Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Time chief Henry Anatol Grünwald pernah mengatakan: “Jurnalisme tidak pernah bisa diam: yakni bahwa keutamaan terbesar dan kesalahan terbesarnya adalah bahwa dia harus berbicara, dan langsung berbicara, sedangkan gema keheranan, klaim kemenangan dan tanda-tanda ketakutan masih ada di udara.”
Setiap kali saya melihat kutipan kata-kata yang kuat ini dari Robert Fiskdalam artikelnya yang ditulis saat dia memasuki kamp-kamp pengungsi Palestina di Sabra dan Shatila di Beiru masih membuat saya menangis hingga hari ini. Artikel itu diterbitkan pada tanggal 17 September 1982 dan memicu suatu keinginan pada diri saya sebagai seorang wartawan muda untuk menyuarakan orang-orang yang tidak bisa bersuara. Jurnalisme yang dilakukan dengan baik tentu sesuatu yang dianggap benar, sedangkan mereka yang ingin mengeluarkan suatu keterkejutan dan memutarbalikkan fakta dengan memelintir kebenaran dengan kebenaran versi mereka sendiri bisa mendapatkan lebih banyak perhatian; ini seperti suara roda yang berderit pada kereta dorong bayi yang sudah lama.
Hal ini membawa saya kepada kasus majalah satir Perancis Charlie Hebdo dan pembantaian yang dilakukan terhadap para staf dan kontributornya, tentang bagaimana Barat masih terhuyung-huyung tidak percaya dan marah atas hal ini. Saya katakan dengan tegas bahwa pembunuhan itu tidak dapat diterima dan saya, sebagaimana jutaan umat Islam lainnya di seluruh dunia, menolak untuk menerima bahwa hal itu dilakukan atas nama agama kami yang besar atau untuk membalas dendam untuk Nabi Muhammad SAW.
Namun, bagaimana orang bereaksi, jika saya mencoba menyindir kematian 12 orang di Paris itu karena sebuah kartun? Saya bertanya karena kembali ke bulan Juli 2013, ketika hampir 50 pendukung Ikhwanul Muslimin di Kairo dibantai karena mereka melakukan aksi duduk- damai menuntut kembalinya mantan Presiden Muhamed Morsi, para kartunis di Majalah Charlie Hebdo mengejek para korban yang mati itu dengan sangat buas di halaman depan majalahnya.
“Al-Qur’an adalah (kata-kata makian), dan ini tidak dapat menghentikan peluru,” ejek suatu keterangan gambar di majalah itu. Entah bagaimana saya tidak berpikir bahwa siapa pun di Perancis, atau di mana pun dalam kasus ini, akan merasa lucu jika kartun yang serupa dibuat untuk menimbulkan kesenangan terhadap orang-orang yang mati terbunuh di kantor editorial di kantor pusat Majalah Charlie Hebdo di Rue Nicolas Appert beberapa hari yang lalu.
Namun, seperti tidak menyenangkan, dan menyakitkannya penilaian dari redaksi Charlie Hebdo, saya akan membela hak majalah itu untuk kebebasan berbicara. Meskipun, artinya, ini dilakukan dengan suatu tingkat tanggung jawab, dari sesuatu yang dilupakan oleh kaum elit yang sombong di Barat.
Orang-orang yang mencurahkan kesedihan dan kemarahannya sejauh ini cukup diprediksi sebagai para politisi dan orang-orang ini yang disebut sebagai kaum intelektual yang telah meronta-ronta seperti katak yang diletakkan di dalam ember untuk mengutuk serangan pembunuhan itu sebagai tindakan terorisme yang ditujukan untuk merusak kebebasan berbicara. Ini adalah omong kosong yang lengkap dan kita jangan membolehkan mereka untuk memanipulasi dan mendistorsi apa yang sebenarnya terjadi di Perancis, karena hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan serangan terhadap kebebasan berbicara.
Untuk memulai hal ini, Barat tidak memiliki monopoli atas kebebasan berbicara, kebebasan atau perdamaian. Ini adalah aspirasi kebanyakan orang dimanapun mereka tinggal. Masalahnya adalah bahwa terlalu banyak orang yang ditolak oleh sebagian atau semua orang karena perang yang tidak berkesudahan, ketidakadilan dan kemunafikan yang dipaksakan pada mereka oleh “Perang Melawan Teror” yang tidak pernah berakhir yang dihasut oleh kaum neo-konservatif Barat.
Selain itu, mari kita hadapi para politisi Barat jika mereka benar-benar berpegang pada “nilai-nilai Barat” begitu eratnya sehingga mereka tidak akan terlibat dengan memata-matai rakyatnya sendiri, menyadap telepon dan mengganggu sekutu politik di negara-negara lain. Atau mereka akan mengancam untuk membatasi kebebasan bergerak dan mencabut kewarganegaraan orang dari rakyat mereka sendiri melalui undang-undang yang keras yang digunakan oleh teman-teman diktator mereka seperti di Timur Tengah.
Kebebasan dan kemerdekaan di Barat sebenarnya adalah ilusi. Saat ini, peraturan baru dan undang-undang sedang diperkenalkan khusus ditujukan pada komunitas Muslim di seluruh Amerika dan Eropa. Komentator dari orang-orang yang sombong dan lain-lain yang tertarik untuk bersikap “keras” terhadap Muslim harus ingat bahwa undang-undang baru ini bisa dengan mudah digunakan untuk melawan para aktivis lingkungan, aktivis anti-fracking, aktivis mahasiswa atau aktivis kelompok hak hewan – atau bahkan komentator sayap kanan yang sombong, dimana kegiatan dari sebagian mereka dapat mengganggu para politisi itu.
Meski mereka ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Barat yang kebijakannya mengakibatkan invasi dari perang yang tidak berkesudahang dan ketidakadilan di seluruh dunia Muslim, mereka adalah alasan sebenarnya mengapa pembantaian tersebut terjadi di Paris minggu ini. Invasi AS ke Irak mungkin telah terjadi lebih dari satu dekade yang lalu tapi masih menyebabkan keterkejutan dan kemarahan di kawasan itu bagi jutaan orang sampai hari ini.
Saat fiktator Mesir membantai 54 orang selama protes damai tidak ada reaksi selain dari cibiran dan candaan dari sebagian pembaca Charlie Hebdo yang mencibir agama yang mereka pandang sebagai barbar dan tidak toleran. Jika melihat ke hari ini kita terdapat kecaman global atas 12 korban yang mati di tangan para tersangka yang motifnya mungkin tidak akan pernah diketahui.
Apapun alasan orang bersenjata tersebut untuk melakukannya, pembunuhan yang mereka lakukan akan menjadi bencana bagi para pengungsi Suriah yang, dalam jumlah jutaan, masih meraih bantuan dari Barat untuk melarikan diri dari bom barel dan senjata kimia Bashar Al-Assad. Timur Tengah berada dalam cengkeraman musim dingin yang ganas dan ada Suriah, Irak, Palestina dan lain-lain yang membutuhkan makanan, pakaian dan tempat tinggal. Sebagian besar dari kesulitan mereka akhirnya dapat diselesaikan lewat pintu kebijakan luar negeri Barat.
Tindakan orang-orang bersenjata itu juga akan memberikan dampak serius pada Muslim yang tinggal di Barat, terutama yang tinggal di Eropa yang sudah menjadi target yang semakin gencar dari kelompok sayap kanan. Saya takut terutama bagi perempuan Muslim yang biasanya telihat lebih jelas akan lebih menjadi sasaran empuk oleh kaum fanatik rasis yang dimanipulasi dan didorong oleh kebencian dari ekstrimisme, wartawan yang picik dan para politisi.
Ya, pembunuhan di Paris itu menimbulkan kemarahan tetapi kita perlu menjaga hal ini agar tetap berada dalam konteks dan perspektif yang sesuai. Hal ini pasti mengejutkan, tapi saya berani mengatakan tidak lebih mengejutkan seperti pembantaian terhadap 513 anak-anak Palestina oleh Israel dalam perang terbaru terhadap warga sipil Gaza. Juga bukan tidak lebih mengejutkan dengan pembantaian terhadap ratusan, mungkin ribuan, demonstran damai yang tergilas oleh pasukan keamanan Mesir di Al-Nahda dan Alun-alun Rabaa Al-Adawiyah pada bulan Agustus 2013. Tidak lebih mengejutkan, yaitu jika anda tidak percaya bahwa tidak semua HAM manusia itu sama atau adalah milik tempat-tempat tertentu dan tergantung dari etnis atau kebangsaan orang-orang itu.
Selain itu, semua kematian dianggap remeh atas 1,5 juta orang dan terus meningkat sejak George W Bush dan Tony Blair melancarkan serangan “Shock and Awe” pada rakyat Irak pada tahun 2003. Perang mereka didasarkan pada kebohongan dan penipuan dari segelintir orang yang mencoba meyakinkan dunia bahwa Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal padahal motif mereka yang sebenarnya adalah mengganti rezim dan membuat kontrak bisnis yang menguntungkan.
Alih-alih mengoceh tentang kebebasan berbicara, yang setiap hari terkikis oleh pemerintah kita sendiri di Washington, London dan Paris, apa yang perlu kita lakukan adalah menganalisa mengapa 12 keluarga yang berduka hari ini di Perancis kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Apa yang terjadi pada 11/9 adalah petunjuk tapi itu bukan awal sesuatu yang baru; itu adalah kelanjutan dari ketidakadilan Amerika dan Eropa yang memiliki akar di Palestina dan negara-negara tetangga di kawasan itu di mana jutaan orang tewas, luka-luka dan mengungsi yang dalam banyak hal digembar-gemborkan sebagai kebebasan Barat. Sangat sedikit yang menerima manfaat dari Perang Salib Baru Barat walaupun dilakukan dengan lebih baik dengan cara apapun.
Pada tanggal 19 September 2001 Presiden George W Bush mengatakan di Kongres AS dengan mengatakan :” Orang Amerika bertanya, ‘Mengapa mereka membenci kita?” … Mereka membenci kita karena kebebasan yang kita miliki: kebebasan yang kita miliki dalam beragama, kebebasan kita dalam berbicara, kebebasan kita untuk memilih dan untuk berbeda pendapat satu sama lain. Mereka ingin menggulingkan pemerintahan yang ada di banyak negara Muslim seperti Mesir, Arab Saudi dan Yordania. Mereka ingin mengusir Israel dari Timur Tengah. “
Setelah pidato itu dan dengan dukungan dari koalisi Eropa, Bush memulai perang di Afghanistan sebelum melanjutkan secara serampangan ke Irak dengan Inggris ikut mengangkat senjata. Segera setelah kedatangan Barack Obama di Gedung Putih; dia pun melancarkan “Perang Drone” di Pakistan, Somalia dan Yaman, sementara intelijen Barat melakukan hal yang terbaik untuk melemahkan Arab Spring dan sampai hari ini, masih memberikan perlindungan dan dukungan tanpa syarat kepada beberapa rezim demokratis yang paling brutal di Timur Tengah dan Asia .
Ketika rakyat Palestina memilih Hamas dalam pemilu demokratis yang bebas dan adil, kemarahan Amerika sangat terasa; ketika rakyat Mesir memilih Muhammad Mursi untuk memimpin mereka ke dalam era demokrasi kepanikan baru meletus dari Tel Aviv hingga Riyadh dan bergaung kembali ke Capitol Hill. Barat mungkin cinta kebebasan dan kebebasan itu diakui (ingatlah bahwa kebebasan ini sedang terkikis oleh perundang-undangan baru) tetapi jelas bahwa dengan dukungan tanpa syarat bagi Israel, Arab Saudi, Mesir, UEA dan rezim-rezim tirani lainnya, mereka tidak ingin ingin demokrasi pecah di Timur Tengah dalam waktu dekat.
Tidak heran ada gelombang pasang kemarahan yang melanda dari dunia Muslim yang merupakan korban kebijakan luar negeri AS, Inggris dan Perancis yang bermain bersama rakyat dari negara-negara Barat lainnya. Campur tangan yang terus menerus dan tekad untuk memadamkan api Musim Semi Arab telah menyebabkan sebagian orang percaya bahwa satu-satunya cara untuk membawa kebebasan dan kemerdekaan adalah melalui kekerasan. Namun tidak demikian: Kekerasan tidak bisa berjalan bagi Barat, meskipun perang terjadi berulang-ulang dan terjadi pembantaian oleh drone, dan tidak akan berjalan bagi mereka yang membawa kematian dan kehancuran kepada kantor Majalah Charlie Hebdo.
Sekarang, satu-satunya cara penyelesaian ke depan adalah melalui dialog, jika tidak maka jelas hal-hal yang akan terjadi akan jauh lebih buruk bagi kita semua, di mana pun kita hidup dan bagaimanapun, bahkan jika kita berdoa. Sudah saatnya untuk menghilangkan, atau mengurangi ekstremisme. Hal ini harus diingat oleh para politisi dan editor media saat mereka mempersiapkan tanggapan terhadap pembantaian Charlie Hebdo. (middleeastmonitor.com, 9/1/2015)