Pra KUII: Kepungan Liberalisasi

Perwakilan HTI hadir di KUII

Perwakilan HTI hadir di acara Pra KUII

HTI Press, Jakarta (23/12). Majelis Ulama Indonesia akan menggelar Kongres Umat Islam Indonesia VI (KUII VI) pada tanggal 8-11 Februari 2015 di Yogyakarta. Menjelang agenda lima tahunan tersebut diselenggarakan Pra Kongres pada 23 Desember 2014 di Gedung Nusantara IV, MPR RI. Hadir dalam acara tersebut tokoh dan perwakilan dari berbagai lembaga Islam. Nampak hadir para pengurus MUI seperti KH Ma’ruf Amin, Din Syamsuddin, Anwar Abbas; Bambang Soedibyo (mantan Menteri Keuangan) dan Zulkifli Hasan (Ketua MPR RI). Nampak juga hadir Muhammad Rahmat Kurnia, Ketua Lajnah Fa’aliyah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

“Indonesia kini sedang dikepung oleh liberalisasi,” ungkap Prof. Din Syamsuddin. Ketua Umum MUI ini menegaskan, “Indonesia kini sedang menerapkan demokrasi liberal secara paripurna di bidang politik. Liberalisasi di bidang ekonomi berupa penerapan kapitalisme baik di kota maupun di desa. Selain itu, liberalisasi pun dilakukan di bidang budaya sehingga terjadi perubahan landscape (tata ruang) budaya kaum Muslimin,” tambahnya. Apa akibatnya? “Indonesia mengalami 3 kerobohan. Robohnya surau dan langgar kita sebagai indikasi robohnya lembaga pendidikan keislaman di masyarakat. Robohnya kedai kita sehingga the power of money ada di tangan kelompok lain, bukan umat Islam. Dan, robohnya keluarga kita yang ditandai dengan robohnya peran usroh dan ibu,” tegas Pak Din.

Mantan anggota DPR dari Fraksi PPP, Ahmad Yani, menyampaikan, “Perlu ada evaluasi total. Berapa banyak UU yang justru menelantarkan kita? Jangan-jangan, UU itu justru semakin menjadikan kita tidak berdaulat.”

Wakil HTI, Muhammad Rahmat Kurnia berkesempatan bicara secara singkat dengan menegaskan, “Indonesia memang kini sedang menerapkan liberalisasi di segala bidang. Namun, tidak boleh juga diabaikan tantangan separatisme dan sosialisme/komunisme. Penyebab utamanya adalah UU yang diterapkan merupakan UU liberal buatan manusia. Oleh sebab itu, kita tidak perlu ragu dan malu-malu untuk secara lantang menyuarakan perundang-undangan yang berasal dari Islam. Kita hanya mengambil UU dari Islam”. Rahmat menambahkan, “Sebagai ulama, sudah semestinya tegas dalam menyatakan kebenaran Islam. Imam al-Ghazali pernah menyampaikan ‘fasâd al-hukûmah bi fasad al-ulamâ’, rusaknya penguasa itu akibat dari rusaknya para ulama.”[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*