Empat Waktu Berharga bagi Seorang Muslim

Tahun kembali berganti. Selama kurang lebih 360 hari masing-masing kita mengisi hari-hari kita dengan aneka amal; yang baik atau buruk, yang mendatangkan pahala atau dosa, yang mengantarkan kita ke dalam surga yang penuh nikmat atau ke jurang neraka yang penuh azab.

Tentu amat disayangkan jika momentum pergantian tahun ini tidak kita isi dengan renungan dan muhasabah—meski tentu renungan dan muhasabah selayaknya dilakukan setiap hari, bahkan setiap saat.

Selama setahun lalu, mungkin kita telah banyak melakukan dosa dan maksiat ketimbang amal shalih atau amal kebajikan. Jika itu yang terjadi, tentu kita rugi. Hal ini tentu tidak boleh terjadi lagi pada tahun mendatang. Karena itu diperlukan niat yang kuat dan keusungguhan yang mendalam bagi kita untuk terus memperbaiki diri. Tujuannya tentu agar dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun, kita makin menuju ‘kesempurnaan’ di mata Allah SWT; menjadi insan kamil.

Untuk itu, kiranya penting bagi setiap Muslim, dalam setiap harinya, untuk menyediakan empat waktu secara khusus untuk sebuah aktivitas yang khusus pula. Dalam hal ini, Wahab bin Munabbih menuturkan bahwa dalam hikmah keluarga Dawud as tertulis pernyataan, “Selayaknya orang yang berakal tidak lalai untuk menyediakan empat waktu berharga: (1) waktu untuk bermunajat kepada Tuhannya; (2) waktu untuk menghisab dirinya; (3) waktu untuk ‘ber-khalwat’ dengan saudara-saudaranya yang sanggup memberitahu segala keburukannya dan berkata jujur tentang dirinya; (4) waktu untuk menyendiri dengan dirinya sendiri untuk melakukan perkara-perkara yang halal dan terpuji (Ibn Abi ad-Dunya, Muhasabah an-Nafsi, I/13).

Pertama: Waktu untuk bermunajat. Munajat (berdoa) kepada Allah SWT tentu amat penting. Selain disunnahkan, munajat/doa juga mencerminkan kehinaan diri dan kebergantungan kita kepada Allah SWT, sang Pencipta. Banyak ulama menulis dalam kitab-kitab mereka tentang waktu-waktu yang tepat untuk berdoa: selepas menunaikan shalat-shalat fardhu, pada malam dan hari Jumat, saat berpuasa, dll. Namun, bermunajat atau berdoa pada malam hari, tertutama di dalam atau selepas shalat tahajud, tetaplah waktu yang amat istimewa. Tentang shalat tahajud sendiri, Allah SWT berfirman: Pada sebagian malam, maka bertahajudlah kamu (Muhammad) sebagai ibadah tambahan bagi kamu. Mudah-mudahan Allah mengangkat kamu pada kedudukan yang terpuji (TQS al-Isra’ [17]: 17).

Kedua: Waktu untuk menghisab diri. Aktivitas ini pun baik dilakukan pada malam hari, bisa setelah shalat tahajud. Tentu karena muhasabah an-nafsi adalah salah satu aktivitas yang amat penting. Paling tidak, karena demikianlah yang telah dititahkan oleh Baginda Rasulullah SAW, “Orang cerdas adalah orang yang senantiasa banyak menghisab dan mengendalikan dirinya serta banyak beramal untuk bekal setelah kematian. Adapun orang lemah (bodoh) adalah orang yang senantiasa menuruti hawa nafsunya, sementara ia berangan-angan kepada Allah (agar Allah menurunkan rahmat-Nya kepada dirinya, pen.) (HR at-Tirmidzi).

Umar bin al-Khaththab ra juga pernah berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab oleh Allah dan timbanglah amal kalian sebelum amal kalian ditimbang oleh Allah.” (Ibn Abi ad-Dunya’, Muhasabah an-Nafsi, I/3).

Al-Hasan ra, juga pernah berkata, “Seseorang akan selalu ada dalam kebajikan selama dia memiliki nasihat yakni dirinya sendiri dan muhasabah menjadi salah satu perhatiannya.” (Ibn Abdi ad-Dunya’, Muhasabah an-Nafsi, I/7).

Melalui muhasabah an-nafsi kita akan bisa menyadari segala kekurangan kita, mengakui banyaknya dosa kita, dan menyadari betapa sedikitnya amal kebaikan kita. Dengan kesadaran itu pula kita akan terdorong untuk menjadi orang yang lebih baik daripada sebelumnya.

Ketiga: Waktu untuk ‘ber-khalwat’ dengan saudara-saudaranya yang sanggup memberitahu segala keburukannya dan berkata jujur tentang dirinya. Tak cukup dengan melakukan muhasabah diri, meminta orang lain untuk menghisab diri kita juga amat panting. Pasalnya, kita sering lemah dalam melihat kekurangan, kesalahan dan aib kita sendiri; kita pun acapkali tidak jujur terhadap diri sendiri. Adapun orang lain boleh jadi lebih cermat dan lebih jujur dalam menilai segala kekurangan, kesalahan dan aib kita. Hal ini tentu akan lebih membantu kita untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri; kualitas keimanan, ketakwaan dan amal shalih kita.

Keempat: Waktu untuk menyendiri dengan dirinya sendiri demi melakukan perkara-perkara yang halal dan terpuji. Betapa sering amal yang kita lakukan dan dilihat orang lain menjadikan diri kita kurang ikhlas, bahkan tidak ikhlas. Setan boleh jadi membelokkan hati kita sehingga yang tadinya ikhlas menjadi riya’ dan sum’ah. Ini tentu dapat merusak amal kita. Karena itu beramal saat menyendiri atau tanpa dilihat orang kadang amat penting untuk menjaga keikhlasannya.

Wa ma tawfiqi illa bilLah. [] abi

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*