Hemat

Awal Desember tahun lalu, saya mendapat kejutan kecil. Saat pergi ke Semarang, saya terbang bersama dengan Presiden Jokowi. Lebih istimewa lagi, saat itu saya duduk di kelas bisnis; bukan apa-apa, karena kelas ekonomi sudah fully booked. Presiden Jokowi justru duduk di kelas ekonomi di deret paling belakang. Presiden beserta rombongan yang tidak seberapa banyak masuk ke dalam pesawat dari terminal 2F paling akhir. Tentu ia harus melewati tempat saya duduk, terus berjalan beriring ke bagian belakang.

Saat pesawat mendarat, Presiden Jokowi turun dari pintu belakang. Saya dan penumpang kelas bisnis lainnya menjadi bagian pertama yang turun dari pintu depan. Para penjemput tampaknya agak kecele, karena mereka sudah bersiap di tangga depan, ternyata Presiden turun dari tangga belakang.

Sebelum ini, siapapun pasti tak terbayang bisa terbang satu pesawat dengan Presiden kecuali ia menjadi bagian rombongan Presiden. Namun, itu dulu saat Presiden selalu bepergian dengan pesawat carter, atau malah sejak beberapa tahun lalu dengan pesawat kepresidenan. Sekarang beda. Siapapun kini agaknya bisa terbang bersama Presiden, asal nasib baik, jadwal terbangnya pas berbareng dengan Presiden Jokowi.

Mengapa Presiden melakukan hal yang sama sekali tidak biasa itu? Sebenarnya bukan kali ini saja Presiden Jokowi naik pesawat komersial. Sebelumnya, saat hendak menghadiri acara wisuda putranya di Singapura, Presiden Jokowi juga naik pesawat komersial. Alasannya, karena ini acara pribadi maka Presiden terbang dengan pesawat biasa. Namun ternyata, untuk acara resmi kepresidenan menghadiri acara Temu Kapolda dan Kapolres seluruh Indonesia di Semarang, Presiden Jokowi juga terbang dengan pesawat komersial. Penjelasan resmi diberikan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, bahwa dengan terbang menggunakan pesawat komersial kelas ekonomi, untuk satu titik kunjungan ke Semarang kemarin, Presiden Jokowi bisa menghemat hingga Rp 120 juta. Jika Presiden menggunakan pesawat kepresidenan dengan kapasitas penuh, maka negara harus membayar Rp 160 juta sampai Rp 170 juta. Jika Presiden menyewa pesawat Garuda Indonesia, biaya yang dikeluarkan lebih mahal lagi, yakni mencapai Rp 400 juta. Dengan naik kelas ekonomi seperti kemarin, hanya perlu biaya sekitar Rp 40 juta.

++++

Tindakan pemimpin yang memberikan contoh penghematan kepada bawahannya, juga kepada rakyat pada umumnya, seperti yang dilakukan oleh Presiden Jokowi jelas sangat penting dan patut diapresiasi. Apalagi dalam situasi saat masih sangat banyak rakyat yang hidup dalam kesusahan. Bila Presiden saja mau duduk di kelas ekonomi, mestinya para menteri, pejabat eselon 1, termasuk para direksi BUMN, gubernur, bupati/walikota juga tidak segan melakukan hal yang sama. Terbayang berapa banyak penghematan yang bisa didapat. Tentu jumlahnya sangat signifikan. Ternyata benar. Menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, usai rapat dengan para menteri di kantornya, Jakarta, (7/11/2014), baru dua pekan berjalan, Kabinet Kerja yang dipimpin Presiden Jokowi telah berhasil melakukan penghematan dari anggaran perjalanan dinas, rapat dan sejenisnya dengan total Rp 1 triliun. Ini di luar penghematan yang ditargetkan Pemerintah sebesar Rp 43 triliun dalam APBN Perubahan (APBN-P) 2014.

Namun, mestinya aksi penghematan tidak hanya berhenti di situ. Bila dari aksi seperti itu saja bisa dihemat sekian triliun rupiah, sebenarnya ada cara “penghematan” yang akan menghasilkan dana yang jauh lebih besar. Apa itu? Melalui kewenangan Presiden sebagai kepala negara, Jokowi bisa menghentikan semua kontrak-kontrak pengelolaan SDA seperti emas di Papua oleh Freeport, migas di Blok Mahakam oleh Total dan di Blok Cepu oleh Exxon Mobil, dan banyak lagi lainnya, yang selama ini jelas-jelas telah merugikan negara.

Semua tahu, di wilayah konsesi Freeport di Grasberg tersimpan potensi tembaga, emas dan perak dalam jumlah yang sangat besar. Menurut Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara dalam bukunya berjudul, Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat, kandungan logam yang terdapat pada deposit sangat tinggi, yaitu 1,9 miliar ton. Deposit logam tersebut mengandung potensi cadangan tembaga 18 juta ton (40, 3 miliar pond), emas 1600 ton (52,1 juta ons) dan perak 3400 ton (111 juta ons).

Berdasarkan data-data yang ditampilkan pada Laporan Keuangan Freeport bulan Juni 2009, diketahui bahwa cadangan emas dan tembaga tambang Grasberg masing-masing sebesar 38,5 juta ons dan 35, 6 juta ton. Dengan harga rata-rata emas dan tembaga sepanjang periode tambang diasumsikan masing-masing sebesar 900 US$/ons, dan 5.000 US$/ton, maka total potensi pendapatan emas tambang Grasberg adalah ( 38,5 juta ons X 900US$ /ons) = 34, 65 US$ miliar. Adapun total potensi pendapatan tembaga tambang Grasberg adalah (35, 6 juta ton X 5.000 US$/ ton) = 178 US$ miliar.

Jika diasumsikan mineral yang ditambang hanya emas dan tembaga, total potensi pendapatan tambang Grasberg adalah sekitar US$ 212,65 miliar. Namun, karena adanya kandungan perak dan berbagai unsur mineral lainnya, total potensi pendapatan tambang Freeport dapat mencapai US$ 300 miliar atau lebih dari Rp 3000 triliun!

Contoh lain: gas di Natuna yang jumlahnya sangat besar. Di Blok Natuna D-Alpha saja diperkirakan ada 222 triliun kaki kubik gas. Inilah cadangan terbesar di dunia yang tidak akan habis dieksplorasi 30 tahun ke depan. Potensi gas yang recoverable sebesar 46 tcf (46,000 bcf) atau setara dengan 8,383 miliar barel minyak (1 boe, barel oil equivalent = 5.487 cf). Dengan potensi sebesar itu, dan asumsi harga rata-rata minyak US$ 75 / barel selama periode eksploitasi, maka nilai potensi ekonomi gas Natuna adalah US$ 628,725 miliar atau sekitar Rp 6.287,25 triliun (kurs US$/Rp = Rp 10.000). Bandingkan dengan APBN 2014 yang hanya sekitar Rp 2.000 triliun. Anehnya, potensi yang demikian besar itu hingga kini dibiarkan terus dikangkangi oleh Exxon yang telah lebih dari 25 tahun memegang konsesi di blok itu tanpa memproduksi sama sekali.

Andai semua SDA yang demikian besar kandungannya itu bisa dikelola oleh negara untuk sepenuhnya kesejaheraan rakyat, tentu akan didapat “penghematan” yang nilainya bukan hanya triliunan rupiah, tetapi ribuan triliun rupiah. Jumlah yang besar ini tentu akan sangat berarti bagi pembangunan negara ini.

Namun, bila Presiden Jokowi terus membiarkan itu terjadi, maka itu tak ubahnya seperti orang yang berhemat untuk “uang receh”, sementara “uang gede” yang nilainya hingga ribuan triliun malah dihambur-hamburkan. Rakyat pasti akan lebih senang bila Presiden mau memperjuangkan “uang gede” itu agar benar-benar bisa dipakai untuk kepentingan rakyat, lalu Presiden bepergian dengan naik kelas bisnis, atau naik pesawat carter atau pesawat kepresidenan sekalipun; ketimbang Presiden menghemat “uang receh” karena sering terbang dengan kelas ekonomi, sementara pada saat yang sama ia membiarkan begitu saja—karena tidak ada nyali—merebut “uang gede” dari korporat asing dan para begundalnya di dalam negeri. Kalau begitu, apa hebatnya duduk di kelas ekonomi? [HM Ismail Yusanto]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*