Tahun 2014 disebut tahun politik. Pada tahun ini diselenggarakan Pemilu untuk memilih anggota legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres). Pemilu legislatif telah menghasilkan DPR, DPD dan DPRD baru. Pilpres juga telah menghasilkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden baru. Lalu dibentuklah kabinet baru dan selanjutnya lahirlah rezim baru.
Satu hal paling menonjol dalam Pemilu saat ini adalah bahwa kontentasi di dalam Pemilu menjadi sangat mahal, persaingan sangat ketat dan peluang berhasil sangat kecil. Untuk DPR ada 560 kursi, DPD ada 132 kursi, DPRD provinsi ada 2.112 kursi dan DPRD Kabupaten Kota 16.895 kursi. Total secara nasional ada 19.699 kursi. Jumlah kursi sebanyak itu diperebutkan oleh sekitar 200 ribu caleg DPR, DPD, DPRD I dan DPRD II. Artinya, hanya 10% caleg yang berhasil. Sekitar 180 ribu caleg atau 90% gagal.
Persaingan untuk kursi DPR lebih ketat lagi. Jumlah 560 kursi diperebutkan oleh 6.607 caleg. Hanya 8,5% yang lolos ke Senayan. Sebanyak 6.047 caleg DPR gagal.
Sengitnya persaingan makin dipersengit oleh sistem Pemilu. Persaingan bukan hanya dengan caleg dari partai lain, tetapi juga antarcaleg dari satu partai di dapil yang sama. Untuk tingkat DPR, hanya partai yang mendapat suara total nasional minimal 3,5% yang dikenal sebagai angka parliamentary treshold (PT) saja yang akan bisa duduk di DPR. Meski seorang caleg meraih suara terbanyak, jika partainya tidak lolos PT, maka dia gagal masuk DPR.
Semua persaingan dan mekanisme itu membuat setiap caleg berupaya habis-habisan agar meraih suara terbanyak. Para caleg pun jor-joran mengeluarkan biaya. Jadilah, Pemilu sangat mahal. Para caleg mengeluarkan biaya ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Pemilu mahal bukan hanya pada Pileg, tetapi juga Pilpres. Banyak pihak yakin biaya yang dibutuhkan oleh capres mencapai triliunan. Hal ini karena capres sudah harus bergerak sebelum rangkaian kampanye yang ditetapkan KPU. Ketua Balitbang Partai Golkar Indra J Piliang menyatakan (Kompas.com, 26/1), bahwa yang dilaporkan ke KPU hanya Rp 300 miliar-Rp 500 miliar. Hal itu karena penghitungan dimulai sejak tahapan resmi KPU dimula. Dana triliunan rupiah itu digunakan untuk membiayai perjalanan sosialisasi, relawan, logistik partai, pertemuan dengan ormas, survei dan iklan.
Menurut Pengamat politik dari Charta Politika, Arya Fernandes, ada tiga faktor yang membuat biaya capres makin mahal (Inilah.com, 26/1). Pertama: Model Pilpres secara langsung. Inimembuat biaya politik sangat mahal. Yang diuntungkan adalah orang-orang yang punya duit banyak. Kedua: iklan di televisi dijadikan alat efektif untuk memengaruhi pemilih dan jangkauannya yang luas. Ketiga: Pergeseran politik yang makin personal sehingga orang makin butuh personal branding (pencitraan personal). Semua itu butuh biaya.
Mahalnya biaya capres merupakan karakteristik sistem politik demokrasi. Di AS, misalnya, menurut Center for Responsive Politic (http://www.opensecrets.org/pres12/) pada Pemilu Presiden 2012 lalu dana yang dibelanjakan oleh tim kampanye Mitt Romney, calon dari Republik, mencapai US$ 1,238 miliar atau sekitar Rp 12,38 triliun (1 US$= Rp 10.000). Adapun belanja tim kampanye Obama mencapai US 1,107 miliar dolar atau sekitar Rp 11.07 triliun.
Politico melaporkan bahwa Ketua Federal Election Commission Ellen Weintraub mengumumkan belanja Pemilu di AS tahun 2012 mencapai US$ 7 miliar; terdiri dari total belanja kandidat US$ 3,2 miliar, belanja partai US$ 2 miliar dan belanja grup luar (organisasi pendukung) US 2,1 miliar (http://www.motherjones.com/mojo/2013/02/2012-election-cost-7-billion).
Obama pada tahun 2008 membelanjakan US$ 730 juta atau sekitar Rp 7,3 triliun untuk menjadi presiden AS. Jumlah itu dua kali jumlah yang dibelanjakan oleh George Bush pada tahun 2004 dan lebih dari 260 kali yang dibelanjakan Abraham Lincoln pada tahun 1860 (jika dihitung dengan dolar pada tahun 2011).
Biaya besar juga dibutuhkan untuk pencapresan di Prancis. Padahal biaya pencapresan di Prancis dianggap sangat murah. Sebab, belanja kampanye dibatasi oleh undang-undang, termasuk tidak boleh ada iklan di televisi dan setiap kandidat diberi dana kampanye oleh negara sebesar 8 juta Euro. Meski demikian, pada tahun 2007, untuk memenangi Pemilu dan menjadi presiden, Sarkozy harus membelanjakan 21 juta Euro. Lawannya seorang sosialis Ségolène Royal membelanjakan 20 juta Euro (http://www.huffingtonpost.com/sophie-meunier/france-election-laws_b_1438456.html).
Sistem politik yang mahal itu menjadi biang banyak masalah politik. Mahfud MD, Mantan Ketua MK, pernah menyatakan, “Saat biaya politik semakin mahal, elit juga semakin jelek karena sistem yang dibangun mendorong ke arah korupsi. Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis juga.”
Sistem politik yang mahal itu membuat kekuatan uanglah yang dominan. Jadilah negara makin kental bercorak korporatokrasi. Persekongkolan penguasa-pengusaha pun makin menjadi-jadi.
Biaya politik tinggi itu meminta kompensasi dan membawa konsekuensi. Jika berasal dari dana sendiri atau utang, dikompensasi dengan korupsi, manipulasi dan kolusi. Jika berasal dari cukong, dikompensasi dengan dua cara: Pertama, kebijakan yang menguntungkan para kapitalis seperti pemberian konsesi lahan atau tambang, keringanan pajak, pembebasan bea, pajak dibayari negara. Kedua, dengan rekayasa atau pengaturan proyek. Proyek dibuat dan dibagi-bagi untuk para cukong itu.
Pemilu mahal juga membawa konsekuensi, yaitu bagaimana secepatnya kembali modal. Karena itu, begitu terpilih, aleg (anggota legislatif) dan para pejabat pun berubah pelupa; lupa kepada rakyat, lupa pada janji kampanye, lupa moral bahkan berpura-pura lupa dosa. Cara korupsi, manipulasi dan cara-cara kotor lainnya dilakukan. Hal itu ditambah dengan memperbesar pendapatan legal atas nama tunjangan, peningkatan gaji, fasilitas, insentif, dsb.
Fakta menunjukkan, sejak 2004 hampir 3.000 anggota DPRD kabupaten/kota di seluruh Indonesia terjerat hukum dengan kasus korupsi yang mendominasi (Republika online, 23/2/2013). Menurut wakil ketua KPK Adnan Pandu Praja, selama empat tahun berturut-turut DPR menjadi lembaga nomor satu terkorup (Merdeka online, 14/2/2013).
Anggota Dewan juga begitu mudah terbeli dan menyetujui berbagai undang-undang yang menguntungkan asing. Menurut Rizal Ramli, setidaknya ada 20 UU yang pembuatannya didanai oleh asing. Eva Kusuma Sundari (Tempo.co.id, 20/8/2010), berdasarkan info dari BIN, mengatakan ada 76 UU yang draft-nya dilakukan oleh pihak asing. Menurut dia, inti dari intervensi itu adalah upaya meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia. Contohnya, UU tentang migas, kelistrikan, keuangan dan perbankan, sumberdaya air, dan sebagainya.
Oleh karena itu, parlemen baru tampaknya tidak akan memberikan perubahan dan tidak bisa mewujudkan harapan baru. Mengapa? Pertama: parlemen baru masih banyak diisi oleh orang-orang lama. Kedua: sistem yang berlaku masih sistem lama. Yang berubah hanya orang, bukan sistem. Meski sebagian adalah orang baru, tetap saja mereka berasal dari parpol-parpol yang sama, mengusung ide-ide yang kurang lebih sama dengan sistem yang juga masih sama. Ketiga, selama ini tidak ada tawaran perubahan sistem, yang ada hanya perubahan orang. Maka dari itu, sesuai dengan tawaran yang diberikan, yang berubah hanya orang, sementara sistem tidak berubah.
Lihat saja, begitu dilantik, DPR justru berkelahi dan rebutan posisi dan jabatan. Masing-masing pihak ingin mendominasi posisi dan jabatan. Bahkan muncul DPR tandingan. Akhirnya, konflik itu diselesaikan dengan kompromi, bagi-bagi posisi dan jabatan di DPR.
Sementara itu, setelah ditunda beberapa kali, akhirnya Presiden Joko Widodo bersama Wapres Jusuf Kalla pada Ahad (26/10 mengumumkan susunan kabinetnya. Kabinet yang dibentuk terdiri dari 34 menteri itu dinamakan “Kabinet Kerja”. Esoknya, Senin siang 27/10, kabinet tersebut dilantik. Hari itu juga langsung dilanjutkan dengan sidang kabinet pertama yang dipimpin Presiden Jokowi. Presiden mengawali sidang dengan meminta seluruh menteri untuk langsung bekerja. Namun, bagaimana mungkin kabiet kerja ini akan bisa langsung kerja tancap gas, sementara yang dilakukan Jokowi justru membongkar mesin kabinet. Akibatnya, ada beberapa kementerian yang tidak bisa langsung kerja, sebab harus melakukan restrukturisasi hingga selesai.
Rezim baru ini menghadapi tantangan besar untuk memenuhi sekitar 60 janji yang pernah disampaikan oleh Jokowi. Apakah janji-janji itu terbukti atau tidak, akan bisa dilihat lima tahun mendatang. Namun, pada awal ini ada beberapa janji akan direalisasi segera sejak terpilih dan dilantik nyatanya belum terpenuhi seperti: janji untuk membangun e-government, e-budgeting, e-procurement, e-catalog, e-audit kurang dari dua minggu (http://news.detik.com/pemilu2014).
Jokowi juga pernah berjanji “tidak bagi-bagi kursi menteri ke partai pendukungnya” (http://m.merdeka.com/pemilu-2014), juga berjanji tidak berada di bawah bayang-bayang Megawati (http://www.solopos.com). Faktanya, dari 34 menteri dalam Kabinet Kerja, 14 menteri berasal dari orang-orang berlatar belakang parpol (PDIP 4 menteri, PKB 4 menteri, Nasdem 3 menteri, Hanura 2 menteri dan PPP 1 menteri). Alokasi menteri untuk parpol pendukung sebenarnya adalah hal yang selama ini selalu terjadi, dan dalam sistem demokrasi itu adalah hal wajar, bahkan merupakan keniscayaan. Karena itu, janji koalisi tanpa syarat sejak awal dianggap tak mungkin atau sekadar pencitraan.
Oleh karena itu, masyarakat agaknya harus bersiap menghadapi kenyataan bahwa janji-janji Jokowi tak akan terealisasi. Pada awal ini saja, ada tiga janji terkait pembentukan kabinet yang kurang terpenuhi. Selain itu, masyarakat juga harus siap hidup makin susah. Lihatlah, belum lagi genap sebulan memerintah, rezim Jokowi-JK sudah menaikkan harga BBM jenis Premium dan Solar Rp 2.000 perliter. Kebijakan ini membuat liberalisasi migas makin total. Itu menunjukkan watak rezim baru yang katanya mengusung Tri Sakti, sebenarnya tidak beda dengan rezim-rezim sebelumnya, yakni rezim liberal yang mengusung kapitalisme liberal.
Melihat kenyataan itu, rakyat harus siap dan bersikap pada saatnya, sebab ke depan sangat boleh jadi akan banyak kebijakan bercorak neo liberal yang akan diambil oleh rezim baru ini. []