasa). Akan tetapi, sebagaimana kewajiban-kewajiban syar’iy lainnya, aktivitas mengoreksi penguasa tidak boleh dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan syari’at seperti melakukan perusakan terhadap fasilitas umum, bentrok fisik dengan aparat, dan aktivitas-aktivitas fisik lainnya.

Di tengah memuncaknya penolakan masyarakat terhadap kebijakan Jokowi, muncul juga opini—khususnya di dunia maya dan jejaring sosial—bahwa penolakan atas kenaikan harga BBM, atau lebih tepatnya tuntutan kepada Jokowi untuk menurunkan kembali harga BBM justru bertentangan dengan hukum Islam lain, yaitu terkait dengan larangan tas’îr (penetapan harga). Terlepas apakah motivasi penyebaran opini tersebut murni dilatarbelakangi persoalan fiqih atau lebih merupakan dukungan terhadap kebijakan yang ada.

Melalui tulisan singkat ini, penulis berusaha mendudukkan hukum larangan tas’îr tersebut. Secara khusus, apakah larangan tas’ir juga berlaku pada barang yang merupakan kepemilikan umum seperti BBM?

 

Tas’îr dalam Islam

Dalam bahasa arab, tas’îr berasal dari kata sa’ara. Ibnu ‘Ibâd dalam al-Muhîth fi al-lughah, menyatakan bahwa ungkapan sa’aro ahlu sûq (para pedagang dipasar menetapkan harga) artinya as’arû (mereka menetapkan harga). Sementara itu as-si’r artinya harga. Al-Fairuz Abadi dalam …, as-si’r adalah patokan harga (alladzi yaqûmu ‘alauhi tsaman). Dengan demikian, secara bahasa at-tas’îr artinya penetapan harga (taqdîr as-si’r).

Sementara itu, di dalam istilah para fuqaha, at-tas’îr adalah penetapan harga oleh penguasa agar para pedagang di pasar tidak menjual barang-barang mereka kecuali dengan harga yang telah ditetapkan oleh penguasa (al-Imam Zakariya al-Anshariy, Asnal Mathâlib, VIII/50). Lebih luas dari itu, Imam as-Syaukani rahimahullah mendefiniskan at-atas’ir sebagai “penetapan harga oleh penguasa atau wakilanya, atau siapa saja yang memiliki kekuasan dalam mengatur urusan kaum muslimin, bagi para pedagang di pasar, agar mereka tidak menjual barang-barang mereka kecuali dengan harga tertentu, tidak melebihi batas itu atau menguranginya, demi maslahat” (al-Imam asy-Syaukani, Nailul Author, VIII/370). Dengan kata lain, penetapan harga maksimal atau minimal juga merupakan bentuk tas’îr.

Penetapan harga oleh penguasa hukumnya haram menurut pandangan Jumhur fuqha (Jumhur ulama Malikiyah, ar-Rajih/al-Mu’tamad dalam madzhab Syafi’iy, pandangan yang masyhur dikalangan ulama Hanabilah serta riwayat dari kalangan sahabat dan tabi’in). Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Anas RA:

عن أنس -رضي الله عنه- قال: غلا السعر على عهد رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فقالوا: يا رسول الله! سعر لنا. فقال: «إن الله هو المسعر، القابض الباسط الرزاق، وإني لأرجو أن ألقى ربي، وليس أحد منكم يطلبني بمظلمة، في دم ولا مال. (سنن الترمذي 5/ 141 برقم 1235، سنن أبي داود 9/ 311 برقم 2994)

 

“Suatu saat di masa Rasulullah SAW harga merangkak naik. Lalu orang-orang mengatakan, ‘wahai Rasulullah, patoklah harga untuk kami’. Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah-lah yang mematok harga, yang menyempitkan dan melapangkan rizki, dan sungguh aku berharap untuk bertemu Allah dalam kondisi tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku dengan suatu kezaliman, baik dalam darah atau harta’.” (HR. At-Tirmidzi dan Abu Daud).

 

Juga didasarkan pada hadis Abu Hurairah RA:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَأَنَّ رَجُلًا جَاءَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ سَعِّرْ فَقَالَ بَلْ أَدْعُو ثُمَّ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ سَعِّرْ فَقَالَ بَلْ اللَّهُ يَخْفِضُ وَيَرْفَعُ(سنن أبي داود، 9/310 برقم2993)

 

Seorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ‘Ya Rasulullah, patoklah harga’. Beliau menjawab, ‘Berdo’alah’. Kemudian datang yang lain dan berkata, ‘Ya Rasulullah, patoklah harga’. Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya Allah lah yang menurunkan dan menaikan harga’.” (HR. Abu Dawud)

Kedua hadis tersebut dengan jelas menunjukan bahwa tas’îr hukumnya haram dan merupakan kezaliman. Bila itu dilakukan, maka pemerintah berdosa, karena telah melakukan keharaman. Oleh sebab itu, seluruh warga negara berhak mengadu kepada mahkamah mazhalim untuk mengadukan kebijakan itu agar dibatalkan.

Adapun madzhab Hanafi yang berpandangan bahwa larangan ini sebatas makruh adalah pendapat yang lemah, sebab terdapat qarinah (indikasi) tegas dalam hadist ini, yaitu pernyataan tersirat Rasulullah SAW bahwa penetapan harga merupakan kezhaliman yang layak diadukan. Begitupun pendapat Madzhab Hanafi yang menyatakan bahwa tas’îr boleh dilakukan berdasarkan musyawarah dengan ahlu ro’y saat terjadi dhoror, yakni ketika para pedagang menaikan bahan-bahan pokok. Pandangan ini lemah, sebab dhoror tidak boleh dihilangkan dengan kezaliman, melainkan dengan cara-cara lain yang tidak bertentangan dengan syari’at. Tentu bila dhoror yang dimaksud di sini adalah kenaikan harga secara alami. Akan tetapi, bila yang dimaksud dengan dhoror oleh madzhab Hanafi adalah ghobn fâhisy (penetapan harga sebagian pedagang melebihi harga pasar), maka penetapan harga oleh pemerintah terhadap pedagang tersebut tidak termasuk tas’îr, melain izâlat ghabn fâhisy (pemberantasan kecurangan dengan menaikan harga melebihi harga pasar). Hal ini bukan hanya boleh, melainkan wajib dilakukan oleh pemerintah. Oleh sebab itu, pada dasarnya tidak ada pertentangan antara pandangan jumhur dengan pandangan madzhab Hanafi tersebut (Selanjutnya lihat al-‘Inayah Syarhul hidayah, lil Imam Muhammad Bin Muhammad al-Babirty al-Hanafiy, XIV/283).

Dari pandangan ekonomis, penetapan harga mengakibatkan munculnya tujuan yang saling bertentangan. Harga yang tinggi, pada umumnya bermula dari situasi meningkatnya permintaan atau menurunnya suplai. Pengawasan harga hanya akan memperburuk situasi tersebut. Harga yang lebih rendah akan mendorong permintaan baru atau meningkatkan permintaannya, serta akan mengecilkan hati para importir untuk mengimpor barang tersebut. Pada saat yang sama, hal tersebut akan mendorang produksi dalam negeri, mencari pasar luar negeri (yang tak terawasi), atau menahan produksinya sampai pengawasan harga secara lokal itu dilarang. Akibatnya, akan terjadi kekurangan supply. Di sisi lain, penetapan harga juga akan membuka peluang pasar-pasar gelap yang menjualbelikan barang berbeda dengan harga yang telah ditetapkan. Alih-alih, menyelesaikan masalah, malah menambah masalah baru dan membuat harga semakin tinggi. Selain itu, penetapan harga juga bisa saja berimbas pada menurunnya produksi. Alhasil, tas’îr bukan hanya tindakan zhalim bagi pemilik barang, tapi juga dhoror bagi masyarakat secara umum.

 

Cara Islam menurunkan harga

Sebagaimana diketahui, kenaikan harga diakibatkan oleh dua faktor utama. Pertama,  kelangkaan barang (menurunnya penawaran), baik terjadi secara alamiah, seperti berkurangnya produksi, ataupun permainan para pedagang dengan maraknya pelaku penimbunan (ihtikar), atau sebab lain seperti terjadi bencana. Kedua, tingginya permintaan, semisal menjelang hari-hari besar Islam. Dalam sistem kapitalis, kenaikan harga juga bisa diakibatkan oleh penurunan nilai mata uang terhadap barang dan mata uang lain (inflasi).

Semua faktor di atas, sesungguhnya bisa dikontrol dan diselesaikan tanpa harus melakukan tas’îr. Bila kelangkaan itu disebabkan oleh maraknya para penimbun, maka Islam telah melarang ihtkar (menimbun). Dalam hadis riwayat Muslim dari Sa’id Ibnu Musayyib dari Mu’ammar, Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ)رواه مسلم)

“Siapa saja yang menimbun barang maka ia berdosa.(HR. Muslim)

 

Dalam lafadz lain, Imam Muslim meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئ)رواه مسلم)

 

“Tidak menimbun kecuali orang yang berdosa.” (HR. Muslim)

 

Al-khâti‘ artinya al-mudznib al-‘âshiy (orang yang berdosa). Sementara, ihtikâr adalah menimbun atau menyimpan barang hingga harganya naik (jam’ul sila’ intizhôron lighalâihâ) sehingga pemilik barang bisa menjual dengan harga yang lebih tinggi, sementara masyarakat kesulitan untuk mendapatkan barang tersebut.

Adapun bila kenaikan barang akibat berkurangnya supply barang atau meningkatnya permintaan, maka negara berkewajiban untuk menambah supply dan melakukan pengadaan barang dari wilayah kaum muslimin lain atau dengan cara impor, bahkan dengan cara membebaskan bea masuk, sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Beliau menyuplai kebutuhan penduduk Hijaz dengan mendatangkan barang dari Mesir dan wilayah Syam.

Dua cara ini, bila sungguh-sungguh dilakukan oleh negara maka tas’îr menjadi tidak perlu untuk dilakukan. Sementara itu, kenaikan harga barang akibat melemahnya nilai tukar mata uang, masalah ini tidak akan terjadi bila sistem moneter Islam diterapkan, yakni dengan mengubah sistem mata uang yang berlaku sekarang dengan sistem mata uang emas dan perak. Sebab, nilai intrinsik dan ekstrinsik kedua mata uang ini sama, maka kenaikan atau penurunan harga keduanya tidak akan berpengaruh besar terhadap harga barang, seperti yang terjadi dalam sistem kapitalis sekarang.

Penetepan Harga pada Barang Milik Umum

Larangan tas’îr memang bersifat umum mencakup seluruh jenis barang. Sebab, nash-nash yang menjadi dasar larangan itu bersifat umum dan mutlak. Baik terkait makanan pokok ataupun bukan. Baik dilakukan pada saat perang atau dalam kondisi damai. Baik dalam kondisi naiknya harga barang atau saat turun, dan seterusnya. Meski demikian, larangan tas’îr tidak bisa diterapkan pada barang-barang kepemilikian umum yang pemanfaatannya memerlukan biaya dan usaha besar, serta tidak mudah dimanfaatkan secara perorangan. Sebab dalam barang-barang tersebut, negara lah yang memiliki shalahiyah (kewenangan) untuk melakukan distribusi sekaligus menetepakan teknis distribusi milik umum tersebut kepada seluruh kaum muslimin, baik dengan cara membagikannya secara gratis, menjualnya sesuai biaya produksinya, atau menjualnya sesuai dengan harga pasar dengan mengembalikan seluruh keuntungannya kepada kaum muslimin sesuai dengan kemaslahatan mereka. Negara dalam hal ini berkedudukan sebagai wakil kaum muslimin. Negara menyimpan harta yang berasal dari kepemilikan umum di baitul mal dalam pos khusus, yakni diwân milkiyyah ‘âmmah. Pemisahan pos ini ditujukan agar distribusinya benar-benar bisa merata atau dirasakan dampaknya oleh seluruh rakyat. Dengan kata lain, dipisahkan dari pos zakat yang pos penerimanya lebih ketat, dan dipisahkan dari pos fai‘i yang pos penerimanya lebih longgar. (Lihat: Al-Amwal fi daulatil khilafah, lil ‘allamah ‘Abdul Qadîm Zallum).

Alhasil, larangan tas’îr tidak berlaku dalam barang-barang yang merupakan kepemilikan umum. Sebab, negara merupakan wakil kaum muslimin dalam pengelolaan harta milik bersama mereka. Hukum larangan tas’îr hanya bisa diterapkan pada jenis harta yang merupakan milik pribadi (al-milkiyyah fardiyyah). Hal tersebut dikarenakan makna kepemilikan itu adalah hak kuasa sepenuhnya atas barang itu. Sementara, fakta tas’îr adalah pembatasan atas hak kepemilikan pribadi rakyat (al-hajru ‘alaihim). Itulah yang dilarang dan mengakibatkan kezaliman. Namun, fakta itu tidak ada dalam kekepemilikan umum yang pengaturannya diserahkan kepada negara.

Oleh sebab itu, dalam konteks kenaikan harga BBM sesungguhnya tidak berlaku larangan tas’îr karena BBM merupakan harta milik umum. Tuntutan masyarakat untuk menurunkan harga BBM juga tidak bisa dipahami sebagai tuntutan untuk melakukan tas’îr, melainkan tuntutan untuk membuat kebijakan yang lebih pro terhadap kemaslahatan rakyat dalam hal distribusi harta yang sesungguhnya merupakan milik mereka. Sebab, madharat akibat penaikan harga BBM sangat berat bagi masyarakat.

Lebih jauh dari itu, rakyat wajib mengingatkan pemerintah agar pengelolaan harta milik umum tidak diserahkan kepada swasta. Sungguh, liberalisasi migaslah yang membuat BMM selalu dituntut naik. Oleh sebab itu, kebijkan penaikan harga BBM bukan hanya zalim, melainkan juga bertentangan dengan syari’at karena dilatarbelakangi oleh liberalisasi migas kepada asing. Akibatnya, pemerintah dituntut selalu mengedepankan kepentingan mereka ketimbang kepentingan rakyat. Inilah kebijakan yang khianat, yang seringkali disertai dalih-dalih yang tidak logis, seperti masalah beban APBN, subsidi yang tidak tepat sasaran, subsidi yang komsumtif, dan seterusnya. Tak heran, bila kebijakan yang bertentangan dengan syari’at ini akhirnya menjadi kebijakan yang zalim dan bohong.

BMM Milik Umum

Kepemilikan umum adalah izin syari’ kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh syari’ bahwa barang-barang tersebut untuk suatu komunitas—mereka masing-masing saling membutuhkan—dan syari’ melarang benda tersebut dikuasai oleh hanya seorang saja.

Dalam Islam, barang-barang tersebut dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, barang yang merupakan hajat hidup orang banyak (marâfiqul jamâ’ah), jika tidak ada di dalam suatu negeri atau suatu komunitas, maka akan menyebabkan sengketa dalam mencarinya. Kedua, barang tambang yang depositnya melimpah. Ketiga, sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.

BMM masuk dalam katagori barang milik umum jenis pertama dan kedua, setidaknya dengan tiga wajhul istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil). Pertama, melalui tahqîq manath (kajian fakta/realitas) dari lafadz an-Nâr (api) pada sabda Rasulullah SAW,

المسلمون شركاء في ثلاث في الماء والكلاء والنار   (رواه أبو داود عن ابن عباس)

 

Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang dan api.” (HR. Abu Dawud)

 

Para fuqaha terdahulu memahami lafadz an-nâr, sebagai cahaya yang dihasilkan dari api. Sebagain lain men-tahqîq, bahwa yang dimaksud adalah batu sebagai sumber api. Imam as-Syaukani, dalam Nailul Author menyatakan, “hadis-hadis dalam bab ini secara keseluruhan menunjukan adanya hak bersama (isytirôk) dalam tigal hal di atas secara mutlak, tak ada satupun dari ketiganya keluar dari hukum ini kecuali dengan dalil” (al-Imam as-Syaukani, Nailul Author, VI/38). Oleh sebab itu, semua jenis energi yang bersumber dari api termasuk dalam katagori ini, termasuk di dalamnya listrik dan BBM.

Kedua, meski hadis di atas menggunakan lafadz tsalâts (tiga), yang merupakan ‘adad mu’ayyan (bilangan tertentu) yang dapat diambil mafhum mukhalafah-nya. Dalam arti yang dilarang untuk untuk dimiliki perorangan itu adalah (tiga) benda tersebut, bukan empat, dua, atau bilangan lainnya, dan meski tiga benda ini juga berbentuk isim jamid (benda dan bukan sifat hingga bisa ditarik mafhumnya atau di-qiyas-kan pada benda lain). Dengan pengkajian yang lebih mendalam dan penelaahan terhadap hadis-hadis lainnya, ternyata Rasulullah SAW membiarkan orang-orang Thaif dan Khaibar untuk memilikinya untuk mengairi sawah dan kebun mereka. Dari fakta ini dapat disimpulkan, andai larangan kepemilikin air itu karena zatnya, niscaya Rasulullah SAW melarang mereka untuk memilikinya, namun ternyata tidak. Hal ini menunjukan hukum isytirôk (kepemilikan bersama) adalah karena sifat tertentu, yakni sifat al-ihtyâj ilaiha (kebutuhan atas benda itu). Oleh sebab itu, sifat ini dapat dijadikan sebagai ‘illat hukum isytirôk pada barang-barang tersebut. Dalam ilmu ushul yang demikian itu disebut dengan ‘illat mustanbath (‘illat yang digali dari beberapa dalil-dalil syar’iy).

Dikarenakan hukum ini sesungguhnya memiliki ‘illat, maka bisa diqiyaskan pada benda lain, seperti BBM (andai ia tidak bisa dimasukan dalam fakta an-nâr/api). Air, padang, dan api adalah ashal (…). Al-isytirôk (kepemilikan bersama dan larangan privatisasi) sebagai hukum. BBM sebagai furu’ (fakta cabang). Al-ihtiyaj ilaiha/ kaunuha min marofiqil jama’ah (fakta benda-benda tadi sebagai hajat hidup orang banyak) sebagai ‘illat (alasan hukum). Inilah rukun-rukun dalam kasus qiyas BBM atas air, padang, dan api. Sekali lagi, perlu dicatat bahwa qiyas ini hanya dijadikan sandaran ber-istidhlal bila kita tidak memasukan BMM sebagai manath dari api.

Ketiga, penarikan kesimpulan yang lebih jelas dari kedua poin di atas adalah fakta bahwa BBM merupakan tambang yang depositnya melimpah. Sementara Rasulullah SAW melarang setiap jenis tambang yang depositnya melimpah untuk dimiliki perorangan.

عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ : أَنَّهُ وَفْدَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ الَّذِى بِمَأْرِبَ فَقَطَعَهُ لَهفَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ : أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزِعَ مِنْهُ

 

“Dari Abyadh bin Hammal: beliau menghadap kepada Nabi saw dan memohon diberikan bagian dari tambang garam yang menurut Ibnu Mutawakkil, berada di daerah Ma’rib lalu beliau memberikannya. Namun tatkala orang tersebut berpaling, seseorang yang berada di majelis beliau berkata, “Tahukah Anda bahwa yang Anda berikan adalah [seperti] air yang mengalir? Maka beliau pun membatalkannya.” (HR. Baihaqi)

 

Bagaimana Kebijakan sesuai Syari’at dan Pro Rakyat?

Karena BBM merupakan harta miliki umum, maka haram diserahkan kepada swasta, baik perorangan ataupun kelompok, terlebih kepada perusahaan asing. Sebaliknya, BBM wajib dikelola oleh negara dengan prinsip ri’âyah (pengelolaan urusan rakyat) bukan bisnis. Sebab, barang milik umum tidak boleh dibisnikan. Rasulullah SAW bersabda,

المسلمون شركاء في ثلاث في الماء والكلاء والناروَثَمَنُهُ حَرَامٌ(رواه ابن ماجه عن ابن عباس)

Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang, dan api. Dan harganya haram.(HR. Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas)

Negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaan harta milik umum, sebalikanya ia wajib mendistribusikannya kepada pemiliknya, sesuai ijtihad khalifah. Negara dapat mendistribusikannya secara cuma-cuma, menjualnya sesuai biaya produksinya atau menjualnya sesuai dengan harga pasar dan mengembalikan hasil penjualannya kepada rakyat. Semua itu dilakukan dengan memperhatikan kemaslahatan rakyat. Menjual harta milik umum sesuai dengan harga pasar pada dasarnya boleh, namun bila itu menimbulkan dhoror dan menyengsarakan rakyat maka menjadi haram, seperti yang terjadi pada kasus pengelolaan BMM saat ini.

Menyerahkan BMM kepada pihak asing merupakan bentuk pelanggaran terhadap syari’at. Sementara menjualnya sesuai dengan harga pasar merupakan bentuk kezhaliman. Sebab, meski memang tidak setiap orang menggunakan BBM secara langsung, namun faktanya kenaikan harga BBM akan mendongkrak harga-harga barang yang lain, menyebabkan infalsi, menurunkan daya beli dan akibat-akibat buruk lainnya. Akhirnya, masyarakat menjadi semakin sengsara. Pengalihan dana subsidi kepada sektor lain—andai itu benar dilakukan—sangatlah tidak sebanding dengan dampak kenaikan harga BMM sendiri. Oleh karena itu, kemaslahatan masyarakat mengharuskan distribusi kepemilikan umaum seperti BBM dilakukan dengan cara mendistribusikannya secara cuma-cuma atau paling tidak menjulanya dengan harga murah.

Karena BBM merupakan perkara yang sangat vital, maka bila suatu saat pasokan BBM dalam negeri tidak mencukupi—jika kondisi ini terjadi meski pemerintah mengelolanya sendiri secara sungguh-sungguh—maka negara dapat melakukan subsitusi dari harta milik umum lainya atau subsidi dari pemasukan pos baitul mal lainya, selain pos harta milik umum. Akan tetapi, kebijakan ini mustahil dilakukan dalam sistem kapitalis seperti sekarang. Kebijakan pro rakyat ini hanya akan terwujud dalam sistem Islam dalam naungan Khilafah. Khilafah lah yang akan mengembalikan kekayaan alam kepada seluruh warganya. Mengembalikannya kepada orang-orang yang beriman dan memberikan kesempatan kepada orang-orang kafir yang tunduk pada pemerintahan Islam untuk menikmatinya. Allah SWT berfirman,

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (الأعراف: 32)

 

Katakanlah,”Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah di keluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik”. Katakanlah, “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. 7:32)

Wallahu A’alam bi as-Shawab. [Abu Muhtadi]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*