Tahun 2015 sudah menghampiri. Sebagian pihak berharap tahun 2015 akan membawa perubahan bagi negeri ini ke arah yang lebih baik, tentu di bawah rezim pemerintahan baru. Sayang, semua itu hanya sebatas mimpi.
Liberalisasi Total Migas
Pemerintahanan Jokowi-JK telah memutuskan menaikkan harga BBM jenis Premium RON 88 dan Solar masing-masing Rp 2.000 perliter per 18 November lalu. Keputusan itu diambil hanya 27 hari sejak pemerintah baru ini dilantik.
Kenaikkan harga BBM itu untuk makin menyempurnakan liberalisasi hilir migas. Liberalisasi hilir migas itu kuncinya bertujuan agar swasta termasuk asing bias ikut mendistribusikan dan berdagang eceran BBM dan gas. Agar hal itu berjalan, harga BBM harus dilepas mengikuti harga pasar.
Kebijakan itu sebenarnya sudah “dijanjikan” sejak sekitar 2004 lalu seperti yang pernah diungkapkan oleh Menteri ESDM kala itu Purnomo Yusgiantoro. Dengan kebijakan menaikkan harga BBM itu, liberalisasi migas makin mendekati sempurna.
Namun, rezim ini tampaknya tak bisa menahan diri untuk segera menyempurnakan liberalisasi migas itu. Pemerintahan Jokowi seolah tak mau menyisakan PR. Untuk itu Pemerintah bertekad untuk segera menyesuaikan harga BBM mengikuti harga pasar.
Menko Perekonomian Sofyan Djalil mengungkapkan, Pemerintah mematangkan kebijakan baru terkait subsidi BBM. Mulai 1 Januari 2015 masyarakat akan membeli BBM dengan harga yang baru (Detikfinance, 29/12/2014).
Menteri ESDM Sudirman Said (29/12) menjelaskan rencana bentuk kebijakan itu. Pemerintah akan menghapus subsidi untuk Premium RON 88 dan mempertimbangkan pemberian subsidi tetap (fixed subsidy) perliter pada BBM diesel atau Solar senilai Rp 1.000/liter. Dengan begitu nantinya harga solar bisa naik-turun tergantung harga pasar (Detikfinance, 29/12).
Kebijakan baru itu menjadi hadiah pahit tahun baru dari Pemerintah bagi rakyat, lebih pahit dari kebijakan sebelumnya. Dengan kebijakan itu, sempurnalah liberalisasi migas. Dengan satu kebijakan itu saja, Pemerintah baru telah menegaskan diri sebagai rezim liberal, tak ada bedanya dengan rezim-rezim sebelumnya bahkan mungkin lebih liberal!
Liberalisasi Makin Menjadi-Jadi
Pada penghujung 2015 mendatang, kesepakatan Masyakarat Ekonomi Asean (MEA) atau pasar bebas ASEAN mulai berlaku. MEA ini bertujuan menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang ditandai dengan aliran barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil dan perpindahan barang modal secara lebih bebas.
Kerjasama yang disepakati di KTT Asean di Bali 2003 itu meliputi integrasi sejumlah sektor yakni produk pertanian, otomotif, elektronik, perikanan, produk turunan dari karet, tekstil dan pakaian, produk turunan dari kayu, transportasi udara, kesehatan, dan pariwisata serta logistik. Pelaksanaan MEA itu menuntut adanya liberalisasi perdagangan, investasi, finansial, jasa, industri, pertanian, perikanan dan sektor-sektor lainnya. Dari sini saja sudah bisa ditebak, liberalisasi pada tahun 2015 akan makin menjadi-jadi, melanda semua sektor.
Sebelumnya, Indonesia pun terbukti tak berdaya ketika produk Cina membanjiri pasar Indonesia sejak perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) dimulai tanggal 1 Januari 2010. Data statistik menunjukkan, perdagangan bebas ACFTA ini tidak menguntungkan Indonesia, sebaliknya menguntungkan Cina. Ini bisa dilihat dari neraca perdagangan antar kedua negara; Indonesia selalu defisit. Indonesia juga terjerat perjanjian kerjasama Asia Pasifik yang dikenal sebagai APEC. Kesepakatan itu mengharuskan bea masuk barang impor hingga nol sampai 5 persen.
Pemerintah melontarkan berbagai kebijakan yang bisa dianggap sebagai bagian dari pelaksanaan liberalisasi itu. Di sektor jasa tenaga kerja, misalnya, tak tanggung-tanggung, orang asing akan diberi peluang untuk menjadi pejabat BUMN hingga posisi direksi. Hal itu telah dilontarkan oleh Menteri BUMN Rini Soemarno. “Bisa saja orang asing jadi bos BUMN, tetapi kita ambil dari dalam terlebih dahulu,” ujar Rini dalam jumpa pers di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (15/12). Ia beralasan, pemilihan direksi BUMN harus melihat persaingan global. Apalagi Indonesia bakal menghadapi pasar bebas ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
Sebelumnya, Menteri Rini Soemarno juga mewacanakan untuk menjual gedung BUMN yang kini menjadi kantor Kementerian BUMN. Rini berasalan, Gedung BUMN lebih besar dibandingkan dengan jumlah pegawainya. Sejauh ini gedung itu ditawarkan ke Pemda DKI Jakarta, tetapi belum sepakat.
Keinginan mengundang asing juga datang dari Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Ia mengusulkan menyewakan pulau kepada Singapura. “Saya pernah usulkan, lebih baik kita sewakan satu pulau ke Singapura, daripada pulau kita tenggelam,” ujar Susi saat berbicara dalam Rapat Pimpinan Nasional Kadin, Jakarta, Senin (8/12). Menurut dia, Indonesia akan untung mendapatkan pemasukan pajak dari hasil penyewaan pulau tersebut.
Liberalisasi investasi nantinya akan membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya investasi asing. Untuk menyambut itu, di beberapa lawatan ke luar negeri, Presiden Jokowi telah mengundang para investor asing untuk berinvestasi di Indonesia. Jokowi menawarkan proyek-proyek infrastruktur antara lain rel kereta api, jalan tol, bandara, dan pelabuhan.
Hal itu disampaikan oleh Jokowi di Forum Perdagangan Investasi dan Ekonomi Indonesia-Cina di Beijing, Cina. Tawaran itu juga disampaikan dalam forum Infrastructure Summit di Bali, dan Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Sydney, Australia. “Inilah kesempatan Bapak-Ibu semuanya untuk masuk ke investasi ini,” kata Jokowi. “This is your opportunity!” begitu ungkapan berulang-ulang Jokowi kepada para investor asing.
Untuk menjamin kemudahan bagi investasi asing itu, Jokowi berjanji menyelesaikan masalah yang selama ini menjadi kendala investasi. “Kalau Bapak-Ibu semuanya mendapatkan kesulitan, saya akan menyelesaikan,” ujarnya.
Korporasi Makin Mendominasi
Liberalisasi itu akan membawa sejumlah bahaya bagi negeri ini dan penduduknya. Apalagi Indonesia dinilai belum siap menghadapi pasar bebas itu. Selama ini nyaris persiapan untuk itu minim sekali. Pada saat liberalisasi itu berjalan makin luas dan sempurna, maka Indonesia akan menjadi bulan-bulanan. Indonesia akan menjadi pasar, sumber bahan baku, sumber buruh murah; sementara posisi manajemen, jasa dan banyak profesi akan diserbu oleh orang asing.
Liberalisasi perdagangan akan membuat harga produk luar lebih murah dari produk dalam negeri. Akibatnya, arus impor akan makin deras, sementara arus ekspor tidak sebanding dengan peningkatan impor. Neraca perdagangan pun akan terus defisit.
Sebelumnya, asing telah menguasai pengelolaan sumberdaya alam negeri ini. Liberalisasi finansial dan investasi akan membuat asing makin leluasa menguasai semua sektor kehidupan negeri ini. Penguasaan asing yang besar di sektor SDA, perdagangan, industri, kehutanan, perkebunan, perbankan, telekomunikasi, dan sektor lainnya akan makin dalam. Pembukaan ruang yang lebar bagi investor asing untuk turut membangun infrastruktur baik jaringan kereta api, jalan, pelabuhan, transportasi dan sebagainya akan memperdalam penguasaan asing di negeri ini. Dengan itu, berbagai pelayanan publik akan berada di bawah penguasaan swasta (asing).
Dengan semua itu negeri ini akan makin dicengkeram oleh korporasi/perusahaan (asing). Karena itu ada risiko besar pada tahun 2015. Korporasi-korporasi asing akan bisa semakin dalam memengaruhi kebijakan negeri ini mulai dari perumusan hingga penerapannya. Semua gambaran itu menunjukkan penjajahan atas negeri ini akan terus terjadi bahkan makin dalam.
Segera Terapkan Syariah Secara Total!
Semua itu terjadi karena adanya kerangka legal melalui berbagai UU, apalagi sejak masa reformasi. Semangat dan keinginan kuat Pemerintah Jokowi-JK atas liberalisasi itu bertemu—dan dibingkai—dengan kerangka legal itu. Akibatnya, proses liberalisasi makin cepat dan sempurna.
Semua itu adalah akibat dari penerapan sistem kapitalisme-demokrasi. Karena itu untuk menghentikan liberalisasi dengan berbagai dampak buruk dan bahayanya secara total harus dilakukan dengan menghentikan penerapan sistem kapitalisme-demokrasi itu. Terus mempertahankan penerapan sistem kapitalisme-demokrasi sama saja dengan mempertahankan kerusakan yang selama ini terjadi.
Penghentian sistem kapitalisme-demokrasi itu hanya bisa dilakukan dengan menerapkan syariah Islam secara total. Cengkeraman asing itu di antaranya bisa dicegah dan dihentikan dengan menerapkan hukum Islam terkait kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Kepemilikan yang saat ini menyimpang harus dikembalikan sesuai dengan hukum kepemilikan dalam syariah. Begitu pula dengan pengelolaannya. Semua itu harus dibarengi dengan penerapan sistem ekonomi dan politik Islam. Sistem Islamlah yang akan memupus cengkeraman asing atas negeri ini. Pengelolaan negeri dan kekayaannya dengan sistem Islam akan membawa keberkahan, kemakmuran dan rahmat untuk seluruh individu rakyat. Penerapan syariah Islam secara total itu hanya bisa sempurna dilakukan dalam institusi pemerintahan Khilafah ar-Rasyidah yang mengkuti manhaj kenabian. Inilah yang harus segera diwujudkan.
Karena itu sudah semestinya kaum Muslim serius dan sungguh-sungguh untuk saling bekerjasama berjuang dan berusaha mewujudkan semua itu guna menjawab pertanyaan di hadapan Allah SWT kelak.
]أَفَحُكْمَالْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ[
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
Berlarut-larutnya proses renegosiasi PT Freeport Indonesia dengan Pemerintah membuat perusahaan tambang emas asal Amerika Serikat itu gelisah. Freeport belum mendapatkan kepastian perpanjangan kontrak hingga 2041 (Kompas.com, 29/12).
- Kegelisahan itu dihilangkan saja dengan mencabut hak konsesi Kontrak Karya Freeport. Hal yang sama dilakukan terhadap perusahaan swasta dan asing yang menguasai tambang-tambang dan SDA lainnya.
- Selanjutnya tambang dan SDA itu dikembalikan menjadi milik umum dan dikelola langsung oleh negara mewakili rakyat, yang seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat.