Pemerintah telah menetapkan kebijakan mencabut subsidi Premium sejak tanggal 1 Januari 2015 lalu. Kebijakan tersebut memungkinkan SPBU asing—misalnya Shell dan Total—juga dapat menjual premium. Kebijakan ini tentu saja memancing respon dari berbagai pihak.
Ketua Umum Hisnawa Migas Eri Purnomohadi mengkhawatirkan bentuk persaingan yang akan terjadi antara SPBU Pertamina dengan SPBU asing.
“SPBU kita akan bertarung sama SPBU Shell, habis kita. Itu ibarat Persib lawan Manchester City, ibarat Chris John versus Mike Tyson. Bukan KO lagi tapi bisa mati. Kenapa? SPBU Shell itu di seluruh dunia jumlahnya ratusan ribu, SPBU Pertamina hanya 5.000-an, itu pun hanya di Indonesia. Modal Shell itu tak terhingga, mereka perusahaan terbesar nomor 3 versi Fortune 500, sementara Pertamina di urutan 120,” ujar Eri Purnomohadi sebagaimana dilansir finance.detik.com (2/1).
Tidak hanya itu, Ketua Lajnah Maslahiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Arim Nasim juga menegaskan bahwa kebijakan yang dilakukan pemerintah memang merupakan langkah untuk menyempurnakan liberalisasi migas.
“Harga BBM turun, tapi diikuti pencabutan subsidi premium. Sedangkan solar tetap bersubsidi sebesar 1.000 rupiah. Ini adalah kebijakan untuk menyempurnakan liberalisasi migas,” kata Arim Nasim (6/1).
Arim yang juga merupakan seorang pakar Ekonomi Syariah itu juga menegaskan bahwa kebijakan yang diambil pemerintah dalam persoalan ini hanya akan menguntungkan kapitalis semata, bukan untuk kesejahteraan rakyat.
“Kebijakan ini membohongi dan menyengsarakan rakyat. Yang diuntungkan para kapitalis, baik asing maupun lokal.”
Lantas bagaimana solusinya? Arim menegaskan, pengelolaan SDA, termasuk migas, harus dikelola sesuai syariah dan benar-benar untuk kepentingan umat.
“Saatnya migas dikelola sesuai dengan syariah dalam bingkai Khilafah,” pungkasnya. (mediaumat.com, 6/1/2015)